Sepatah Cerita Borneo (Part 2)

Entah siapa yang bisa disalahkan dari kejadian ini, atau jangan-jangan{nl}ini bukan sebuah kesalahan. Tapi yang jelas dari tontonan televisi aku{nl}sering melihat polisi hutan yang bermodal kecil itu menangkap ratusan{nl}kubik kayu ilegal yang aku yakin itu jauh lebih kecil jumlahnya{nl}dibandingkan yang kulihat ini. Kejahatan pencurian kayu ilegal, tanpa{nl}izin telah merugikan negara. Persetan dengan kerugian devisa negara,{nl}kerugian yang sesungguhnya adalah kita kehilangan harta yang berharga{nl}yang telah ada dengan waktu yang lama hilang dalam sekejap. Pohon itu{nl}tidak tumbuh dalam dua hari seperti kecambah, tapi butuh waktu ratusan{nl}tahun dengan seleksi alam yang luar biasa.

[more]

{nl}

Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Dengan hph berbuat semaunya

Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu

Oh mengapa…
O… Oh… Ooooo…
Jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung

Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia

Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja

O… Oh… Ooooo…
Jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti

Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia

Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi ? Iwan Fals

* * *

Dimulai dari Sebuah Obrolan yang Biasa Saja, Sekedar Basa-basi

     Bapak, sepuluh, limabelas, tahun yang lalu daerah ini seperti apa? Apakah sudah segersang dan seterang ini? Bapak yang sudah berumur 50 tahun lebih sepertinya itu mengatakan “dulu aku masih bisa melihat burung terbang dan kicauan burung” Hawanya tidak sepanas sekarang, sekarang rasa-rasanya teriknya sangat menyengat.

Sejauh Mata Memandang

     Suasana siang itu begitu singkat untuk dilewati dengan cerita tentang sangar dan gaharnya hutan di wilayah Borneo ini. Cerita tentang bagaimana serunya orang dayak dahulu dalam melintas daerah yang berimba dengan menggunakan perahu klasik mereka, tanpa suara mesin, tanpa sinyal telepon seluler, tanpa kecanggihan teknologi. Seolah aku dibawa terbang ke masa itu. Setidaknya begitulah gambaran cerita yang kutangkap dari dogengan malam itu. Pah Mahyuddin adalah salah satu sisa orang tua yang tersisa, setidaknya yang bisa kuajak ngobrol malam itu. Malam itu, suasana Tumbang Samba seperti malam biasanya di kota bahkan mungkin juga di Bandung. Yang membuat suasana ini berbeda adalah, aku dalam suasana kerja dan tempatnya saja. Disela mencari informasi untuk keprluan pekerjaan, aku sempatkan untuk mencari dan bertanya tentang betapa hebatnya daerah ini dahulu, apa daerah ini sehebat yang aku kira dan aku bayangkan?

Hasil Pembukaan Lahan

     Tidak salah mungkin kalau saat aku bersekolah dulu, aku selalu diceritakan tentang betapa hebatnya Indonesia, dengan tanah yang luas, subur dan hamparan hutan yang menjadi paru-paru dunia itu ada di negara kita. Jawaban yang tidak mungkin lain adalah Kalimantan. Untuk itu aku mencoba mencari tahu, apa benar “dia” sehebat yang aku bayangkan saat aku belum menginjakkan kaki disini. Hutan yang lebat, sungai yang berkelok, riam yang besar, dan suku pedalaman yang menarik dan unik. Serta pesona hewan dan tumbuhan yang menawan.

     Lama aku mencari cara untuk bisa bertanya tentang kehidupan, sejarah dan bagaimana dahulu daerah ini.Setelah semua yang aku lihat (mungkin baru kulitnya) yang kulihat adalah daerah ini memang mengerikan, tapi bukan hal yang mengerikan yang kubayangkan, yang terlihat adalah betapa mengerikannya hutan yang telah menjadi batang kering, gosong dan hanya ada hamparan rumputan hijau sejau mata memandang. Ada sebagaian yang berwarna hijau, namun itu bukan hutan lebat yang hebat, melainkan ratusan hektare perkebunan sawit, dengan tinggi yang sama, berbentuk rapi dan berbaris sejajar, juga sejauh mata memandang.

***

Antara Hidup Sebijaknya dan Sejuta Kebutuhan

     Rasa-rasanya aku sulit untuk menemukan batangan kayu dengan kelilingnya tak bisa dipeluk kedua tangan di hutan Ciwidey, Pegunungan Sunda, bahkan di hutan tropis di Pulau Jawa. Tapi disini aku bisa melihatnya dan menemukannya dengan gampang, Aku yakin batangan pohon yang berdiameter hampir 1,5 meter itu sudah berumur diatas puluhan tahun bahkan ada beberapa jenis batangan kayu tertentu bisa berumur ratusan tahun. Bisa kubayangkan…

     Aku bisa menemukannya dengan mudah di sini, cobalah kita sedikit berjalan menyusuri sungai, entah sungai Barito, Kapuas atau sungai lain yang mungkin aku belum pernah lewati, pasti kita akan menemukan ratusan pohon berdiameter besar dan tegak lurus itu berjejeran di depan mata. Kelihatan tangguh namun tak ada gunanya kini, setelah ratusan (aku yakin ratusan ribu) batangan pohon itu tergeletak tak berdaya, dengan posisi tertidur dan siap diangkat mobil dan diapungkan di perairan sungai untuk di hanyutkan ke hilir yang kemudian disortir untuk selanjutnya ditukar dengan rupiah.

Kayu Siap Dijual

     Rasanya ingin aku melihat bagaimana gagahnya pohon ini berdiri tegak di tengah hutan belantara, dengan hijau, tanah yang becek berair khas kalimantan, dan gelapnya suasana karena lebatnya daun sehingga menutupi matahari untuk mengintip ke tanah. Tentu itu akan membuat kita tertegun, dan bisa kubayangkan, betapa setianya mungkin kayu ini menjaga kokohnya tanah, dan resapan air di dalamnya. Kini tinggal sisa kerasnya kehidupan sehingga memaksa kita untuk menebangnya, dan sudah saatnya kekuatan alam dari hutan itu kita tukar dengan rupiah dengan alasan kebutuhan hidup manusia.

Kayu Dititip Sementara Sebelum Dialirkan ke Pasar

Itu Kebutuhan Kita

     Apa memang sudah saatnya kita menebang dan kita rasa ini memang sudah tuntutan zaman. Kebutuhan yang semakin meningkat sehingga segala sumber daya yang ada dimanfaatkan untuk kelangsungan kita? Kelangsungan kita mengorbankan kelangsungan yang lain? Kebutuhan akan kertas, kebutuhan akan gaya hidup, kebutuhan untuk membangun rumah, perabotan dan kebutuhan untuk industri yang semakin bertambah.

     Sulit mencari alasan untuk tidak melakukan hal tersebut, paksaan akan kebutuhan keluarga, peningkatan taraf hidup masyarakat, dan mempertebal dompet pengusaha dan kondisi keterpurukan pendidikan di daerah sekitar sehingga itu menjadi hal yang paling saling mendukung.

Dia… Adalah Pusaka Sejuta Umat Manusia yang Ada di Seluruh Dunia (Naif)

     Saat ada pengusaha luar yang bisa melihat potensi alam berupa kayu besar, lurus dan panjang, tersedia begitu rupa di Borneo, didukung oleh pemerintahan (yang mungkin) bisa dipermudah dengan sokongan uang, untuk mempermudah HPH, dan hak guna hutan, yang kemudian didukung juga oleh kondisi masyarakat asli yang tidak memiliki cara yang lebih luas untuk bisa berkerja karena keterbatasan, jarak, dan kondisi ekonomi yang tidak bisa diterima dunia, sehingga mudah untuk dirasuki menjadi pekerja penebang kayu di tengah lebatnya rimba hutan kalimantan. Para cukong-cukong membiayai dana untuk mencari kayu mulai dari pinggiran sungai hingga pedalaman hutan yang mungkin butuh berhari-hari untuk mencapai ke sana. Hingga terapunglah jutaan kubik kayu berharga itu di kanal-kanal sungai yang kemudian digiring ke tempat logging dan kemudian didistribusikan hingga menjadi rupiah yang berlipat ganda, menggiurkan memang.

     Belum lagi pembukaan lahan hutan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah manusia di pulau jawa. Tapi pengaruhnya tak terlalu kentara jika hanya tenaga manusia untuk membuka lahan dan aku yakin itu bisa diatasi oleh kekuatan daur ulang hutan. Tapi “transmigrasi” perusahaan kayu oleh para cukong itulah yang menjelajah hutan dan kemudian membukanya untuk perkebunan karet, sawit, dan penambangan emas. Kembali ke permasalah kebutuhan kehidupan.

     Entah siapa yang bisa disalahkan dari kejadian ini, atau jangan-jangan ini bukan sebuah kesalahan. Tapi yang jelas dari tontonan televisi aku sering melihat polisi hutan yang bermodal kecil itu menangkap ratusan kubik kayu ilegal yang aku yakin itu jauh lebih kecil jumlahnya dibandingkan yang kulihat ini. Kejahatan pencurian kayu ilegal, tanpa izin telah merugikan negara. Persetan dengan kerugian devisa negara, kerugian yang sesungguhnya adalah kita kehilangan harta yang berharga yang telah ada dengan waktu yang lama hilang dalam sekejap. Pohon itu tidak tumbuh dalam dua hari seperti kecambah, tapi butuh waktu ratusan tahun dengan seleksi alam yang luar biasa.

     Pak tua itu bertutur dengan lancarnya bagaimana masa kecilnya dilewati dengan kehidupan yang serba terbatas, akses keluar sebagai suku dayak hulu masih terbatas hingga masa mudanya dilewati menjadi penebang kayu dan penambang emas, dengan bayaran yang menggiurkan sehingga tidak butuh sekolah tinggi untuk bisa menjadi kaya. Sekarang setelah pohon daerah tersebut habis, pemuda zaman itu mulai beralih ke emas, penambangan liar dan sekarang sudah mulai susah mendapat titik penambangan. Keadaan sudah mulai terdesak. Tak masalah bagi cukong atau pengusaha. Di luar sana, mereka bisa mencari lahan baru. Sementara kita seperti sadar tapi acuh bahwa kita telah kehilangan harta kita dan kita cuma bisa saling menyalahkan saja, sepertinya.

Ini Sudah Seharusnya

     Hidup memang harus berputar, aku jadi teringat tentang kata-kata hiduplah berimbang, harmonislah dengan alam. Alam akan berbaik hati dengan kita, jika kita meperlakukannya dengan semestinya. Suku-suku di sini menyayangi hutan mereka sebagaimana hutan ini sudah melindungi nenek moyang mereka.

Tumbang Samba, Katingan ? Kalteng, Januari 2010

NB: Tulisan ini penuh unsur opini.
Sumber : Rangkuman hasil obrolan, dengan beberapa orang tua yang saya temui dilapangan, beberapa pertanyaan santai, cuma iseng saja, dan tentunya informasi masih kasar dan buram.

One thought on “Sepatah Cerita Borneo (Part 2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *