Makna Kecil di Balik Perjalanan Singkat Menembus Awan

Aku teringat akan celetukan temanku suatu hari dalam pembicaraan ringan bersamanya, “Hal yang paling sedih itu bukan hal – hal yang membuat kita menangis, tetapi saat kita tertawa sendiri”.

“Memang iya”, balasku. “Saat kita senang tapi tak ada teman untuk tertawa”, aku pertegas lagi jawabku padanya.

***

Mengabadikan Panorama Garut

Mengingat pembicaraan itu aku hendak mencoba mengumpulkan kembali 11 sahabatku dalam suatu perjalanan untuk sekedar mengisi akhir liburan kuliah ini. Rencana sudah tersosialisasi di group angkatanku pada sebuah jejaring sosial. Maka tersebutlah Gunung Semeru, Gunung Gede–Pangrango, Gunung Merapi, Pulau Tidung, bahkan sampai tercetus suatu destiansi yang bernama “atur aja”, dan “bebas lah”. Intinya perjalanan akan dimulai sekitar tanggal 7 September 2012. Gunung Semeru menjadi primadona pembicaraan kami.

Tanggal 5 September 2012 telah tiba, namun belum ada pergerakan, termasuk si penulis ini yang saat tenggat waktu masih berada di Jakarta. Ada yang masih berada di Kalimantan, Kerja Praktek di Jakarta, atau yang ternyata hanya muncul di group jejaring sosial, lalu menghilang tanpa kabar lagi. Tetapi yang penting semuanya angkat bicara di grup tersebut.

Pada akhirnya hanya terkumpul 5 orang yang ngebet banget ke Gunung Semeru. Namun, tiket kereta ekonomi yang menjadi pilihan utama dan satu – satunya transportasi pilihan untuk menggiring perjalanan kami, telah habis sampai tanggal 13 September 2012. Selain itu di bulan September 2012 ini banyak berita di internet yang bertopik kebakaran hutan di beberapa gunung ternama seperti Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, dll. Bahkan Gunung Gede-Pangrango sedang masa rehabilitasi lahan sehingga akses masuk dan pendaftaran ditutup. Karena trip pilihan lain belum ditentukan, maka 2 orang telah membuat trip mereka yang sudah pasti, caving di Cikenceng.

Setelah ditinggal pergi oleh 2 orang sahabat, baru saya mendapat pilihan perjalanan di wilayah Garut, Jawa Barat yang juga menyimpan bentang alam yang indah. Tak apalah kupikir, 3 dari 11 personel. Setelah terpilih G. Guntur, G. Cikuray, dan Telaga Bodas, ternyata seorang sahabat kami telah berada di Jakarta dan tidak bisa mengikuti perjalanan. Hanya tersisa 2 orang ditambah 2 orang yang ikut menumpang trip kami menuju Gunung Cikuray.

Aku dan 3 temanku kemudian merancang perjalanan ke Gunung Cikuray dalam 2 hari 1 malam agar dapat menyempatkan pula bermalam di Telaga Bodas. Rinciannya Jumat, 14 – 15 September 2012 menuju Puncak Gunung Cikuray, kemudian dilanjutkan langsung 15 – 16 September 2012 bermalam dan menikmati rendaman air panas di Telaga Bodas.

Ada tiga jalur pendakian yang umum dilalui, yaitu Cikajang, Bayongbong, dan Cilawu. Dengan titik awal pendakian terdekat dari puncak adalah dari Kecamatan Cikajang dan yang terjauh melalui Kecamatan Bayongbong. Kami memilih jalur pendakian dari Kecamatan Cilawu melalui Desa Dayeuhmanggung karena lebih umum digunakan.

Setelah mendapat informasi bahwa perjalanan dari jalan raya untuk menuju titik awal pendakian yaitu stasium pemancar TV dapat memakan waktu sekitar 2 jam sampai dengan 3 jam berjalan kaki, atau dapat menggunakan jasa ojek hanya sekitar 40 menit dengan biaya sekitar Rp 30.000 dengan keadaan jalan yang lebarnya dapat dilalui mobil namun hanya tesusun dari bebatuan, kami memutuskan untuk menggunakan kendaraan motor sendiri. Rutenya adalah Bandung – Babakan Loak – Cisumur – Desa Mekarsari – Stasiun Pemancar. Dari info yang didapat, jika hendak menuju Kecamatan Cilawu ini dengan kendaraan umum dapat mengambil jurusan Bandung – Garut yang akan berhenti di Terminal Garut (Guntur), kemudian dilanjutkan dengan angkot 06 menuju Cilawu, dapat turun di Sukamulya atau Cigarungsang. Lalu melanjutkan dengan jasa ojek untuk menuju Stasiun Pemancar.

Stasiun Pemancar TV, Titik Start Pendakian Jalur Cilawu

Panorama dari Stasiun Pemancar yang berada pada koordinat 07°18’14’’ LS, 107°52’54’’BT sudah mampu memanjakan mata kami, Kota Garut terlihat luas dengan latar pegunungan dan langit biru begitu cerah saat itu. Sebelum memulai pendakian, terlebih dahulu kami mengisi perbekalan air di Babakan Loak, Desa Dayeuhmanggung. Dari kabar seorang bapak pemilik warung makan di Babakan Loak, dalam musim kemarau panjang biasanya pendaki tidak dapat mengisi perbekalan air di Stasiun Pemancar karena para pekerja di Stasiun Pemancar tersebut juga harus bolak – balik ke desa untuk mengisi ulang air yang mereka butuhkan.

Kami mengisi full jirigen bawaan kami karena terlihat di peta bentuk punggungan Gunung Cikuray yang rapat dan terjal untuk mencapai sungai di lembahnya. Selain itu sekarang pun sedang musim kemarau, cuaca yang terik akan menyebabkan tubuh lebih cepat kehilangan cairan.

Dari Stasiun Pemancar, kami memulai pendakian sekitar pukul 14.00 WIB melalui kebun teh dengan punggungan yang terlihat jelas. Dari sana juga dapat terlihat bentuk punggungan yang akan kami tempuh hingga menuju puncak Gunung Cikuray jika cuaca cerah tanpa kabut. Perjalanan kami melewati kebun teh terlalui dengan singkat, sekitar 30 menit dengan keadaan jalur trek yang gersang dan berdebu. Setelah itu baru memasuki hutan yang teduh namun kondisi tanah masih terlihat gersang dan berdebu bila ditapaki.

Pos I dan Pos II telah kami lewati tanpa disadari, setelah itu kami bertemu dengan para pendaki lain yang sedang dalam perjalanan turun setelah menjejaki puncak. Mereka memberi info bahwa kami baru saja melewati pos II dan waktu tempuh pos II ke pos III lebih lama dibanding waktu tempuh dari Pos I ke Pos II.

Akhirnya kami pun sampai di Pos IV yang berkoordinat di 07°19’11.3’’ LS, 107°52’14.2’’BT sekitar pukul 17.15. Lalu kami memutuskan untuk mendirikan camp di pos IV yang lahannya terlihat lebih luas dibandingkan dengan Pos I, Pos II, dan Pos III yang sepertinya hanya mampu menampung sekitar 1 tenda dome ukuran 4 orang.

Menu makan malam kami saat itu sangat nikmat. Ayam goreng, tempe oreg, sayur tahu, tumis kangkung, dan tempe goreng kering. Teman temanku terlihat sangat lahap memakannya, namun yang terjadi pada perutku saat itu, 5 sendok yang awal masuk ke perutku masih terasa nikmat di mulut. Tetapi beberapa menit kemudian dalam perutku terasa ada sesuatu yang aneh yang membuat rasa mual.

Aku berpikir cemas mengingat kembali keadaan perutku saat berada di Gunung Manglayang yang terus menolak makanan dan minuman apapun, bahkan air putih juga langsung dikeluarkan lagi lewat mulutku. Dan apesnya, dugaanku ternyata benar. Di tengah–tengah makan malam yang belum habis, semua makanan yang baru kumakan tiba – tiba kumuntahkan kembali. Aku mengingat dulu setelah turun dari Gunung Manglayang dan beristirahat penuh di kamarku, setelah bangun pagi kondisi peruku sudah membaik. Jadi kuputuskan setelah makan malam yang termuntahkan kembali dan memaksa mengisi perutku dengan segelas teh manis yang berasa bawang, aku langsung tidur meninggalkan 3 temanku yang sedang berkumpul, bercerita melingkari api unggun.

Mengintip Sunrise dari Puncak Bayangan

Kami merencanakan menikmati momen sunrise di puncak Gunung Cikuray keesokan harinya, Sabtu 15 September 2012. Namun kami terbangun telat dari yang direncanakan. Sekitar jam 4 pagi kami baru berangkat menuju puncak melalui medan yang lebih terjal dari sebelumnya. Membuat kami sering beristirahat sejenak dalam perjalanan.

Sunrise dari Puncak Bayangan

Kami pun menapaki Pos V sekitar 45 menit kemudian, dan lalu menapaki Pos Puncak Bayangan dengan koordinat 07°19’19’’ LS, 107°51’59’’BT yang berada setelah Pos V pada sekitar pukul 05.15. Saat itu, disana sudah tampak muncul kilauan cahaya oranye tipis dari arah timur dengan sedikit tertutup oleh dahan dan ranting – ranting dari pepohonan di pos puncak bayangan yang dikelilingi beberapa tumbuhan. Kami beristirahat sejenak di Pos Puncak Bayangan ini untuk melaksanakan shalat subuh dan menikmati sunrise yang kemungkinan tidak akan didapat jika kami memaksa mengejar waktu untuk menikmatinya dari puncak yang juga telah terlihat namun masih cukup jauh.

Ranting – ranting pepohonan yang agak menutup pemandangan sunrise berhias lautan awan itu juga membuat seorang teman saya penasaran dan memaksakan dirinya memanjat suatu pohon dengan harapan dapat melihat momen sunrise tersebut dengan lebih leluasa. Namun apa yang terlihat olehku, ia seperti sedang “tidur kalong”. Aku dan seorang temanku yang lain tergelitik melihatnya. Dan seorang lagi mengikuti tingkahnya memanjat pohon yang sama, namun ia sedikit takut dan ragu untuk turun. Suasana sunrise saat itu pun semakin hangat menemani kami tertawa bersama.

Perjalanan kami lanjutkan dengan ditemani matahari pagi yang cahayanya mulai menembus jajaran pepohonan menuju puncak. Setelah Puncak Bayangan kami menemui Pos VI pada koordinat 07°19’19’’ LS, 107°51’33’’BT yang luasnya hampir sama dengan Pos Puncak Bayangan yang mampu menampung sekitar 3 sampai 4 tenda. Dari Pos VI ini pepohonan tinggi sudah tidak terlalu rapat namun masih dapat menghalangi hantaman angin langsung dan sudah sangat dekat dengan puncak Gunung CIkuray. Pos VI ini dapat menjadi tempat yang paling santai untuk menunggu momen matahari terbit atau tenggelam. Hanya tinggal menanjak ke puncak kurang dari 20 menit dengan membawa perbekalan secukupnya, lalu balik lagi ke Pos VI sekitar 10 menit.

Matahari memang sudah muncul sejak kami di Pos Puncak Bayangan. Tetapi saat itu, sesampainya kami di puncak Gunung Cikuray, lautan awan masih terlihat rapat di sebelah timur di bawah ketinggian yang kami tapaki, tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat pula. Di sebelah barat tampak berjajar pegunungan sampai ke arah utara, mulai dari Gunung Papandayan sampai Gunung Guntur dengan savananya yang terlihat gersang berwarna kuning karena kekeringan. Kami pun melepas tawa bersama merayakan kemenangan kami menuju puncak.

Pos Biru Di Puncak Cikuray

Di puncak Gunung Cikuray ini kami bertemu tim pendaki lain yang telah mendirikan camp di dalam pos yang masih berdiri kokoh seluas 3 x 3 meter. Menempati pos di puncak ini merupakan pilihan yang beresiko, apalagi disaat musim hujan. Selain karena kondisi puncak yang gersang dan tidak dikelilingi pepohonan, pos tersebut biasa menjadi incaran para pendaki. Jadi, siapa yang cepat, dia yang dapat menempatinya.

Kami, dan Pose Kemenangan

Angin di puncak mulai menembus kembali ke kulitku yang telah berlapis jaket. Aku kembali merasa aneh lagi pada perutku. Dan aku pun kembali muntah. Tapi setelah itu aku ikut menikmati mie buatan temanku di puncak. Dalam perjalanan turun, keadaan perutku semakin memburuk. Buah melon pun yang sedap terasa di mulutku, kembali dimuntahkan setelah sampai ke perutku. Air putih pun juga. Perutku sudah benar – benar kosong dan tubuh terasa sangat dehidrasi. Muntahku pun sudah tidak mengeluarkan apa–apa lagi, hanya cairan asam terasa sangat menyengat di tenggorokan.

Turun Menuju Stasiun Pemancar

Karena melihat kondisiku yang semakin memburuk, akhirnya atas keputusan mereka juga, kami membatalkan niat untuk meng-klimaks-kan kemenangan kami di Telaga Bodas. Mungkin perkataan temanku dulu, “Lebih baik tidak ada teman saat menghadapi kesulitan daripada tidak ada teman saat merayakan kemenangan”, telah terjadi pada mereka, 3 orang yang berjalan bersamaku menuju puncak Cikuray, jika posisiku saat itu diumpamakan adalah sebagai seorang teman yang harusnya dapat ikut menemani dalam merayakan kemenangan kami nanti di Telaga Bodas.

Tulisan oleh Ilfan Firqad
Foto dari Tim Pendakian Gunung Cikuray

4 thoughts on “Makna Kecil di Balik Perjalanan Singkat Menembus Awan

  1. ok bli gejor. Data dari perjalanan sendiri sebenernya masih kurang. Paling nanti dilengkapi dari berbagai sumber acuan lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *