A Journey To The Warmest City, Lisbon

Kami tiba malam pukul 11, tanggal 21 Desember di Terminal Lisbon dan tanpa membuang waktu langsung mencari metro ke arah Restaurades, seusai dengan informasi yang kami baca dalam guidelines, menuju hostel kami di Lisbon, Kistch Hostel.  Hostel ini tak seberapa jauh dari Stasiun Metro itu dan berada di antara bangunan tua. Sewaktu mencari hostel malam itu, hanya tulisan kecil di dekat pintu bertulisan “Kistch” yang ada di depan pintu, berikut instruksi bahwa hostel ada di lantai 2. Mencoba membuka pintu dan tidak berhasil, Ibnu memencet bel beberapa kali, sebelum akhirnya seorang gadis berteriak dari lantai atas, PUSH THE DOOR!!! PUSH THE DOOR!!!! Yes, It’s little bit hard, but just PUSH it, and go upstairs!

Dengan saling berpandangan penuh makna “what a nice welcome”, kami pun mendorong pintu yang tampak keras dan berderit itu, lalu bergegas ke lantai atas sesuai instruksi. Resepsionis dan ruang utama memang tampak sepi, tapi secara umum ternyata bagian dalam hostel ini tampak lebih nyaman bagiku, setidaknya gadis resepsionis yang berteriak dari lantai atas tadi ternyata dengan ramah melayani kami, dibandingkan resepsionis di hostel kami di Madrid tempo hari. Kamar yang kami booking pun ternyata lebih rapi, luas, dan terang. Juga tak ketinggalan security lock yang dipasang di pintu masuk yang hanya bisa dibuka dengan kunci yang sama yang diberikan pada kami untuk locker pribadi yang ada didalam kamar.

Kamar mandi yang ada juga lebih nyaman dan besar dibandingkan dengan hostel kami ketika di Madrid. Saking kecilnya, aku teringat cerita Ibnu  tentang bule di kamar mandi cowok yang terpaksa tetap mandi dengan pintu kamar mandinya tetap terbuka gara–gara terlalu kecil dan sempitnya ruang yang ada untuk diisi badannya yang besar itu. Satu hal yang kurang hanya pintu kamar yang tidak ada nomor, hingga  aku sempat berputar–putar sekembalinya dari kamar mandi, mencari pintu kamarku di antara pintu kamar yang tampak sama–sama putih, mencoba membukanya dengan gelang kunci security yang kupunya. Akhirnya setelah 10 menit berputar–putar, aku temukan juga satu pintu yang berbunyi “Tiiit!!!”. *cape deh…

Karena sudah begitu larut , aku memutuskan untuk segera tidur malam itu. Besok kami akan memulai eksplorasi kota Lisbon karena lagi kami harus mengejar bus kembali ke Spanyol malam nanti, ke negeri Andalusia, Seville.

Bangun pagi, sholat, mandi, dan packing, aku langsung turun untuk sarapan pagi di ruang makan. Tampaknya tidak banyak yang menginap di hostel hari itu, tiga orang bule yang kulihat semalam sudah lebih dulu sarapan dan selesai ketika kami baru saja turun untuk bergabung. Di dapur, ada seorang gadis Portugal yang tampaknya bertugas jaga di hostel pagi itu yang melayani kami.

Kitch Hostel, Tempat Kami Bermalam di Lisbon

“Ola..good morning guys! So you’re all from Indonesia?”, begitu sapanya.

Ola… Yes we’re from Indonesia, good morning for you too”, jawab Eric.

 “So tell me how beautiful your country is? It must be expensive to go to there. You all travel to Lisbon directly?”, tanyanya melanjutkan percapakan sambil mengambilkan sebuah muffin dan roti untuk kami masing–masing. Menurut yang kubaca di dinding ruang makan, kami mendapat jatah makan pagi berupa 1 roti, 1 croissant, 1 buah, jus, kopi, dan crunch sepuasnya.

 “It depends on when you will go to there, if not in the peak season, I think the flight price is not really expensive. If you’re lucky, maybe you can get 700 euro for return ticket” ,  sambung Eric mencoba meyakinkan membesarkan hati. Tampaknya berita bahwa kami orang Indonesia cukup menjadi pembicaraan di antara pegawai hostel, hingga Eric menambahkan lagi “We don’t travell from Indonesia actually, we’re studying in Sweden, and start from Madrid 2 days ago”.

Aha… Ok! It’s nice news that you the ticket to Indonesia is not really expensive. Well, I will pack my bag after this maybe!” sahutnya sambil tertawa bercanda. Pukul 10 kami beranjak dari ruang makan itu, langsung ke kamar untuk packing dan check out pukul 11, siap menjelajah kota.
Bersama Potret Pengemis di Praça dos Restauradores

Kota Lisbon adalah salah satu kota di selatan Eropa yang paling sering dikunjungi selain Istanbul, Roma, Barcelona, Madrd, Athens, dan Milan. Ia juga menjadi pusat perekonomian dengan pelabuhannya yang merupakan pelabuhan terbesar di bagian Atlantik Eropa. Lisbon juga merupakan salah satu kota tertua di Eropa, ia tercatat di masa Julius Caesar sebagai salah satu provinsi dengan nama Felicitas Julia. Dan beruntung, hostel yang kami tempati ini terletak tepat di depan sigh seeing pertama kami, Praça dos Restauradores (Restorer’s Square) dengan obelisk terletak di tengahnya, mengingatkan kemerdekaan Portugal dari penjajahan Spanyol. Di sekitar monumen itu juga terdapat patung–patung kecil yang menjadi perhatian kami, yang mengcapture berbagai kondisi pengemis jalanan dan orang–orang homeless dengan kondisinya masing–masing. Tak jauh berjalan dari area ini juga bisa ditemui Avenida da Liberdade (Liberty Avenue), yang tepat berada di samping stasiun kereta Rossio.

Di Bawah Rintik Hujan di Depan Stasiun Kereta Rossio

Bangunan stasiun itu dan hampir keseluruhan bangunan yang mengitari area ini, menurut yang kubaca, memang merupakan master piece dari bangunan–bangunan tua di Lisbon dengan keunikan arsitekturalnya masing–masing, sebut saja gedung Palácio Foz, dan Orion Eden Hotel yang dulunya adalah teater sebelum diubah menjadi hotel, dan lain-lain. Daerah ini juga merupakan daerah tersibuk di Lisbon, dan tidak ada secara spesifik satu daerah yang disebut down town di kota ini, maka area Avenida da Liberdade ini hingga Praça de Pombal, bundaran di utara yang dihubungkan dengan jalan utama Lisbon, bisa dikatakan satu dari banyak down town Lisbon. Kami sempat berteduh sebentar di dalam stasiun saat Lisbon diguyurhujan yang cukup lebat siang itu. Di dalam stasiun, kami sempat bertanya pada seorang bapak tua, transportasi menuju seigh seeing selanjutnya yang ternyata tidak begitu jauh dari tempat kami berada saat itu.

 Setelah hujan sedikit lebih reda, kami lanjutkan berjalan terus ke arah Praça da Figueira. Bundaran ini sudah ada sejak abad ke 18, berdiri diatas rumah sakit yang runtuh setelah gempa besar yang melanda Lisbon diabad ke 17.  Pada masanya, area ini yang disebut juga Rossio, adalah pasar utama Lisbon dan juga tempat diadakannya festival tahunan. Dipinggir plasa ini, berdiri monumen patung Raja João / Jhon I yang awalnya beradi di tengah plasa, lalu dipindahkan agar patung dapat dilihat dari area Praça do Comércio. Saat ini, area ini dikelilingi toko, hotel, kafe, dan menjadi point pertemuan transportasi umum Lisbon, seperti metro, bus, dan trem. Dari Plasa ini, bisa terlihat di kejauhan Castelo de São Jorge atau Benteng Saint George yang dibangun di zaman Kekhalifahan Islam di Portugal diabad ke 10.

Trem Tua Khas Kota Lisbon
Di Kejauhan Tampak Castelo de São Jorge (Benteng Saint George)
Puas menikmati suasana sekitar plasa, kami kembali ke arah Avenida da Liberdade, berbelok menyusuri jalan utama, Rua Augusta, salah satu area perbelanjaan utama di Lisbon yang berujung di gerbang besar Arco da Rua Augusta. Gerbang ini dijaga oleh lima patung pada bagian atasnya, Vasco da Gama salah satunya. Melewati gerbang ini, kami langsung disuguhi plasa luas, Praça do Comércio yang berdiri di sisi hilir sungai terbesar di Iberian Peninsula, Sungai Tagus (yang begitu besar hinga kukira adalah laut). Plasa ini disebut juga sebagai Terreiro do Paço  atau lapangan kerajaan karena berdiri di lokasi di mana istana kerajaan, Pacos da Ribeira, pernah berdiri 400 tahun lalu, sebelum hancur saat gempa besar dan tsunami. Keseluruhan area tersebut disebut juga daerah Pombaline Baixa (Pombaline Down Town) yang dibangun kembali dengan bangunan-bangunan beraksitektur tahan gempa. Main piece di tengah plasa, yang merupakan salah satu pintu gerbang utama Lisbon dari laut itu, berdiri patung King José I yang memimpin Portugal saat gempa besar itu terjadi.
Gerbang Arco da Rua Augusta
Patung Vaco da Gama di Antara Lima Patung di Atas Gerbang, Menjaga Kota Lisbon
Berdiri di lapangan ini, tidak saja membuat kami takjub dengan luasnya plasa dan kemegahan arsitektur yang ada di sekitarnya, tapi juga sekaligus membuktikan iklim Lisbon yang disebut sebagai subtropical-mediterrannean itu. Dan memang, bahkan setelah kelak melangkah terus ke selatan (Andalusia), tidak dapat aku merasakan cuaca sepanas Lisbon, tidak di tengah musim dingin seperti saat dipenghujung Desember itu. Menurut yang kubaca, Lisbon adalah salah satu kota Eropa yang memiliki musim dingin terpanas bekat gulf stream yang melewati langit kota sepanjang tahunnya. Dan kami pun serentak membuka jaket masing–masing saat di tengah plasa, dan bahkan karena saking senangnya, Indra sampai membuka baju dan bertelanjang dada berjingkrak–jingkrak di depan patung King José.
Bersiap Buka Jaket di Depan Patung King José

To Be Continued …
Tulisan dan Foto oleh Laili Aidi

3 thoughts on “A Journey To The Warmest City, Lisbon

  1. Terimakasih bos, coba ntar diusahkan, yang tulisan ini juga blom kelar nih, masih to be continued, udah setahun dianggurin :>

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *