Pelajaran dari Cikapundung
Mentari pagi tidak seterik biasanya, di balik rimbunnya pohon cemara dan lalu lintas jalan raya, air Sungai Cikapundung tetap mengalir ditemani nyanyian burung. Minggu pagi di pinggiran sungai sudah terlihat beberapa anak kecil saling berlarian sementara kepulan asap tampak keluar dari celah atap genteng di beberapa rumah di bantaran sungai. Suasana ini begitu sering terlihat oleh saya di banyak titik kehidupan warga yang terpinggirkan oleh kerasnya kehidupan perkotaan.

Sepertinya harga sebuah kemajuan zaman modern adalah semakin tinggi atau majunya suatu peradaban akan berbanding lurus dengan tajamnya jarak dengan lawan dari kondisi tersebut. Kota besar menyajikan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan yang menakjubkan namun ada suatu titik balik dimana kemiskinan terjun jauh kedasar batas manusia. Manusia akan berada pada batasan yang ditolerir untuk dapat melanjutkan hidup namun tidak sedikit dari mereka tetap bertahan di bawah garis yang seharusnya. Kehidupan yang disajikan di sini sangatlah dekat dengan lingkungan kita, tetangga kita bahkan kita hidup di lingkungan tersebut.
Rasanya dengan menelusuri aliran Sungai Cikapundung di bagian sungai mana pun akan terlihat pemandangan yang sama seperti yang terlihat disini. Sungai dijadikan halaman belakang rumah yang cenderung lebih kotor dan jorok. Tidak terhitung jumlah pipa aliran akhir dari sampah rumah tangga yang terlihat sepanjang perjalanan. Dari pipa paralon itulah saluran dari kamar mandi, dapur, dan (maaf) kakus dialirkan. Kumuh tidak bisa dihindari karena semua dilimpahkan ke aliran sungai. Sampah telah lenyap dari pelupuk mata.

Saya berpikir apakah tidak ada pilihan lain untuk mengalirkan limbah rumah tangga selain ke sungai yang hanya menghilangkan sampah dari pandangan mata saja? Sepanjang perjalanan saya tidak melihat adanya selokan atau parit yang sengaja dibuat untuk mengalirkan sampah (baca: limbah air), yang terlihat hanya selokan kecil yang beberapa diantaranya dangkal dan tersumbat oleh sampah botol minum kemasan. Saya tidak melihat adanya jalur yang sengaja dibuat untuk mengalirkan limbah rumah tangga ke suatu tempat yang sanitansinya terjamin. Di sini hampir semua akan berakhir di sungai bahkan selokan jalan raya pun akan berakhir di sungai.
Kepadatan warga di bantaran Sungai Cikapundung yang mengarah ke utara semakin sepi, hanya di beberapa titik saja yang sangat padat dengan rumah kayu semi permanen. Sungai sudah menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan warga disini. Sungai Cikapundung sudah menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dari sejarah dan perjalanan dari Kota Bandung. Membelah kota sepanjang 28 km dari utara di Bukit Tunggul hingga bermuara ke Sungai Citarum di selatan .
Cikapundung sangat dekat dengan kehidupan bagi warga Kota Bandung. Namanya sangat dekat dengan telinga warga. Bersama komunitas Aleut saya menelusuri sungai ini beberapa waktu yang lalu untuk mengetahui cerita dan melihat secara langsung kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai) lebih dekat. Kondisinya tidak jauh dari yang saya bayangkan; kumuh, berantakan dan jorok. Hampir tidak ada bagian sungai yang tidak dilintasi sampah dan aroma tak sedap. Menelusuri Cikapundung yang dimulai dari Babakan Siliwangi mengarah ke utara hingga ke Curug Dago. Pada titik akhir di Curug Dago kita dapat melihat sebuah bukti sejarah akan keindahan Cikapundung tempo dulu. Raja Prajadipok (Rama VII) dari Thailand pernah berkunjung kesini pada tahun 1929 untuk melihat paraf ayahandanya yang sudah pernah ke tempat itu berabad abad sebelumnya. Ini membuktikan bahwa setidaknya Cikapundung pernah indah walaupun itu cuma bisa kita buktikan dengan tanda tangan pada batu.

Sepanjang perjalanan mata disajikan pemandangan yang sangat indah, sejuk, damai dan tenang. Saya melihat deburan air bening pecah diantara batu vulkanik sisa pembekuan lava dari Gunung Sunda Purba. Pepohonan yang rimbun dengan ujung dari akar gantungnya terjuntai dan menjilat-jilat permukaan air sungai. Rasanya ingin segera terjun dan menyebur ke dalamnya. Ini adalah oase di tengah padang pasir panas. Seperti itulah yang ada dalam pikiran saya kalau saja kita tidak merusak semuanya. Saat ini gambaran indah tersebut tidak lagi menjadi oase melainkan sebuah fatamorgana. Kita hanya bisa melihat dan membayangkan keadaan tersebut dengan menutup mata atau melayangkan pikiran kita sejauh yang kita inginkan. Saat ini sampah berebut tempat di pinggiran sungai, styrofoam terapung bebas diantara plastik dan botol minuman kemasan. Buih dengan warna kehitaman bercampur dengan busa sabun yang berasal dari perumahan sekitar menambah suasana menjadi lebih nyata. Kenyataan bahwa kita sedang hidup di kota besar dan kepedulian kita terlihat jelas disini.
Tampaknya beberapa kita dekat dengan sungai bukan sebagai teman apalagi sebagai sahabat. Kita seperti benalu, memanfaatkan sungai sebagai bahagian penting kita hanya untuk bagian yang kita jadikan akhir dari perjalanan sampah atau sesuatu yang tidak kita perlukan lagi. Tentu saja kita tidak bisa hanya menyalahkan orang yang hidup dan tinggal di bantaran sungai. Mungkin jika mereka bisa melayangkan ilusi mereka, mereka bisa melihat fatamorgana yang kita lihat tapi banyak yang tidak mengerti bagaimana cara mewujudkannya. Walau hanya sebuah fatamorgana namun itu adalah oase yang menenangkan di tengah panasnya padang pasir Cikapundung. Apabila dilihat lebih dekat, jika saja mereka punya pilihan lain, warga juga tidak ingin dengan kondisi jorok, kotor dan kumuh seperti ini. Pilihan untuk hidup nyaman atau menurunkan standar kenyamanan dengan tidak peduli dengan kondisi alam.
Hidup di kota besar terkadang tidak memberi pilihan lebih untuk membuat warga menjadi lebih nyaman dan menggerakkan mereka untuk hidup lebih bersih dengan sanitasi yang terawat. Pilihan yang sering dipilih adalah tidak peduli dan lebih memilih hidup di bawah standar yang ada yang nyaman dari segi apapun. Pilihan yang lebih lebih baik akan dipilih jika saja mereka bisa dan tentunya banyak pihak yang mendukung. Pemerintah sering disebut bertanggung jawab untuk permasalahan seperti ini, dimana kondisi warga yang telah hidup tidak sesuai dengan syarat nyaman sebuah kehidupan. Pemerintah juga sering disalahkan atas kejadian ini terlebih karena telah membiarkan hal tersebut berlangsung secara konsisten dan berkelanjutan.
Tentu saja kita juga punya andil untuk hal ini. Sudah berapa banyak hal yang bisa kita sumbang untuk menjadikan hal ini menjadi lebih baik? Saya setuju dengan pelajaran moral yang saya dapat hari itu, hal minimal yang bisa kita lakukan adalah melihat hal yang buruk dan mengetahui bahwa itu sangatlah buruk. Paling tidak dengan mengetahui mana yang buruk dan mana pula hal yang baik dengan itu kita akan tahu mau memilih yang mana dan kita mau jadi bagian yang mana untuk melanjutkan perubahan ini. Untuk semua sungai-sungai di Indonesia yang lebih baik.
Tulisan dan Foto oleh Isack Farady
sy share ya Tong