Become Madrileños in One Day
When the Story Begin with Story
Pukul dua siang hari itu, Minggu tanggal 19 Desember 2010, setelah packing beberapa lembar pakaian, alat mandi, perlengkapan lain, bersih-bersih dan mencuci, aku berjalan keluar dari pintu kamarku, melihat terakhir kali nya kedalam sekedar untuk memastikan jendela dan lampu sudah dimatikan, dan mengunci lalu berjalan cepat ke lift. Eric, rekan dari Indonesia yang juga satu kelas denganku sudah menunggu di bawah, kami berencana berangkat ke Skavta airport dari City Terminalen sore ini, memulai perjalanan panjang 18 hari, escaping winter backpacking.
Eric tampaknya juga tidak membawa barang bawaan banyak. Sama sepertiku hanya sebuah tas ransel berisi semua kebutuhan kami yang kurang dari 10 kg karena baggage cabin limit dari penerbangan Ryan Air yang akan kami gunakan selama perjalanan. Eric juga menyempatkan membawa laptop toshiba dalam ranselnya, untuk keperluan online selama perjalanan nanti. Sedangkan si macgyver kuputuskan untuk tidak kubawa karena faktor keamanan dan juga beratnya yang pasti akan mengurangi space kebutuhan lain dalam ransel eigerku yang tanpa diisi saja sudah cukup berat.

Stockholm sedang dilanda hujan salju ketika kami melangkah keluar siang itu. Menunggu metro di Stasiun Subway Kista, suasana sudah tampak seperti magrib. Waktu itu aku bermasalah dengan kartu SLku. Ternyata setelah coba kucek, bapak tua petugas loket waktu itu mengatakan limit 30 hari kartuku itu habis kemarin, tanggal 18 desember, padahal kartu senilai 490 kr itu baru kugunakan 3 kali. Apa mau dikata, akhirnya uang kas yang pas–pasan untuk membeli tiket flybussarna hari itu kubelikan remsa (16 tiket lepas) seharga 180kr. Setibanya di central stasiun, agak sedikit linglung mencari pintu loket flybussarna yang ternyata ada di cityterminalen. Untung saja, waktu itu tidak begitu banyak antrian di loket, dan bus berikutnya akan segera datang sekitar 10 menit lagi. Aku teringat, waktu itu aku dan Eric membeli tiket bersamaan di 2 officer berbeda. Kebetulan waktu itu Eric selesai lebih dulu dengan tiketnya, dan berkata padaku, “beli langsung PP saja, lebih murah 20 kr”.
Tiba–tiba petugas loket flybussarna yang memang wajahnya seperti wajah indo, yang mulanya kupikir mungkin keturunan campuran Philipina atau Thailand (yang kemungkinannya lebih banyak dari keturunan Indonesia) nyeletuk dengan wajah sedikit bingung.
The Girl : Are you Indonesian?
Adek dan Eric : Yes we are. How do you know that?
The Girl : I recognize that language, I am half Indonesian, bisa bicara Indonesia sedikit–sedikit.
Eric : In what part of Indonesian you are?
The Girl : “Papa dari Sumatra Barat, mama orang Swedia.
Eric : Oh really? We’re Sumatran, Adek is also from West Sumatra and I am from North Sumatra. So do you like rendang too?
The Girl : I am selalu diajak pulang sekali setahun oleh papa, ke Payakumbuh.
Adek : Ah, that’s just 1 hour from my hometown, I am in Bukittinggi.
The Girl : Really? I know that place, kalau dari Padang, selalu lewat Bukitttinggi.
Adek : Waw, that’s great, what a coincidently!
The Girl : Yeah… Hahaha… Nice to meet you, because I don’t find many Indonesian in Sweden a lot.
Dan begitulah kebetulan yang tak disangka–sangka ini kami lewati, sebelum akhirnya tersadar bahwa antrian orang–orang di belakang yang juga membeli tiket masih banyak. Kami pamit pada gadis penjaga loket itu dan ia menunjukan gateway bus untuk ke Bandara Skavta.
Landing Party
Tidak perlu menunggu lama, bus yang kami tunggu datang dan berangkat beberapa menit kemudian. Saat itu hujan salju semakin lebat dan perjalanan yang seharusnya hanya sekitar satu jam menjadi dua jam karena jalanan yang licin. Aku tertidur beberapa kali dalam perjalanan itu, kulihat jalanan sudah gelap padahal baru pukul empat sore. Dan informasi dari Eric, tampaknya driver bus yang kami tumpangi beberapa kali mengambil jalur yang salah karena rambu–rambu yang buram tertutupi hujan salju dari kejauhan. Hasilnya kami baru tiba di Skavta pukul lima sore dan langit sudah begitu gelapnya. Ibnu yang sudah lebih dahulu berangkat dari Karlstad belum tiba juga di bandara, jadi kami memutuskan untuk check in terlebih dahulu karena jadwal penerbangan sudah semakin mepet.
Tak lama setelah selesai check in di counter Ryan Air, Ibnu tiba di bandara dan langsung ikut antri. Seharusnya Ibnu tiba jauh lebih dulu dari kami, tapi apa mau dikata kereta yang rencana ditumpanginya dari Karlstad dengan tanpa dosa meninggalkan Ibnu sendiri yang tiba di stasiun begitu mepet plus celingak celinguk mencari kereta mana yang ke Skavta – Norrkoping. Keterlambatan ini menurut Ibnu karena bus yang ditumpanginya terhambat hujan salju yang turun begitu deras pagi itu di Karlstad, sehingga rute yang harusnya bisa ditempuh beberapa menit menjadi satu jam lebih. Alhasil, Ibnu mengirim SOS padaku untuk dibelikan tiket kereta terdekat via online karena ia tidak memegang cash yang cukup saat itu. Tidak berhenti sampai di situ, tiket ini ternyata harus diprint sebagai bukti di atas kereta nanti. Dan dengan sedikit keberuntungan lagi, tiba–tiba Ibnu bertemu dengan rekannya yang kebetulan mengantarkan kawan ke stasiun, dan kebetulan juga apartemennya tak jauh dari stasiun. Dan dengan bermodal nekat dan mepet itu jugalah Ibnu menumpang kereta, sambung menyambung melaju dari Karlstad ke Skavta demi bisa mengejar penerbangan sore itu.
Dalam suasana hujan salju cukup lebat, akhirnya kami bisa take off tepat waktu walau dengan penerbangan murah menuju Madrid. Walaupun dalam websitenya, Ryan Air mencantumkan Skavta untuk menuju dan meninggalkan Stockholm, namun sebenarnya Skavta adalah bandara ekonomi yang terletak di Kota Norkoping, sekitar satu jam dari pusat Kota Stockholm. Dan sepertinya hanya maskapai Ryan Air yang menggunakan bandara ini. Dan bentuknya dari udara terlihat seperti pabrik jaman perang dunia 2 yang sudah tidak digunakan lagi. Cukup deg–degan juga hari itu karena jadwal kami yang cukup ketat dan alokasi waktu di setiap kota yang tidak begitu lama, sehingga delay atau kekacauan dalam bentuk apapun akan punya kemungkinan besar merusak keseluruhan rencana dalam efek rantai. Belum lagi Anto – kawan sesama mahasiswa Indonesia di Stockholm – yang berangkat pagi itu ke Belanda sempat mengabarkan pesawat yang ditumpanginya delay hingga siang hari karena badai salju. Dan di sanalah kami pada pukul sebelas malam tanggal 19 Desember 2010 itu bersiap untuk landing di Madrid – Barajas Aeropurto, Bandara Internasional Spanyol di Madrid. Cukup lucu waktu itu, karena fligh attendance yang selama perjalanan berbicara di mikrofon seperti DJ di klub malam alias menyampaikan pengumuman dengan suara keras plus tidak ada anggun–anggunnya. Dan itu mengajak kami bersorak sorai, bertepuk tangan, dan bernyanyi bersama. Maksudnya untuk merayakan suksesnya penerbangan kali ini, sekalipun dengan penerbangan termurah di Eropa.
Hotel Barajas
Tidak terburu–buru seperti penumpang lain, kami menunggu di kursi hingga sepi, berjalan santai, dan dalam rombongan paling terakhir keluar dari pesawat malam itu. Dalam pikiran, toh kami tidak akan mengambil bagasi apa–apa dan juga tidak akan ke mana–mana. Ya, we plan to sleep in the airport tonight! Jauh hari sebelumnya, aku sudah membaca referensi kondisi menginap di Bandara Barajas yang katanya diperbolehkan, dan cukup banyak yang menginap, tapi memang harus pandai–pandai mencari spot yang bagus karena kursi yang bersekat–sekat (jadi harus tidur di lantai) dan suara mikrofon di bandara ini begitu keras dan tidak berhenti–henti. Bahkan menurut review lucu yang kubaca di www.sleepinginairports.com, ada yang mengatakan pengumuman bahwa pengumuman selanjutnya tidak akan diumumkan pun (karena mikrofon rusak) tetap disampaikan dengan begitu keras di mikrofon.
Untung bagiku karena sudah cukup terbiasa menginap dalam kondisi lebih buruk di tengah hutan, asalkan tidak bermasalah dengan security, semua akan baik–baik saja. Di dalam ransel pun sudah tersedia sleeping bag 0 degree celcius berikut paket eyes protector. Mungkin yang kurang hanya bantal tiup dan penutup telinga saja. Eric yang memang baru menghadapi suasana ngegembel seperti ini sebelumnya sudah mempersiapkan diri dengan membeli sleeping bag baru di Intersport (toko outdoor sport di Swedia) di Kista Galeria, mall di dekat apartemen kami, hanya saja mungkin memang perlu membiasakan dulu.
Karena kelaparan, Eric pun mengajak ke kantin bandara yang masih buka hingga larut malam. Kebetulan kantin ini ada di area check in Ryan Air. Dan kulihat banyak sekali orang yang bertebaran tidur di pojok–pojok ruangan itu. Beberapanya dengan backpacker style plus sleeping bag yang mungkin seperti kami memang sengaja merencakan menginap di bandara demi menghemat biaya. Beberapanya traveller biasa, tidur sambil memeluk erat pacar atau kopor, tidur seadanya. Untung bagiku yang sudah mengisi perut sebelum berangkat tadi di Stockholm dengan nasi plus rendang porsi jumbo yang kubuat sehari sebelumnya, karena sandwich sederhana di bandara harganya 5 euro (bahkan rendang itu belum habis, hingga harus disimpan di kulkas). Kuhitung–hitung, bisa bangkrut kalau setiap hari sekali makan 5 euro untuk tiga kali sehari selama delapan belas hari perjalanan ini. Tapi tampaknya kawan–kawan yang lain memang sudah kelaparan atau berbeda setingan budget denganku tetap makan di kantin itu.
Selesai makan, kami berputar–putar di sekitar bandara sekaligus survey gate metro untuk ke pusat kota dan mencari spot alias lapak untuk tidur malam itu. Ada beberapa tempat yang tersembunyi dan cukup tenang. Tapi karena cukup sepi dan ini pengalaman pertama, kami putuskan untuk mencari tempat yang aman saja : bergabung dengan gerombolan airport sleepers lain di hall utama, di dekat kantin tadi. Dan lapak itu adalah di samping eskalator yang memang cukup privacy, karena tidak merupakan jalur lalu lintas orang, tapi ternyata cukup tidak nyaman karena escalator di samping kami itu berbunyi bergemuruh setiap kali ada orang datang dan menggunakannya. Jadi bisa dikatakan tidak ada yang tidur nyenyak malam itu. But, what can you expect from sleeping in the airport gitu loh? Hehehe…
Olaa… Olaaa… Olaaaa!!!
Kira–kira pukul enam pagi tanggal 20 Desember itu aku terbangun dari tidur tak nyenyakku. Ada tangan menggoyang–goyang sleeping bag ini sambil diiringi suara berat berkata, “Olaa… Olaaa… Olaaa!!!”.
Kukira ini suara tuna wisma di ujung lorong yang juga tidur di dekat area kami yang masih cukup sibuk dan berisik dengan kresek–kreseknya hingga larut malam – ya, tampaknya bandara ini juga jadi sasaran tempat menginap tuna wisma. Tapi kutegakkan dengan sedikit malas kepala ini dan memicing melihat Eric yang sudah sigap bangun membereskan sleeping bagnya. Lirik ke kanan ke arah suara berat itu, dan oalah… ternyata yang “Olaa… Olaa… Olaaa!!!” tadi adalah bapak satpam! – masih untung ga dibangunin dengan kaki.

Setelah melihatku bangun, si bapak satpam berpindah tempat membangunkan Ibnu pula. Dan tampaknya hampir airport sleepers di sekitar kami sudah berbenah atau menghilang karena memang bandara sudah mulai ramai lagi. Semua tubuh–tubuh yang bergelimpangan bahkan di timbangan konter check in tadi malam sudah lebih dulu menghilang. Mungkin mereka sasaran yang pertama kali dibangunkan karena konter akan dipakai untuk check in penumpang jauh lebih pagi.
Aku segera memakai sepatu yang kusembunyikan di bawah tas, melipat sleeping bag, dan bergegas ke toilet untuk gosok gigi, cuci muka, dan berwudhu untuk shalat subuh. Kulihat Eric kesulitan melipat kembali sleeping bagnya yang padahal dibeli cukup mahal, sekitar 600 kr atau sekitar 800 ribu IDR. Sesaat setelahnya, Ibnu berkomentar menggoda, “Semakin mahal harusnya makin mudah dilipat”, tapi setelah itupun Ibnu juga sedikit mengeluh kalau sleeping bag tipisnya tidak mempan menahan dingin dari lantai. Hahaha.
Karena hanya punya satu hari di Madrid, kami bergegas ke stasiun metro untuk ke pusat kota. Jaringan subway di Madrid tampaknya sudah begitu baik dan mencakup setiap sudut kota. Pun cukup bersih seperti yang kutemui di Stockholm – hal yang cukup kuingat, karena melebihi expektasi awalku tentang negara–negara di Eropa Selatan yang kabarnya lebih “sedikit chaos” dari bagian Eropa lain, dan jangan dibandingkan dengan Eropa Timur tentunya. Nyatanya, kota ini memang dicatat memiliki jaringan transportasi terbaik kedua di Eropa setelah London. Dan Metro de Madrid adalah the cheapest metro in Europe juga menjadi salah satu jalur metro terpanjang ke-6 di dunia. Waw!!! Kami membeli tiket seharga 5.2 euro yang menurut penjaga loket berlaku hingga pukul satu malam nanti (one day ticket), juga single ticket untuk keperluan balik ke bandara esok harinya seharga 1 euro.


Jauh hari sebelumnya, kami sudah survey dan memesan hostel untuk hari itu. Tapi karena baru bisa check in setelah pukul sebelas, maka kami memutuskan untuk langsung mencari spot sightseeing pertama kami. Sebenarnya, walaupun belum waktu check in, lebih baik untuk langsung ke hostel dahulu. Setidaknya mengabarkan kedatangan sehingga kamar tidak diberikan ke orang lain – yang kudengar cukup sering terjadi di beberapa hostel ketika kita terlambat datang dari konfirmasi -, dan juga lumayan membantu untuk menitipkan tas (beberapa hostel mau menerima penitipan tas calon tamu). Tapi karena ini kali pertama bagi kami bertiga tidak ada yang menyadari fakta ini, hingga di sanalah kami yang masih fresh membawa–bawa tas 6 – 8 kilogram itu keliling kota Madrid di pagi buta ini.
Tanpa peta Madrid di tangan dan hanya bermodal peta metro saja, sekitar pukul delapan kurang kami tiba di Puerto del Sol, spot sightseeing pertama kami. Matahari belum menampakan wajahnya pagi itu hingga suasana masih seperti waktu subuhnya Jakarta dan angin bertiup cukup dingin. “Tapi setidaknya tidak ada saljunya”, begitu pikirku. Menurut yang kuketahui, Madrid terletak di zona dengan iklim yang cukup tak terduga juga, begitu panas ketika summer dan bisa jadi secara sporadis turun salju ketika winter. Jadi tidak sia–sia aku membawa jaket tebal yang dipakai semenjak di Stockholm, karena cuaca tak menentu seperti itu.
Madrileños
Puerto del Sol adalah jantung kota Madrid yang menghubungkan jalanan utama dan tempat–tempat tersibuk, juga tak jauh dari kilometer zeronya kota. Kulihat banyak gedung tua pencakar langit, kantor–kantor pusat pemerintahan, sejarak berjalan kami saja dari plaza ini menuju jalan utama Gran Vía. Di sana juga terletak patung yang menjadi simbol kota : oso (beruang) yang sedang memanjat pohon madroño ditemani patung Raja Charles II dengan kudanya. Di tengah plaza, tepat di depan gedung central post office ada instalasi kabel untuk pohon natal yang tidak dihidupkan lampunya. Belum lagi air mancur di tengah plaza juga tidak beroperasi, juga pemandangan giant neon Tío Pepe yang katanya menjadi a famous fixture of this area dirusak dengan instalasi renovasi, hingga cepat kuambil kesimpulan kecewa bahwa area ini : garing.




Masih menyempatkan mengambil beberapa gambar dengan tidak mood dan lalu berjalan menyusuri jalanan sekedar untuk menghangatkan badan. Tak lama, kami bertemu kafe yang menjual kopi dan sandwich yang harganya sedikit lebih murah dari harga bandara tadi malam, sekitar 3 euro – keputusan yang pasti tidak akan kuambil beberapa hari kemudian -. Dan di sanalah kami duduk di kursi di depan kafe yang belum sepenuhnya buka pukul delapan itu, menghabiskan beberapa gigit sarapan pagi kami.
Beranjak waktu sedikit lebih terang, kami mencoba melihat pasar buku loak di Atocha yang juga satu area dengan Stasiun Madrid yang berseberangan dengan Reina Sofia Museum. Karena tidak ada budget untuk membayar tiket museum dan juga tampaknya tidak ada yang berminat untuk masuk museum, aku mengajak teman–teman melihat pasar buku loak. Tapi ternyata pasar hanya dibuka minggu pagi, dan hanya beberapa toko yang buka waktu itu sehingga cukup sepi. Buyar sudah anganku untuk ikut hanyut dalam lautan Madrileños alias warga Madrid yang juga disebut gatos (kucing) untuk sekedar melihat buku–buku bekas. Kami juga tidak masuk ke dalam stasiun dan tidak menyadari ada sighseeing berharga di dalam stasiun itu : di dalam bangunan tua stasiun ada taman berikut kolam dan kura–kura yang pasti sangat menarik. Instead, kami hanya duduk dan berfoto–foto dengan patung kepala anak kecil di luar bangunan, what a stupid!
Sedikit siang, waktu terasa masih lama sebelum kami boleh check in. Kami putuskan untuk ke markas Real Madrid saja dengan metro line 10 langsung ke Stadion Santiago Bernabéu. Estadio Santiago Bernabéu, yang diresmikan tahun 1947 awalnya bernama Nuevo Estadio Chamartín, pernah menjadi tuan rumah world cup di tahun 1982 dan kabarnya bisa menampung penonton hinga 75 ribu orang. Dan sekeluar dari subway waktu itu, memang langsung kami terpesona dengan megah gedungnya. Dan yang makin membuat senang adalah adanya area untuk berpose tanpa bayar tapi tetap dengan logo prestise Bernabéu di latar belakang. Waktu berfoto–foto itu juga, kami sempat bertemu rombongan orang Indonesia keturunan Cina yang katanya sedang berlibur dari kantor, bahkan salah seorang bapak tua di rombongan itu sempat menawarkan diri untuk mengambil foto kami bertiga di depan stadion itu. Eric dan Ibnu memutuskan untuk masuk dan membayar 16 euro untuk mengikuti tur Bernabéu demi bisa mengakses area dalam stadion. Sedangkan aku yang tidak terlalu tertarik dengan bola memutuskan untuk menunggu di luar saja. “Lebih baik 16 euro itu kusimpan untuk tiket masuk Alhamra atau Acropolis nanti”, begitu pikirku.
Dua jam aku menunggu di luar barulah mereka keluar dari stadion. Karena sudah cukup siang – sekitar pukul dua – dan kelaparan (padahal target kami sudah menuju hostel pukul dua belas tadi) kami pun membeli paket burger king di sekitar stadiun seharga 5 euro. Waktu itu Ibnu sempat bercanda, “Nanti di dekat hostel ada burger king murah cuma 3 euro”, yang kami tanggapi dengan bercanda “Ya nggak mungkin lah, di mana–mana burger king pasti sama harganya.” Dan ternyata benar, sekeluar dari stadion, Anton Martin menuju hostel siang itu, kami melihat toko burger king dengan tulisan besar di pintunya menunjukan angka 3 euro untuk paket burger yang sama yang kami beli tadi. Sontak kami semua tertawa miris menghibur diri sambil berkata pada Ibnu, “Nanti kalau mau ngeramal lagi, yang baik–baik ya!”.

Cat’s Hostel yang menjadi rumah kami malam itu termasuk top rate di hostelworld, berdiri di area bangunan tua dan ternyata sedang direnovasi. Ketika kami masuk, officernya sedang sibuk melayani tim backpacker lain yang juga baru datang. Dengan dingin dan efisien, mereka pun lalu melayani kami untuk membayar kamar dan memberi kunci. Kelak setelah beberapa kali keluar masuk hostel backpacker, hal ini menjadi sedikit pertanda bagiku, karena biasanya hostel yang laku dan bagus, officernya dingin, mungkin karena lelah menghadapi banyak backpaker kere. Sedangkan hostel abal–abal yang cukup sepi, biasanya lebih ramah, mengkompensasi banyaknya kekurangan fasilitas yang mereka sediakan dengan harga hampir sama atau lebih mahal. Secara umum, kamar 13 euro kapasitas dua belas orang yang kami sewa cukup nyaman, lengkap dengan loker yang ada kuncinya, akses internet, dan kamar mandi yang walaupun sedikit sempit – dan malam itu sempat terganggu dengan suara cipokan yang sangat sibuk dari tetangga sebelah – tapi at least tidak perlu mengantri toilet di pagi hari, karena model toiletnya seperti kamar mandi barak, tapi dengan sekat–sekat.

Setelah mandi, berbenah, dan sedikit mengistirahatkan kaki, kami putuskan untuk keluar ke pusat kota sore itu. Rencana ke Retiro Park tidak jadi direalisasikan dengan alasan dingin dan sudah sore, sehingga kami langsung bergegas ke Puerto del Sol lagi, lalu berjalan ke Palacio Real atau kediaman keluarga kerajaan. Sebenarnya, kudengar kabar ada walking tour gratis setiap hari dari Palacio Real pukul tiga sore, tapi tampaknya kami tidak bisa mengejar jadwal itu karena baru tiba pukul tiga kurang di hostel dan keluar lagi pukul lima.
Madrid’s Real Face





Ternyata Puerto Del Sol yang tadi kupikir garing baru menampakan sosok sebenarnya menjelang malam hari. Plaza yang tadinya sunyi sepi sore itu dipenuhi lautan manusia, penjaga lotre, dan hiruk pikuk. Sepertinya semua Madrileños keluar dan berkumpul di Puerto del Sol saat itu. Dan memang, ini adalah hari–hari menjelang natal, dimana orang–orang biasa keluar untuk jalan-jalan berbelanja hadiah dan menikmati suasana kegembiraan menjelang natal. Belum lagi penjualan lotre yang makin menggila, mungkin orang–orang ini berharap rejeki nomplok menjelang natal. Pohon natal dari lampu di tengah plaza pun sekarang sudah hidup, menampakan sosok pohon natal raksasa berwarna biru dengan bintang–bintang warna merah. Juga air mancur yang beroperasi lengkap dengan lampu–lampunya, membuat suasana di tengah plaza tampak hidup. Kami hanyut dalam keramaian kota, orang–orang berbelanja, kehebohan lotre dan muda–mudi yang bercengkrama riuh ramai.
Kami terus berjalan kearah Plaza Mayor, yang kabarnya adalah pasar sejak abad ke 15 dan menjadi pusat keramaian, juga untuk aduan banteng, turnamen eksekusi penjahat, dan lain-lain. Ketika kami memasuki area tersebut malam itu, keseluruhan plaza sudah diubah menjadi pasar natal, tempat orang berjualan miniatur–miniatur



kisah–kisah dalam Kristen, lengkap dengan lampu–lampu, street performance, dan lain-lain. Bulan begitu penuh cerah bersinar di langit kota. Dan ketika aku terhanyut mencerna suasana meriah waktu itu, seorang gadis Madrileños menghampiriku sambil menyodorkan kameranya berbicara cepat seakan aku mengerti bahasa spanyol untuk meminta tolong untuk diambilkan gambar. Suatu hal yang tak akan kutemui di utara, tempat bule–bule jauh lebih dingin dan pemalu. Bahkan ketika aku bertanya dalam bahasa Inggris, mau diambilkan gambar dengan mode vertikal atau horisontal, masih saja ia menjawab “Si… Si!”.
Kami melanjutkan perjalanan menuju Palacio Real de Madrid atau Palacio de Oriente atau Istana Raja Spanyol. Setiap rabu pukul 11 – 12 siang, ada atraksi pergantian penjaga / royal guard di depan istana ini, seperti juga yang ada di Stockholm. Biasanya pergantian ini akan diiringi upacara, marching band, parade pasukan berkuda, dan lain-lain. Tapi karena kami tiba di hari senin dan malam hari, terpaksa agenda ini hanya kubayangkan saja ketika melihat dari balik pagar ke dalam lingkungan istana yang memang sudah tutup. Istana kerajaan ini sendiri -seperti juga di Stockholm- tidak menjadi tempat tinggal keluarga raja, tapi hanya digunakan saat occasional khusus kenegaraan saja.
Kisah sejarah area ini sendiri bisa ditelusur kembali ke zaman kekuasaan Islam di Spanyol, ketika Mohammed I, Emir of Córdoba membangun bentengnya di sini, yang disebut Mayrit di abad ke-8. Lalu dilanjutkan oleh kekuasan Islam Taifa, yang berpusat di Toledo, kota kecil historis yang tak jauh di selatan Madrid. Setelahnya ketika Madrid jatuh ke Raja Alfonso VI, benteng ini jarang digunakan hingga kekuasaan dipegang Raja Philip II di abad ke-15, yang akhirnya memutuskan untuk membuat Madrid sebagai ibukota Kerajaan Spanyol hingga saat ini. Bangunan asli benteng sendiri sudah hancur di abad ke-17 sebelum akhirnya dibangun lagi oleh Raja Phillip V. Sebenarnya aku ingin sekedar mampir ke Toledo dalam perjalanan ini, menurut informasi yang kubaca, juga ada pasar tradisional unik di pusat Toledo yang patut juga dikunjungi. Tapi apa daya, kami hanya satu hari di Madrid, sehingga sulit bagiku untuk eksplorasi mendalam karena waktu yang begitu sempit.
Kembali ke area komplek istana ini, atau di sebut juga Plaza de Armas, juga bisa ditemui katedral terbesar yang ada di Madrid : Almudena Cathedral atau Catedral de la Almudena dengan arsitektur Neo-Gothic nya. Bangunan ini dibangun pada abad ke-18. Karena ibukota kerajaan baru saja dipindah ke Madrid, sehingga tidak memiliki katedral, yang menjadi tidak biasa bagi ibukota kerajaan Katolik. Kabarnya bangunan katedral ini berdiri di area yang dulunya merupakan masjid, yang dihancurkan di abad ke-10 ketika Madrid jatuh ketangan Raja Alfonso VI.
Puas meresapi suasana di sekitar Plaza de Armas, kami kembali ke Plaza Mayor, lalu ke Puerto del Sol untuk mengambil metro pulang ke penginapan. Tanpa diduga, ternyata jalan yang tadinya sedikit lengang dari Plaza de Armas dan Plaza Mayor, kini dipenuhi parade pemadam kebakaran yang juga sedang bersiap menuju Puerto del Sol. Menurut pendapat Ibnu, ini parade protes damai para pemadam kebakaran yang tidak mendapat libur ketika natal nanti. Well, entahlah. Yang pasti memang kulihat ada banyak polisi dan intel berjaga–jaga di sepanjang lokasi.
Ketika tiba lagi di Plaza Mayor, kulihat keramaian orang bernyanyi riuh ramai, yang tampaknya dimulai dari sekelompok anak muda bernyanyi bersama. Aku duduk sejenak dengan Ibnu dan Eric menikmati keramaian bersahabat ini. Hanyut dalam kegembiraan warga Kota Madrid sambil menikmati makan malam sederhana kami : sebuah roti dan apel yang tadi kami beli di supermarket kecil.
Aku mulai merasakan sedikit perbedaan antara orang Eropa bagian utara dan selatan walau baru satu hari di kota ini : keramahan dan keterbukaan warga Madrid, sapaan hangat dan senyum di jalan, bahkan pada orang asing berwajah asia sepertiku. Atau memang bisa jadi seluruh kota terkena euforia kegembiraan menyambut natal, sehingga senyum bahagia bersahat bersemi di seluruh pojok kota bahkan di tengah musim dingin seperti ini. Entahlah. Yang pasti aku begitu menikmati suasana hanyut dalam keramaian masyarakat lokal seperti ini, dibandingkan hanya berpose di depan bangunan atau patung–patung besar.
Lelah dan mengantuk, kami tiba di hostel lagi pukul sepuluh malam. Langsung mandi dan istirahat. Esok hari kami harus bergegas kembali ke Madrid – Barajas Aeropurto pada pukul enam, melanjutkan perjalanan into another unknown, memasuki Portugal dan kota pertamanya, Porto.
Tulisan dan Foto oleh Laili Aidi
http://lailiaidi.blogspot.com/2011/01/madrid-backpacking-winter-escape-2010.html
Pertamax…..!!!
he…he…senang sekali baca tulisan macam ini.
kemarin barusan menamatkan buku Ranah 3 Warna-nya A. Fuadi, buku kedua setelah N5M-nya. Entah kenapa saya tergelitik untuk setidaknya membandingkan rangkaian buku-bukunya ini dengan tetralogi Laskar Pelangi, karangan Andrea Hirata.
Secara pribadi, seperti pengalaman2 kl membaca buku berseri yg, kadang menimbulkan kekecewaan, buku pertama begitu menarik dan sang penulis tetap teguh pada konsep kenapa ia menulis. Sehingga pada tulisan2 itu jauh dari bias yg membosankan dan kadang tak perlu.
Nah pada buku Ranah 3 Warna, sy cukup terkejut, ternyata sang penulis tidak tergesa2 dan tidak terlena untuk keluar dr tujuan awal membangun N5M, bias yang tak perlu, menurut saya tidak terlihat di buku kedua ini. Dan karena kisah itu adalah bagian dari kisahnya sendiri, maka keteguhan supaya tidak terbawa pada kisah sebenarnya, menurut saya adalah nilai lebih dari tulisan (buku) kedua-nya itu.
Tulisanmu ini gimana De? he..he..menurut saya, ada ide yang harus dikukuhi sebelum membuat sebuah kisah, ada yang harus lebih diutamakan, agar ia lebih bermakna bagi pembacanya, dibanding sekedar menulis kisah perjalanan.
Haha…terimakasih untuk tanggapan nya mas..terus terang saya sudah menahan ngiler membaca buku ke-2 A Fuadi ini..apalagi buku pertamanya adalah satu-satunya buku yang saya bawa dari jakarta..menemani perjalanan 18 jam melintas setengah bumi tempo hari.
Untuk tulisan diatas, memang betul, hanya sebuah kisah perjalanan biasa..karena niatan awal menuliskan nya pun hanya sekedar berbagi pengalaman dan detail perjalanan..sebelum kisahnya terkunci didalam kepala saya, menjadi lupa.
Kisah Ikal dan Alif, tentu jauh api dari panggang klo dibandingkan dengan sepotong cerita saya diatas.. bagi saya, kisah yang mereka tuangkan dalam buku itu, lebih sebagai sari pati renungan dari endapan pengalaman, sedangkan tulisan saya diatas, sekali lagi, hanya cerita sederhana untuk sharing pengalaman, sekaligus media saya untuk mengeluarkan grenengan racun dikepala, menepikan pikiran sejenak dari rutinitas hidup 🙂
terimakasih sudah mampir, dan selamat menulis terus!
Nice story.
Buletin bivak ga akan kekurangan bahan berita nih…
Hajar Bleh…!!!
Bahan bukunya jangan lupa juga. 😀
I’ll right away grab your rss feed as I can’t find your email subscription link or e-newsletter service. Do you’ve any? Kindly let me understand so that I may subscribe. Thanks.