Riam Riuh Berdendang di Sungai Ciberang
Ciberang adalah nama sebuah sungai yang airnya merupakan hibah dari Gunung Halimun. Sungai ini mengalir melewati Kampung Muara, Desa Banjarsari, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, tempat kami akan berarung jeram. Dengan karakter sungai lebar maka Ciberang sangat menarik dan patut dicicipi kenikmatannya.

Pengarungan kali ini saya rasakan lebih serius dari pengarungan–pengarungan sebelumnya, karena kegiatan ini merupakan rangkaian dari Pendidikan Lanjut Anggota Muda Astacala Angkatan Kabut Belantara yang mana kegiatannya dinamakan Perjalanan Wajib (PW), sebuah fase dimana seorang anggota muda harus bisa merencanakan perjalanannya sendiri dimulai dari pra operasional, oprasional, dan pasca operasional, serta juga mengaplikasikan materi yang telah direncanakan.
Pemilik hajat perjalanan ini adalah seorang wanita muda kelahiran 1991. Yes the one and only, here she is the thug girl Ayu Assyifa Dwi Azni Uswatun Hasanah aka DAUH. Satu–satunya wanita yang melakukan PW ORAD (Olah Raga Arus Deras) di angkatannya, saya harap pembaca sabar menunggu fase ketegangan saat pengarungan karena saya akan bicara sedikit mengenai kegiatan pra operasional, jadi bersabarlah. Hehehe.
Bak seorang atlet, para peserta PW harus melewati rangkaian latihan dan persiapan yang panjang sebelum ikut melakukan pengarungan di Sungai Ciberang, yang mana rencana awal merupakan Sungai Pekalen (yang kemudian diubah berdasarkan pertimbangan–pertimbangan tertentu). Latihan dan persiapan tersebut dilakukan untuk meminimalisir resiko di lapangan dan mempersiapkan materi z-drag yang akan diaplikasikan di lapangan.
Let’s skip the intro, straight to the point, karena saya sudah tidak sabar lagi untuk menceritakan kisah perjalanan kami, hehehe. Dengan jumlah personil sebanyak 12 orang, sang komandan lapangan membagi kami ke dalam dua kelompok, yaitu perahu materi (perahu yang diisi oleh tim yang mendalami materi) dan perahu rescue (perahu yang diisi oleh tim yang bertugas membuka jalur dan rescuer bagi tim materi). Perahu materi di tumpangi oleh Syifa, Ocha, Anto, Tumingkel, Rendy LP, Baby, dan Memet. Sedangkan perahu rescue di tumpangi oleh satu orang operator, Gejor, Gojil, Galih, Ibnu Pujo, dan Kresna.
Saya akan selalu mengatakan bahwa setiap sungai memiliki karakteristiknya sendiri, maka dibutuhkan lebih dari sekedar kepiawaian skiper untuk melakukan pengarungan. Dalam pengarungan sepanjang ± 12 km ini kami akan menemui lebih dari 13 jeram ditambah 2 bendungan atau DAM. Dan yang saya tuliskan di bawah ini adalah kisah yang saya lalui.
Selasa, 14 Juni 2011
Saya bertolak dengan mobil pribadi dari Depok pukul 06.20 ke arah Bogor dan terus ke Banten via Jasinga dan sampai di lokasi pukul 11.00 waktu setempat, bertemu saudara-saudara seperjalanan yang sudah satu hari lebih dulu tiba di lokasi. Briefing dan persiapan lainnya pun dilakukan. Dilanjutkan dengan makan siang dan berencana turun ke sungai pada pukul 13.00. Ketinggian air di garis start siang itu setinggi 50 cm. Seperti biasa ritual doa berikut pemanasan pun kami lakukan bersama di pinggir sungai. Tujuan pengarungan hari ini adalah mencari titik wrap (tempat menyangkutkan perahu) untuk kebutuhan materi di esok hari. Ditemani oleh Kang Syahrul selaku operator dari Banten Rafting selaku tuan rumah, pria bertubuh gempal ini sangat murah senyum dan dayungannya sangat bertenaga, dan kami pun dengan gembira melaju menuju hilir.

Jeram pertama adalah Jeram Atut, yang merupakan nama dari Gubernur Provinsi Banten yang melakukan peresmian sungai ini untuk keperluan wisata arung jeram pada tahun 2007. Jeram ini memang tidak terlalu menantang, tetapi cukup untuk melakukan pemanasan.
Tidak lama berselang Jeram Selamat Datang menghadang. Dengan gradien yang lebih besar dari jeram pertama, jeram ini makin memantapkan kerja sama tim. Tim rescue yang melaju di depan menunjukan jalan dan arah mana jalur yang diambil. Selanjutnya di depan adalah Jeram Brimob, di mana menurut keterangan Kang Syahrul, bahwa yang membuka jalur ini pertama kali adalah pasukan dari tim Brimob dan di jeram itu pula salah satu dari mereka ada yang terjatuh dari perahu.
Selanjutnya adalah Jeram Panjang yang jika ketinggian air di garis start mencapai 80 cm maka di sini akan terbentuk standing wave yang cantik dan menggoda untuk di terjang sekaligus memberikan isyarat untuk terus kompak selama pengarungan. Menikung ke kiri akan bertemu Jeram Agung. Setelah itu menikung ke kanan akan masuk ke Jeram Keramat lalu berhenti di BL. Di sini tim rescue mengambil inisiatif untuk berhenti di sebuah eddys untuk beristirahat sejenak dan mendiskusikan kembali titik wrap. Tapi rencana itu tinggal rencana ketika Tumingkel mulai iseng untuk renang jeram. Serempak keputusan itu pun diamini sebagai keputusan bersama dan segera dilaksanakan dengan suka cita. Saya pikir memang perlu juga renang jeram, untuk lebih menyatukan hati dengan sungai dan alasan teknis lainnya.

Renang jeram memang mengasyikan, tapi perjalanan masih harus berlanjut. Melewati jeram selanjutnya yaitu Jeram Daruas. Sambil mendengarkan kisah mengenai profil tentang jeram selanjutnya yang diutarakan oleh Kang Syahrul di atas perahu, ternyata di pinggir sungai yang curam menanjak itu ada pohon durian – tepat sekali, itulah buah yang disukai banyak orang – dan jika kita beruntung pada musim berbuahnya kita akan menemukan harta karun berupa durian runtuh yang hanyut di sungai dan tertahan di jeram. Anda pasti sudah bisa menebak apa nama jeram selanjutnya bukan? Ya, itulah Jeram Durian. Maka ketika para operator sedang berlatih pada musim durian, maka seringkali mereka beradu cepat untuk bisa menjadi yang pertama dalam mencapai Jeram Durian untuk mendapatkan buah durian, itulah salah satu keunikannya.
Selepas Jeram Durian, kami disuguhkan dengan pemandangan eksotis berupa biawak raksasa dengan panjang hampir 2,5 meter yang bertengger di pinggir sungai. Ketika tim materi yang berada di belakang saya melintas, munculah biawak besar tersebut yang terjun ke sungai yang dekat dengan perahu materi. Sontak teman–teman berteriak dan kaget. Untung saja biawak tersebut tidak melompat ke perahu, tetapi ancang–ancang dan kuda–kuda lompat para kru perahu untuk renang jeram sudah terpasang.
Hujan mulai turun. Kami pun mempercepat dayungan. Setelah Jeram Durian, ada Jeram Nai, Jeram Ranting, lalu Jeram Zigzag di mana pada jeram yang disebutkan terakhir ini kepiawaian skiper membaca kondisi medan lalu memutuskan mulai diuji. Karena setelah itu akan ada gugusan batu–batu besar tersusun rapi yang membentuk labirin. Itu dia yang disebut Jeram Gajah atau mungkin lebih cocok disebut sebagai Jalur Gajah. Batu sebesar gajah, mobil, bajaj, bahkan sebesar kamar kosan 2 x 3 m pun tersedia di sana. Jalan keluar pasti ada di depan. Hanya saja bagaimana agar perahu bisa meloloskan diri dari hadangan batu besar dan jeram yang sambung menyambung yang bisa membalikkan perahu jika tidak cepat tanggap untuk bermanuver. Peredaran darah dipacu kencang. Terbayang jika ketinggian air mencapai 80 cm maka akan menaikan grade sungai sampai IV lebih, jalur ini akan menjadi lebih mengerikan.
Hujan turun semakin deras. Setelah Jalur Gajah kami mendapatkan suguhan menarik berupa DAM pertama yang berfungsi sebagai bendungan irigasi yang memiliki tinggi lebih dari satu meter. Arahkan moncong perahu lurus menghadap turunan DAM. Dan… Byuurrr…!!!

Tanpa basa-basi kami langsung melewati samping Jeram Goodbye – jeram buntu setelah DAM 1 – tanpa kesan mendalam. Karena khawatir hujan menaikkan debit air dengan lebih cepat, yang saya pikirkan saat itu adalah segera keluar dari sungai.
Selanjutnya ada DAM kedua yang telah dibentuk seperti perosotan selebar perahu. DAM ini adalah sebuah pembangkit listrik tenaga air yang sedang diperbaiki kala itu. Layaknya wahana di water park, kami melesat dengan mendapatkan sedikit cipratan air. Di depan garis finish kami mendayung lebih giat dan mengangkat perahu. Sampai di titik finish, kami berkemas, lalu menaikan muatan ke mobil pengangkut, kemudian meluncur ke base camp di titik start. Sampai di titik awal lagi pukul 17.20. Saya tertegun melihat ketinggian air yang mencapai 125 cm, batu -batu kecil yang semula kelihatan tak tampak lagi, dan airnya bergemuruh berwarna coklat.
Waw!!! 80 cm saja bisa menjadi grade IV. Apalagi 125 cm! Sekali lagi saya merasa bahwa hidup ini berharga dan Tuhan maha melindungi.
Rabu, 15 Juni 2011
Pagi ini pukul 07.00 merupakan hari kedua dan saya duduk terdiam di atas sebuah batu kali sebesar bajaj yang teronggok di tengah sungai. Langit terlihat biru tanpa awan. Suasana di sekeliling riuh ramai oleh aliran sungai yang tidak mau diam layaknya kumpulan balita berlarian riang di taman bermain. Sungguh tempat dan suasana yang tepat untuk membunuh waktu. Dengan ketinggian yang hampir sama seperti siang kemarin, pengarungan akan dimulai pukul 10.00 nanti. Dan sepertinya akan terasa lebih berat dari kemarin.
Saya dan tim siap mengarungi riam. Setelah sarapan dan mempersiapkan alat pengarungan yang mana hari ini alat pengarungan lebih banyak dari kemarin karena kami membawa sling, webbing, carabiner, pullay, dan lain-lain untuk melakukan materi z-drag di salah satu titik wrap yang kami tandai kemarin. Hari ini terasa berbeda karena pendamping dari Banten Rafting adalah Kang Debleng, tampak lebih tua dan lebih kurus dari Kang Syahrul.

Okay… Jeram yang kami lewati sama seperti kemarin. Tetapi kami mulai berusaha keras mengincar titik wrap dari jeram ke-8 untuk percobaan pertama. Ternyata sungainya kurang dalam sehingga perahu bisa meloloskan diri. Perubahan rencana pun segera dilakukan. Kang Debleng segera melipir sungai ke hilir dan berdiri menandai di dekat titik wrap lalu perahu tim rescue pun menyusul. Alih-alih ingin mendekati titik wrap untuk sekedar memastikan, malah perahu rescue yang saya tumpangi justru terperangkap di wrap tersebut.
Akhirnya tim materi pun menyesuaikan diri. Perahu tim materi langsung menepi dan menyiapkan alat. Jadilah perahu rescue yang akhirnya digunakan sebagai percobaan z-drag. Bertahan tiga orang di perahu rescue yang telah terjebak wrap. Mereka adalah Kresna, Gojil, dan Rendi LP. Syifa dan Baby sibuk memasang anchor dibantu oleh Anto. Saya duduk manis memegang throw rope di titik yang kemungkinan berbahaya dan perlu penyelamatan. Kami akui, memang pada saat kejadian yang penting dan tiba–tiba itu, komando tidak dipegang dengan baik sehingga kerja kami tidak terorganisir.
Tumingkel memasang sling webbing pada perahu. Instalasi z-drag tetap dipegang penuh oleh tim materi. Gejor sibuk mengabadikan momen–momen tersebut. Saya hanya mengamati dari kejauhan sambil memegang throw rope siap siaga jika ada salah satu dari kami yang hanyut – walaupun ternyata tidak ada yang hanyut dan nyatanya saya sempat tertidur – di sebuah batu.
Setelah instalasi selesai, tiba saatnya menarik perahu yang dilakukan oleh tiga orang yaitu Memet, Rendi LP, dan Syifa sendiri. Sementara itu Ocha bertugas mengendurkan tali prusik. Semua berkumpul di titik dekat anchor. Perahu bergerak, tapi malah justru hanyut terbawa arus sehingga tenaga yang dikeluarkan pun makin besar. Layaknya lomba tarik tambang, tim penarik terus berusaha menarik sekuat tenaga.

Duarrr!!! Seketika itu juga sling webbing yang terikat di salah satu ring perahu putus. Perahu terperangkap di jeram dan tidak mungkin untuk ditarik lebih lagi. Di tengah deru jeram, dengan cepat Tumingkel melepaskan semua sling webbing yang terikat. Perahu pun melaju ke arah hilir di samping sebuah jeram. Lalu saya, Kresna, Kang Debleng, Gejor, dan Ibnu masuk ke perahu dan melanjutkan perjalanan. Berhenti di sebuah eddys dan menunggu tim materi yang menyusul di belakang.
Ketegangan sudah mulai mereda, lama kami menunggu saudara-saudara kami yang konon katanya segera menyusul. Ternyata bagian floor dari perahu materi kempes. Mungkin hal tersebut yang membuat perjalanan mereka menjadi lama. Otomatis tindakan pertama yang kami lakukan adalah memompa perahu sambil sisanya mengambil kesempatan untuk menyergap makanan ringan di dalam dry bag. Pompa terus masuk tetapi tidak ada perubahan.
“Bocor mungkin, coba didiriin” celetuk Kang Debleng. Ternyata benar ada sobekan sejengkal di bagian bawah perahu. Saya tidak tahu pasti bagaimana ini bisa terjadi, tetapi jika sudah begini bisa dipastikan tingkat bahaya yang kami hadapi semakin besar. Terpikir oleh saya bagaimana cara melewati Jalur Gajah dengan kondisi perahu seperti ini. Floor yang kempes dapat mempersulit kendali perahu, menampung air, dan menghilangkan perlindungan jika terjadi benturan dengan batu dari bawah.
Akhirnya Syifa memutuskan untuk memindahkan Baby ke perahu rescue. Sehingga formasi kemudian adalah 7 – 5 (7 orang di perahu rescue dan 5 orang di perahu materi). Perahu materi selalu kandas di kala melewati riam dan pillow. Kini bobot perahu saya bertambah, itu artinya efek bantingan ketika menabrak batu juga akan bertambah. Ketika kami melewati suatu jeram dan perahu mulai tidak terkendali kami terpilin ke kanan dan ke kiri seperti permainan pinball. Dan ketika masuk ke Jalur Gajah yang istimewa, di sana terasa seperti mendengar nyanyian sungai yang dibawakan oleh arus deras.

Sampai ke DAM terakhir di mana posisi perosotan di DAM hanya muat untuk satu perahu dan jika tidak masuk ke sana maka akan terjun bebas dari ketinggian 2 meter lebih. Setelah kami sampai di bawah dan menepikan perahu, Kresna dan Gojil berinisiatif untuk naik ke atas DAM agar dapat memandu perahu materi. Ternyata dari atas telah meluncur perahu yang sulit dikendalikan dan menuju ke Kresna dan Gojil yang beruntung perahu dapat dihentikan dan diarahkan ke jalur perosotan DAM. Hal buruk bisa saja terjadi jika tidak ada Kresna dan Gojil di sana dan perahu tidak turun di jalur yang semestinya.

Ketergantungan warga sekitar akan sungai ini memang tinggi. Jadi jika sore menjelang sangat lumrah ditemui anak-anak yang bermain, warga yang mandi dan mencuci di sungai, tua maupun muda. Setelah semua jeram selesai dilewati saya merasa seperti seorang presiden, karena anak–anak sekitar yang bermain di pinggir sungai mendekati kami ingin memberikan senyum hangat sekaligus minta naik ke perahu. Menyadari hal ini beresiko, maka kami semua pun kerepotan untuk memberi pengertian agar bocah–bocah itu segera menjauh dari perahu sebelum terlindas dan tergencet batu. Kresna yang menjabat sebagai skiper di perahu saya pun turut membantu menghalau bocah–bocah nakal sampai ada yang teriak “Kored!” (Bahasa Sunda yang artinya pelit) lalu melempar buntelan pasir yang mendarat tepat di muka Kresna. Hahaha!
Kamis, 16 Juni 2011
Hari terakhir kami di Lebak, Banten. Bahasa nasional di sini adalah Bahasa Sunda tetapi logatnya berbeda dengan orang Bandung. Jadi saya pun masih salah menerka apa yang mereka katakan. Sebelum beranjak meninggalkan base camp, kami mengambil beberapa gambar bersama Kang Syahrul, Kang Debleng, dan Kang Otoy yang menjaga gudang alat.
Kami berterimakasih atas jamuan yang hangat dari mereka, curahan ilmu yang bermanfaat, dan petuah yang mereka berikan. Ini hari di mana kegiatan operasional perjalanan selesai. Perjalanan Wajib akan selalu meninggalkan kesan mendalam dalam setiap prosesnya. Belajar dari alam lebih dalam itulah intinya.
Tulisan oleh Galih Pandu Buana
Foto oleh I Komang Gde S.
Jalur Gajah memang asoy dan berbahaya.
Sayang saya tidak bisa mendokumentasikannya karena kamera bersembunyi dalam dry bag di sepanjang jalur.
Ngomong-ngomong, Gojil itu siapa? Anggota tim kah? 😮
iy nih Om,,bsk mah beli olympus thought aja tahan bangting dingin panas air bahkan lumfur,,hahaha
Seperti yang telah disepakati bersama oleh tim internal ORad,,MAka kmrn itu Bung Deta mendapatkan nama lapangannya yaitu Gojil dengan segala macam misteri dibalik nama tersebut,,hahaha
oya saya masukin evidence yang ktinggian air nyampe 125 cm ya Om
olympus lemah sahwat di batere…nanggung…bli waterproof case aja…
wah…lama g main air…pingin…
oh iy yak?
yaudh tuh bli bener case waterproof, tp yang simple jgn yang ada kemudi pesawatnye,,hehe
13 jt apa klo gk salah kmrn liat
tp kyknya klo pake tele beda lagi kali yak casenya