Santunnya Speleologi

Grubug, 5 Maret 2011

Lepas tengah hari ketika ratusan garis cahaya berpendaran dari atas dan tak lurus lagi. “Koyo wong angon yo mbah“, celetuk Jendul yang basah kuyup di antara riuh aliran sungai bawah tanah.

Begitulah, Jendul hanyalah salah satu dari 6 junior saya yang sedang bertingkah seperti anak kecil di aliran sungai bawah tanah Luweng Grubug. Sungai dengan ornamen-ornamen gua yang menawan sebagai pagar pembatasnya. Sementara lubang berdiameter 10 meter, sekitar 100 meter di atas kami menjadi bukaan ratusan garis cahaya matahari yang terpendar oleh ranting dan dedaunan. Sementara saya hanya menatap dan menikmati kesenangan mereka dengan cara yang lain, berdiam diri sambil memainkan harmonika. Ya, saya sudah cukup senang hanya dengan melihat kesenangan mereka.

Gua Grubug

Luweng Jomblang dan Luweng Grubug, sudah belasan kali saya hadir di tempat ini. Baik ketika masih berstatus sebagai mahasiswa ataupun saat sekarang ini sebagai pemandu wisata petualangan. Speleologi adalah hasrat saya sejak dulu. Bahkan perkenalan saya dengan komunitas Sekber PPA DIY pun bermula ketika saya masih aktif di dalam kegiatan Arisan Caving Sekber PPA DIY. Itu di tahun 2003, Luweng Jomblang dan Luweng Grubug masih menjadi sebuah tempat yang eksklusif. Tidak begitu banyak orang yang mengetahuinya, kecuali mereka yang berkecimpung di kegiatan Pecinta Alam.

Namun sekarang, suasana sudah sangat berbeda. Luweng Jomblang sudah begitu gemerlap. Wisata goa sudah berkembang menjadi salah satu wisata minat khusus yang dikembangkan Departemen Pariwisata. Dan Luweng Jomblang adalah tempat yang menjadi objek percontohan. Kompleks resort dengan konsep natural dan adventure dibangun di sini. Salut teruntuk Mas Cahyo atas hasil karyanya ini, semoga menjadi sebuah proyek yang berguna bagi sosial kemasyarakatan di sekitar sini. Dan menjadi pionir bagi perkembangan wisata minat khusus di bidang speleologi. Save karst..

Saat menelusuri goa, ada saat-saat di mana kami semua harus diam. Pertama, beristirahatlah di aliran air sungai. Kedua, matikan seluruh cahaya (headlamp/senter) yang berasal dari badan. Ketiga, diamlah. Keempat, lalu rasakanlah kegelapan abadi dengan seluruh indra. Ya, itu salah satu hal yang sering saya lakukan ketika caving. Kegelapan abadi itu bukan seperti kegelapan yang timbul ketika menutup mata. Ketika menutup mata, rasa terang masih ada di dalam memori otak kita. Dan ketika membuka mata, rasanya biasa saja. Hanya sekedar relaksasi atas sebuah keadaan.

Namun ketika di goa, kita tidak perlu menutup mata. Tak ada satupun garis cahaya sinar matahari di dalam tanah. Kegelapan abadi bisa kita rasakan dengan mata terbuka. Yang kita rasakan adalah suara aliran air sungai bawah tanah, hawa lembab, suara nafas teman kita. dan ketika  kita menyalakan cahaya, lihatlah di mana-mana pemandangan yang kita dapatkan adalah ornamen cantik yang berusia ribuan tahun dari air sebelum mewujud batu. Ada saat-saat dalam 5 menit kegelapan abadi ini di mana kita bisa selaras dengan harmoni yang ada di sekitar kita. Ya, ini hanya ada di dalam kegiatan speleologi.

Speleologi pada dasarnya adalah untuk humanity. Jutaan meter kubik air tanah di bawah karst pegunungan Kidul ini adalah untuk kebutuhan hidup ratusan ribu orang di atasnya. Masyarakat yang hidup di atas keringnya permukaan karst pegunungan Kidul. Kegiatan explore yang berbasis humanity seyogyanya harus dilakukan. Kegiatan speleologi yang bersifat bermain-main di alam bebas adalah sarana pengenalan tentang speleologi.

Mari kita bermain-main sekarang, untuk tujuan yang santun ke depannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *