Mengunjungi Sang Penjaga Lembahan Solo
Catatan Pendakian Gunung Merbabu September 2010
Lebih dua jam berjalan kaki dari base camp pendakian, barulah kami mendapati pemandangan terbuka. Beberapa puncakan bukit terlihat dengan satu dua tumbuhan cantigi dan edelweiss (Anaphalis Javanica), namun puncak gunung ini sendiri belum terlihat, sementara Puncak Merapi di sebelah selatan sesekali jelas menampakkan diri di antara awan tipis. Di sini, di Sabana 1 Gunung Merbabu, Sadelan Merapi dan Merbabu nampak hijau berkerut-kerut. Kabut kembali menyelimuti sadel kecil seluas lapangan ini, dan perjalanan dilanjutkan ke Sabana 2.
Dari Sabana 2, segala rupa pemandangan tampak lebih jelas dan luas. Tak hanya Merapi, Lawu pun nampak sesekali muncul dari timur jauh sana dengan gambaran siluet mirip wajah wanita cantik sedang tertidur.

Tiga Penjaga Lembahan Solo.
Mereka adalah Gunung Lawu, Merapi, dan Merbabu. Di antara kaki-kakinya mengalir Sungai Bengawan Solo. Sungai besar yang pernah menjadi urat nadi Jawa Tengah. Tak salah pilih kiranya Joko Tingkir yang bergelar Sultan Hadiwijaya memilih tempat ini sebagai lokasi awal kerajaan baru sekaligus memindahkan pusat pemerintahan dari pesisir utara Jawa ke pedalaman setelah keruntuhan Demak. Wilayahnya meliputi Boyolali dan Klaten, hingga berkembang dan menjadi cikal bakal Kesultanan Pajang. Menandai perubahan sistem kemasyarakatan Jawa yang tadinya maritim menjadi agraris. Pajang yang didirikan abad ke-16 ini mencapai puncak keemasannya hingga menguasai Jawa Timur dan Madura, namun meredup setelah kekalahannya melawan Mataram.
Semuanya bermula dari Lereng Merbabu – Merapi ini. Beberapa bukti menunjukkan wilayah awal Kerajaan Pajang bukanlah Kartosuro seperti yang terlihat dari reruntuhannya saat ini, namun daerah Pengging yang terdapat di Kabupaten Boyolali. Daerah ini merupakan daerah yang sangat subur, kaya dengan potensi hasil bumi yang siap digarap, bahkan pernah menjadi lumbung gula bagi kolonial Belanda.
Betapa tidak, hingga saat ini Merapi, salah satu penjaga lembahan ini masih aktif memberikan kesuburan dengan letusan vulkaniknya. Sementara di sebelahnya, Merbabu dengan keteduhannya memberikan daerah tangkapan hujan. Agak ke timur, di tengah dataran luas itulah mengalir Sungai Bengawan Solo yang sejak dulu menjadi sarana transportasi bagi pedagang untuk membawa hasil buminya hingga ke Gresik, Jawa Timur, tempat sungai itu bermuara. Kondisi itu sangat ideal sebagai pusat peradaban besar. Tanah luas, datar dan subur, iklim ramah, serta adanya jalur transportasi yang disediakan oleh kemurahan alam. Posisinya yang di daerah pedalaman juga membuatnya sulit diserang musuh dari negeri lain, menambah besar potensi untuk berkembang lebih besar lagi.
Saya sempat bayangkan seandainya kerajaan besar itu berkembang lebih besar lagi, bukan tak mungkin negara kita sekarang berpusat di lembahan Bengawan Solo yang sekarang menjadi Kota Surakarta plus penyangganya yang berpenduduk kurang lebih satu juta jiwa.
Sabana 2
Di Sabana 2 kami mendirikan camp. Sembari menikmati wedang jahe hangat sambil menghangatkan diri di api unggun, saya teringat awal perjalanan kami tadi. Jauhnya base camp pendakian dari lokasi kendaraan umum memberikan kami kesempatan menikmati suasana desa. Ingin segera melapor dan melanjutkan pendakian, namun tak salah rasanya lebih lama menyapa penduduk yang ramah dan selalu tersenyum tulus. Beberapa terlihat sedang mengurus ladang tembakau atau wortel dan sayuran lain, wilayah ini juga menghasilkan tembakau selain berbagai macam sayuran. Seorang ibu-ibu terlihat sedang menenteng kulit ketupat. Ternyata hari ini bertepatan dengan Bakdo Kupat, sepekan setelah Idul Fitri.

Puncak
Keesokan harinya pagi-pagi sekali kami mulai bergerak ke arah Puncak Merbabu. Padang rumput terbuka ini cukup memberikan kami gambaran seperti apa nanti jalur yang kami lalui. Beberapa tanjakan curam di antara bukit-bukit dan sesekali dataran luas dan jalur yang melipir landai, diselingi edelweiss yang sedang merekah, dan akan tetap mekar untuk waktu yang cukup lama.
Sesekali menengok ke belakang ke arah Merapi hanya untuk mengagumi puncakan aktif itu, atau ke timur ke arah Lawu yang damai. Akhirnya kami mencapai Puncak Merbabu, berupa dataran dan beberapa onggok batu yang menandai bahwa ini adalah puncaknya. Kami lanjutkan mengunjungi Puncak 2 lalu segera turun untuk menuju titik awal keberangkatan kami. Hujan deras terus mengiringi kepulangan kami hingga menejelang Desa Genting tempat kami memulai pendakian.
more photos:
Solo, September 2010
Tulisan dan Foto oleh Astaka Sarwiyanto
Mantap Gan! Foto-fotonya juga keren.
Ditunggu cerita-cerita sampingan dari Merbabu.
welcometothejungle…
kaya baca tulisan dan liat gambar di NG euy, sipp…. ka
viva ASTACALA!!!
wah… jadi banyak tulisan perjalanan, lebih hidup! like this! 🙂
foto2nya bikin ngiler gan..
tulisannya juga muantap..
a071ka katanya konon jago caving. Tolong disharing dong cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman cavingnya!
via selo yah..coba track via wekas..dengan seni “puncak menipunya”..;p