Jejak Kami di Perut Bumi

Hari itu adalah sebuah moment yang dinanti oleh salah satu Anggota Muda Astacala angkatan Kabut Belantara untuk melaksanakan perjalanan wajibnya. “Let the Nature Creates” adalah salah satu semboyan bagi para pecinta alam yang hobi menelusuri gua, yang memiliki arti  “Biarkan Alam Berkreasi”. Hari itu juga menjadi hari yang sangat sibuk bagi Restu Istifarroh (Ifa) sebagai pemimpin kegiatan Perjalanan Wajib (PW) Susur Gua. Pati adalah tempat pilihannya untuk kegiatan yang menitikberatkan pada survey pencarian mulut gua. Menurut informasi yang didapatnya, tempat itu sarat mengandung batuan karst yang memungkinkan terbentuknya gua.

Setelah melalui perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, akhirnya kami tiba di Pati. Di Jalan raya tempat kami turun dari bus hanya terlihat sedikit rumah. Teriknya matahari di Desa Sumbersuko selalu membuat keinginan kami untuk meneguk air minum di tengah perjalanan mencari rumah kepala desa. Jalan menuju desa itu hanya cukup untuk satu buah truk yang lewat. Dalam perjalanan ke tempat kepala desa itu, terlihat di kanan dan kiri jalan hanya terdapat ladang jagung dengan segelintir pohon jati, bahkan di sisi-sisi jalan yang kami tapaki pun terdapat sampah-sampah buah jagung yang sudah tidak berbiji lagi. Ada yang sudah menumpuk maupun yang hanya sejajar tanah.

Penduduk memanggil Kepala Desa Sumbersuko itu dengan sebutan ‘Pak Kamituo’. Seorang yang terlihat berwibawa dan murah senyum itu tiba-tiba datang ketika kami sedang menunggunya di salah satu rumah warganya. Setelah bertemu dan bercakap–cakap dengannya kami pun dicarikan tempat untuk tinggal selama survey pencarian gua di sekitar desa itu. Akhirnya malam pun datang dan mengizinkan kami beristirahat untuk mempersiapkan fisik untuk kegiatan hari esoknya.

Tim Susur Gua di Pati bersama Bapak Kepala Desa Sumbersuko

Hari pertama pencarian mulut gua telah tiba. Pagi yang suhunya berbeda jauh dengan  siang membuat kami sedikit kaget. Beberapa dari kami pun fisiknya belum kembali segar karena malam harinya ternyata angin bertiup cukup kencang hingga menusuk ke dalam kulit kami. Tujuan pertama kami adalah pencarian gua di sekitar mata air yang tak jauh dari rumah yang kami singgahi. Di peta yang kami bawa, di point yang kami tandai itu tergambar simbol sungai musiman yang terputus yang diperkirakan terdapat mulut gua. Setelah sampai di tempat tersebut, kami dibagi menjadi tiga tim untuk mencari mulut gua yang telah diperkirakan oleh Ifa di sekitar point tersebut. Namun setelah sekitar satu jam pencarian, kami tidak menemukan satu mulut gua pun. Salah satu tim hanya menemukan sebuah cekungan atau curukan. Kemudian kami segera beralih ke point berikutnya, di mana untuk menuju ke sana kami kembali melalui jalan setapak di tengah sawah dan ladang jagung. Dan akhirnya pun kami menemukan sebuah gua dengan mulut setinggi sekitar 40 cm yang memaksa kami merangkak untuk memasukinya. Pada hari kedua, eksplorasi gua jenis horizontal pertama yang kami temui itu hanya mencapai kedalaman sekitar 7 meter dari mulut gua dikarenakan air setinggi dada dengan posisi kami duduk dan penyempitan lorong gua yang mencegah tubuh kita untuk masuk lebih dalam.

Pencarian terus berlanjut di hari ketiga kami di Pati. Setelah eksplorasi tertuju ke wilayah ladang jagung sejauh 3 km hingga matahari berwarna jingga tersenyum menyapa ladang jagung, lagi-lagi tidak ditemukan mulut gua. Di hari ketiga perjalanan mencari mulut gua kami menelusuri perjalanan ke Gua Tangis yang telah ditunjukkan oleh dua anak dari Kepala Desa Sumbersuko. Kami melakukan survey mulut gua sesampainya di gua tersebut. Data survey mulut gua yang kami olah berupa koordinat mulut gua, keadaan geografis sekitar mulut gua, serta flora dan fauna di sekitarnya. Pada hari itu kami tidak melakukan eksplorasi ke dalam gua tersebut.

Tim Susur Gua sedang mensurvei mulut Gua Tangis

Keesokan harinya kami melakukan perjalanan kembali dengan menempuh jarak sekitar 3 jam menuju ke gua selanjutnya di Desa Porang Paring. Sesampainya di sana terlihat mulut gua yang sudah tertutup bebatuan yang ternyata memang sengaja ditutup oleh warga setempat. Gua itu terletak tepat di samping rumah seorang warga. Sangat disayangkan ternyata gua itu telah dijadikan tempat membuang hajat oleh warganya. Lalu sebuah bukit kecil yang yang tersusun dari bebatuan menyapa dan meluluhkan keletihan kami di sore hari di hari keempat pencarian. Mulut kaki bukit itu tampak seperti seekor monster jinak yang menganga lebar. Memang besar, membuat kaki dan lutut saya tidak sabar untuk menapak dan mengunjunginya ke dalam. Namun nampaknya setelah meliriknya ke dalam, gua itu hanya mengijinkan kami melihatnya dari mulutnya. Selanjutnya kami menemukan juga sebuah gua yang keberadaannya dikelilingi pohon-pohon bambu tidak jauh dari tempat tadi. Malam itu sinar purnama menyentuh kebun di pinggir sawah tempat camp kami seperti  gelembung–gelembung air dari aliran air vertikal yang jatuh menempa kolam air tempat ikan hidup. Memberikan kesejukan di hati kami, delapan peserta perjalanan susur gua di sana.

Tim Susur Gua mengekslorasi gua pada hari terakhir

Sampai pada hari terakhir kami di Pati, sebuah mulut gua di tempat kami berpijak ditemukan, terlihat di bawah bukit tempat kami makan siang. Akhirnya sebuah gua horizontal dapat kami jumpai. Jalan masuk menurun namun tidak terlalu terjal memaksa kami menggunakan webbing untuk menelusurinya. Dinding yang lembab dan tanah pijakan yang lunak membuat kaki kami melangkah berat di dalamnya. Terdengar kepakan sayap kumpulan kelelawar penghuni gua itu sudah siap untuk keluar dan bekerja untuk malam harinya. Seperti biasa, ujung dari gua itu kami jumpai juga, yaitu sejauh sekitar 40 meter dari mulut gua. Sebenarnya masih ada cabang dan lorong kecil  di ujungnya, tetapi lagi–lagi kubangan air dan tubuh kami tidak seukuran dengan sempitnya lorong itu. Perjalanan pun telah usai. Setiap penelusuran gua selalu menyita rasa penasaran kami. Entah apa yang tersimpan di balik lorong sempitnya. Perjalanan itu hanya mengijinkan kami bertemu sedikit dari banyaknya misteri yang tersimpan di dalam tanah kita berpijak. Mungkin hanya gua–gua itu yang tertulis dan tercatat di takdir perjalanan kami. Masih banyak yang belum menampakkan dirinya. Mungkin mereka akan menunjukkan dirinya pada anak atau cucu– cucu kita. Cita rasa seni yang menakjubkan dari alam. Butuh waktu sangat lama bagi pintunya untuk terbuka dan kami hanya bisa meninggalkan jejak kami di alam itu.

Tulisan oleh Ilfan Firqad
Foto oleh Tim Perjalanan Caving

2 thoughts on “Jejak Kami di Perut Bumi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *