Suka Duka Perjalanan

Related Articles

Banyak cerita suka duka yang saya alami dalam melakukan perjalanan solo backpacking ke Singapura dan Malaysia beberapa bulan lalu.  Berikut beberapa di antaranya.

Suka Duka Perjalanan

Tidur di Bandara

Saya sering membaca pengalaman orang tidur di bandara, apalagi di bandara luar negeri karena waktu transit yang cukup lama. Karena ingin merasakan tidur di bandara, saya sengaja membeli tiket pesawat dengan penerbangan malam ke Singapura. “Changi International Airport”, nama bandara di Singapura. Luas, dengan lantainya yang keseluruhannya ditutupi karpet, saya berkeliling terpesona melihat perbedaannya dengan bandara Soekarno – Hatta di Jakarta. Full fasilitas, mulai dari free charging, drinking fountain, internet, toilet yang bersih, sampai kursi-kursi panjang dan nyaman untuk tiduran. Karena memang sudah berniat untuk tidur di bandara, saya langsung nge-take kursi panjang untuk tiduran. Hehehe. Tidur di kursi dengan pemandangan pesawat lalu lalang ditemani lagu-lagu mellow dari speaker di bandara, memang cocok untuk suasana tidur. Tapi sayang, AC yang terlalu dingin membuat saya susah menutup mata. Akhirnya saya malah jalan-jalan dan ngenet. Semakin larut malam, makin banyak saja orang yang tidur di sini, sampai ada yang ngemper di karpet. Wow…!!!  Nggak nyangka, ternyata beneran ada. Saya kira hanya ada di bandara-bandara di negara-negara Eropa. Hahaha. Karena mata sudah begitu mengantuk dan esok pertualangan saya dimulai, akhirnya saya mengeluarkan sleeping bag dan ikut bergabung dengan orang-orang di bandara yang sudah duluan menuju alam mimpi.

Hostel, The House for Backpackers

“Paradiso Bed and Breakfast”, hostel pertama yang saya singgahi seumur hidup saya. Hostel ini ada di Bukit Bintang, Kuala Lumpur, Malaysia. Saya sampai di Kuala Lumpur sudah larut malam sekitar pukul dua belas lewat. Turun di Puduraya dan belum tahu persis mau menginap di mana. Dari buku yang saya punya, tertulis sebuah nama hostel “Paradiso Bed and Breakfast” yang ada di Bukit Bintang. Akhirnya saya naik taksi dan pasang mata mencari plang hostel itu. Begitu taksi memasuki kawasan Bukit Bintang, “jreeng…”, itu dia papan kecil bertuliskan “Paradiso Bed and Breakfast” yang saya cari-cari. Saya bilang stop ke sopir taksi, bayar, dan turun dari taksi. Saya menyeberang jalan menuju plang itu. Semakin gue mendekati posisi plang itu yang tergantung, saya makin deg-degan. Persis di bawah plang itu duduk wanita paruh baya kira-kira berumur 30 tahunan mengenakan baju ketat, rok mini, dan dandanan menor. Buseet…!!! Tempat apaan ne… Pikiran saya sudah kemana-mana. Saya berjalan menuju wanita itu, begitu agak mendekati tempat wanita itu duduk, dia juga melihat saya dengan muka bingung. Suara saya sampai tidak bisa keluar saking bingungnya mau bicara apa. Akhirnya saya hanya bisa bilang, “Paradiso Bed and Breakfast?” dengan nada bertanya. Wanita itu menoleh dan menunjuk ke tangga yang ada di sebelahnya. Masih dengan setengah bingung saya menaiki tangga ke atas, tenyata di ujung tangga itu terdapat sebuah ruangan yang terlihat seperti ruang keluarga dengan televisi, komputer, kusi sofa, dan sebuah meja resepsionis. Fyuuh… Lega. Ternyata menemukan tempat yang benar. Hahaha. Esok harinya saya baru sadar ternyata hostel itu, tangganya bersebelahan dengan tempat pijat dan persis di depan tangga ke arah tempat pijat itu ditempel kertas pengumuman yang isinya menyarankan agar tidak masuk ke tempat pijat itu. Tempat apa ya itu? Ya… Begitulah…

A Guy Named Ramones

Bacpacking sendirian memang kadang terasa sepi karena tidak ada teman ngobrol. Tapi justru di situlah menariknya. Kita jadi punya kesempatan untuk berkenalan dan ngobrol dengan banyak orang, sesama backpacker. Mungkin karena perasaan senasib seperjuangan, setiap kali bertemu bule yang backpacker juga, kita pasti saling sapa walaupun hanya sekedar “say hello” atau basa-basi bertanya asal dari mana, mau ke mana, bahkan sampai memberikan rekomendasi hostel yang baru saja disinggahi.

Pertama kali sampai di hostel tempat saya menginap di Singapura, saya meletakkan buku di atas tempat tidur dan saya tinggalkan ke kamar mandi. Ternyata buku itu yang menjadi bahan pembukaan obrolan saya dengan bule Amerika keturunan Puertorican bernama Ramones. Dia seorang pensiunan army Amerika, umurnya masih muda, sekitar 35 tahunan. Saya heran, umur yang masih muda ternyata sudah pensiun. Ternyata dia pernah koma enam bulan di rumah sakit karena terluka waktu perang, tertembak, dan patah tulang -kalau tidak salah-. Dia juga tidak punya keluarga, dari kecil tinggal sama foster parent alias orang tua asuh. Mendengarkan kisahnya, saya jadi teringat pada Yudi, seorang mahasiswa yang saya kenal di kereta. Dia dari SMP sudah hidup di kereta, berjualan, dan sempat putus sekolah. Tapi akhirnya malah menjadi mahasiswa di salah satu universitas di Jogja.

Memang lebih banyak cerita yang saya dapat kalau jalan sendirian seperti ini, lebih berkesan. Saya menjadi lebih mensyukuri hidup. Dan balik lagi ke Ramones, dia akhirnya menjadi teman cerita saya setiap usai jalan-jalan seharian. Dengan aksen Amerika yang kental, saya merasa seperti mendengarkan rapper, yang biasanya cuma saya lihat di televisi. Hahaha. Dia sudah sering jalan-jalan ke Asia, sudah pernah ke Indonesia juga. Sejak bangun dari koma, dia harus check up setiap beberapa bulan sekali. Ramones orangnya supel, enak diajak ngobrol, dan memang dia suka bercerita. Dia bisa cerita tentang apa aja, walaupun seluruh badan saya capek, kaki pegal, mata sudah sayup ingin tidur, saya tetap tertarik mendengarkan ceritanya. Sebagai seorang army, dia diharuskan belajar bela diri. Dia sudah belajar dan kenal banyak jenis bela diri, tapi cuma satu yang menurutnya benar-benar mematikan, yaitu beladiri dari Aceh, pencak silat.

Dengan sangat bersemangat dia bercerita tentang pencak silat sambil sesekali memperagakan gerakan bela diri tersebut. Saya hanya bisa terdiam, tersenyum hambar, dan sesekali merespon ceritanya. Saya tahu pencak silat itu asalnya dari Sumatera Barat, kampung halaman saya. Ya, saya keturunan Minang asli tanpa campuran Jawa, Sunda, atau suku bangsa lain yang ada di Indonesia. Hanya darah Minang yang mengalir di tubuh saya. Saya merasa malu, melihat orang yang duduk dihadapan saya, yang berasal dari benua lain yang entah berapa kilometer jauhnya dari Indonesia bercerita seolah pencak silat yang sedang dia pelajari itu sebuah berlian, permata, benda berharga yang tak ternilai harganya. Sedangkan saya? Apa yang saya tahu tentang adat istiadat Minang? Nggak ada! Selain itu hanya sebuah mata pelajaran “Budaya Adat Minangkabau (BAM)” yang pernah saya pelajari selama kurang lebih dua tahun di sekolah menengah. Ramones, dia menyadarkan saya betapa butanya saya pada budaya, adat istiadat dari tanah kelahiran saya sendiri. And I thank you for that.

* * *

Dan demikianlah. Beberapa kisah suka duka yang sempat saya catat.  Bahan tertawaan yang akan selalu saya kenang sampai tua.

Tulisan dan Foto oleh Diana Pratiwi

Comments

  1. Hai…
    sorry mas saya mau tanya klo perjalanan dari singapura ke malaysia (bukit bintang) klo naik bus sentosa islang ada tidak ya?dan kira2 naik dari mana serta busnya apa ya?tolong info ya mas

    Thanks

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Sebuah Perjalanan Kecil Mengalunkan Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia adalah sebuah perjuangan yang panjang. Alam Indonesia, sebagai salah satu entitas yang diperjuangkan oleh para pahlawan bangsa ini, telah menjadi sebuah tempat...

Potret Perbatasan

“Ah, Indonesia memang sudah merdeka. Tapi kami ini, lihatlah...“ Akhir tahun 2012 lalu, saya berkesempatan menginjakkan kaki di daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau...

Bukan Diburu, Paus Sperma Ini Mati Akibat Sampah Plastik

Kita masih ingat, Januari sebanyak 13 paus sperma mati terdampar di beberapa pantai di Jerman. Berita itu menghiasi berbagai media internasional, sebagai headline. Waktu itu,...