Sepatah Cerita Borneo (Part 1)

Related Articles

{nl} Aku bisa merasakan bagaimana susahnya anak-anak di sini untuk bisa bersekolah, mereka membutuhkan tenaga dan niat yang tidak kecil untuk bisa sekedar melangkah ke bangunan yang bukan gedung sekolah seperti di Jakarta. Jarak rumah dengan ‘gedung’ sekolah begitu jauh, butuh waktu hampir satu jam paling cepat untuk mencapai tempat itu, pagi hari dengan menggunakan perahu kecil yang biasa di kenal dengan nama ‘klotok’ untuk dapat mencapai sekolah yang berada juga di pinggiran sungai Kahayan.

[more]

{nl}

    Semakin jauh aku melangkah dan masuk ke Indonesia semakin aku kagum dengan segala keragaman yang dimiliki negeri ini. Bangga aku akan keragaman yang ada didalamnya, hanya saja aku benci dengan orang-orang yang mengelolanya.

Road to Kahayan

     Sebuah cerita yang sepertinya hampir sama sepertinya aku temui di setiap perjalanan yang aku lewati. Sebuah lagu lama yang begitu nyaring di telinga kita. Sebuah ‘kejomplangan’ sisi kehidupan yang begitu dekat dengan kita. Kehidupanku sebagai penggali kesempatan untuk mencari kepingan rupiah adalah sisi yang sama yang dimiliki semua orang dan di tiap sisi kehidupannya. Aku mungkin sedikit lebih beruntung bisa mengenyam pendidikan dari tingkatan taman Kanak-kanak dengan gembolan tas makanan lucu di punggung adalah masa indah dan ceria yang telah kutoreh di kehidupanku masa kecil. Kemudian mengenyam pendidikan Sekolah Dasar dengan lancar dan tanpa masalah yang berarti, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Lanjutan Atas dengan mudah, hingga mampu mengenyam pendidikan di bangku kuliah dengan kendala yang tidak berarti. Kemudahan yang aku dapat dengan bantuan kedua orang tuaku, mulai dari bantuan utama seperti dana dan kemudahan akses kunci informasi dan semua kemudahan bisa aku dapatkan di pulau tersibuk dan terpadat di Indonesia.

Pesonamu Jakarta, Membawa Kami untuk Merapat di Punggungmu

     Sebuah sisi balik dari kehidupan yang aku jalani adalah sebuah fenomena tentang bagaimana kerasnya kehidupan, menggembleng anak-anak, pemuda, dan warga untuk menelan pahitnya perbedaan yang ada didalam kebhinekaan yang kita agungkan selama ini.

     Aku melihat dengan jelas bagaimana kemudahan kehidupan yang aku terima tidak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan yang harus diraih sebagian orang di pelosok negeri ini. Tentunya aku belum pernah melihat yang lebih menyedihkan dari ini, dan aku yakin itu jauh lebih banyak dari yang aku ketahui. Kehidupan di sini begitu terlihat bak hitam di kertas putih. Kejomplangan yang ada adalah bukti bagaimana pemerataan belum berjalan. Kata ‘berat sama dipikul, ringan sama dijinjing tidaklah semudah yang kita ucapkan saat kita di bangku sekolahan dulu. Kehidupan sebagian warga yang begitu berat untuk meraih apa yang bisa kita raih dengan mudah walaupun menurut kita itu sudah susah.

***

Banama Tinggang dan Lumpur Emas

     Aku bisa merasakan bagaimana susahnya anak-anak di sini untuk bisa bersekolah, mereka membutuhkan tenaga dan niat yang tidak kecil untuk bisa sekedar melangkah ke bangunan yang bukan gedung sekolah seperti di Jakarta. Jarak rumah dengan ‘gedung’ sekolah begitu jauh, butuh waktu hampir satu jam paling cepat untuk mencapai tempat itu, pagi hari dengan menggunakan perahu kecil yang biasa di kenal dengan nama ‘klotok’ untuk dapat mencapai sekolah yang berada juga di pinggiran sungai Kahayan.

     Kehidupan kini telah banyak berubah, dulu sebelum tahun 1990an kehidupan hanya berada di sepanjang pinggiran sungai Kahayan. Jarak antar desa tidak begitu jauh hanya lima kilometer, namun perahu kecil klotok itulah yang akan mengantar mereka ke sekolahan. Jangan bayangkan bagaimana cara guru mereka menjelaskan pelajaran dengan laboratorium IPA, guru yang bisa ditemui bisa dihitung satu jari tangan. Itu baru Sekolah Dasar, bagi sebagian kecil yang masih berniat melanjutkan pendidikan ke bangku SMP perjuangan akan bertambah keras, mereka harus bersedia melakukan perjalanan panjang dan jauh ke kecamatan untuk bisa mengecap bagaimana rasanya bisa bersekolah di SMP atau SMA di kecamatan. Namun godaan dan tuntutan kehidupan biasanya lebih banyak meracuni dan menyaring anak-anak untuk mengambil pilihan hidup lain selain melanjutkan pendidikan. Menambang emas dan pergi mencari ikan di bantaran sungai Kahayan atau pergi berburu babi hutan dan mencari kayu untuk dijual ke kecamatan lebih menarik minat mereka. Bukan tidak wajar alasan berpaling dan lari dari kebutuhan pendidikan. Menjadi tulang punggung keluarga yang rapuh adalah alasan utama untuk ke sana. Mendulang emas yang berlimpah di dalam kelamnya tanah coklat Sungai Kahayan lebih menjanjikan daripada mengenyam pendidikan di bangku sekolahan yang belum tentu dan mungkin tidak ada jaminan. Biaya sekolah selangit, jarak tempuh yang tidak dekat, fasilitas yang tidak mendukung, jangan bicara mutu pendidikan di sini.

     Alhasil jadilah remaja yang sebagian pemuda itu sebagai generasi penerus bapaknya yang juga merupakan generasi segar sebagai pencari emas, pemburu babi hutan, pemotong kayu di pedalaman hutan borneo yang terkenal seantero dunia dengan batang pohon kayunya yang bermutu tinggi, serta kehandalan mereka dalam menjaring ikan air tawar Kahayan.

     Sempat aku terlintas bagaimana begitu mudahnya aku menelpon orang tuaku untuk meminta duit bulanan tambahan untuk sekedar beli baju baru buat bergaya di mall, atau meminta duit untuk jajan dengan menamakan bantuan untuk beli buku diktat kuliah. Dan aku terenyuh melihat bagaimana kisah sebagian kecil, sangat kecil mungkin, pemuda yang berhasil mengeraskan niat untuk terus mengejar pendidikan. Sekedar berbagi cerita saja dari curahan hati seorang warga Dayak Kahayan tentang cerita salah satu dari tiga cucunya yang berhasil mengejar impian untuk berkuliah di Jakarta, mesti hanya menjadi seorang mahasiswa akademi kebidanan di Jakarta.

     Perbedaan kejomplangan yang ada belum habis sampai di sini. Penuturan lugu nenek yang sudah berumur ini begitu fasih mengingat dan mengatakan padaku bagaimana beruntungnya dia bisa membantu mengirim sedikit bantuan dari hasil mendulang emas di Kahayan untuk mengirim duit bulanan cucunya di Jakarta. Dari hasil mendulang emas dia bisa menabung untuk mengirim rupiah ke Jakarta sana. Habis sudah babi hutan terjual, habis sudah petakan tanah di hutan ini dijualnya untuk orang kota yang melihat potensi tanah borneo begitu besar. Niatnya untuk tetap mempertahankan investasi tanah warisan keturunan dayak terpaksa dilepas untuk bisa membiayai perkuliahan cucunya. Sepetak demi sepetak tanah terjual, dengan harga yang rendah kepada calo tanah yang akan menggelola hutan ini untuk dijadikan kebun karet dan sebagian menjadi tambang batu bara.

Hurung Bunut, Lawang Uru, Manen Kaleka

     Nenek turunan asli Dayak Kahayan ini hanya mampu menahan dilema di depan matanya saat satu-satunya mata pencahariannya dan sebagian besar warga desa pinggiran Kahayan. Desa Ramang, Hanua, Hurung Bunut, Lawang Uru, Penda Haur, Manen Kaleka, Tahawa dan Manen Panduran, adalah sebagian desa yang sempat kusaksikan kegelisahannya dari atas perahu ‘ches’ (sampan kecil bermesin motor kecil) yang berada di bantaran Sungai Kahayan. Kegelisahan mereka bukan tidak beralasan, bagaimana tidak, mata pencaharian mereka yang telah turun temurun yang menjadikan mereka mampu dan menjadikan mereka bisa mengenal rupiah dan bisa mengenal berbagai budaya kehidupan kota dan keindahan dari hasil mendulang emas bisa dirasakan dari disini.

     Tambang emas mereka dijadikan kegiatan haram dan dilarang oleh pihak pemerintah setempat. Kegiatan penambangan dianggap telah merusak ekosistem lingkungan dan kelstarian alam Kahayan. Entah dari sisi mana dan bagaimana bisa pemerintah bisa mengeluarkan statement seperti itu aku juga tidak begitu mengerti. Yang jelas, aku tahu betul bahwa ada sedikit ‘cara’ yang membuat itu dilarang. Dari korekan cerita warga, penambangan itu diilegalkan adalah salah satunya usaha penambangan itu tidak beriringan dengan pemasukan daerah setempat. Bisa dibilang seperti ini, hasil pendulangan emas ini hanya dinikmati oleh sebagian warga pendulang saja, tidak bisa dinikmati oleh aparat atau pihak pemerintahan setempat. Tapi mungkin juga ada indikasi murni karena terjadinya kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh penambangan emas tersebut. Namun yang kusaksikan langsung adalah bagaimana proses penambangan yang entah ilegal atau ilegal milik warga ini begitu banyak terlihat di sisi dan titik tertentu di sepanjang sungai Kahayan ini.

     Kegiatan penambangan emas ini memang begitu menggoda, betapa tidak. Jika sedang sialnya mereka bisa memperoleh 3-4 gram emas murni setiap harinya. Hasil dari penjualan emas ini akan dibagi rata dengan pekerja tambang, pemilik mesin dan pemilik usaha penambangan. Penambangan ini emang dilaksanakan secara manual oleh warga dengan mesin sedot yang juga sederhana, bukan mesin berteknologi tinggi standar pabrik sana. Kegiatan penambangan ini menjadi ilegal dan meresahkan warga yang berpenghasilan utama dari hasil mendulang emas. Satu-satunya usaha menyelamatkan mereka dari ditutupnya usaha ini adalah membayar ‘pajak’ pada setiap razia yang dilakukan oknum polisi yang dikirim pemerintah setempat. Entah ini budaya atau juga sudah menjadi kebutuhan setiap lapis masyarakat kita.

     Aku mengambil benang merah dari permasalahan ini, adalah apakah benar usah pendulangan emas tradisional warga ini benar-benar bisa merusak lingkungan dan ekosistem lingkungan? Mungkin itu harus segera dicari jawaban pastinya. Agar tidak terkesan penambangan liar warga itu diilegalkan karena tidak membayar upeti alias pajak kepada pemerintah setempat. Aku setuju saja jika penambangan itu diilegalkan jika alasannyanya adalah kelangsungan lingkungan. Tentunya dengan tinjauan ilmu lapangan secara langsung dan masuk akal tentunya. Namun sisi lain aparat juga harus mengingat bahwa bagaimana warga juga tetap bisa menikmati kekayaan alam mereka sebagai Suku Dayak Kahayan menikmati kekayaan Bumi Kahayan untuk kelangsungan hidup mereka. Untuk mereka tetap bisa membiayai kehidupan penerus mereka yang sedang berada di jawa yang berusaha untuk keluar dari ketertinggalan.

1001 Jalan Menuju Roma

     Pepatah ini begitu dekat dengan kita, entah itu memang benar atau tidak, yang jelas selalu ada jalan jika penuh dengan keinginan. Jika kita yang di kota ini bisa dengan mudah membuka laptop untuk menikmati keindahan dunia lewat internet, maka ada baiknya bayangkan bagaimana sebagian saudara kita di pelosok sana sulitnya mereka untuk hidup. Jangankan untuk menikmati kencangnya wiFi di sturbucks sambil menyeruput coffee, untuk sedikit menikmati mudahnya komunikasi dengan dunia luar saja masih sangat sulit yang menjadikan mereka semakin jauh kita tinggal dalam keterpurukan. Mungkin itu tidak menjadi masalah jika mereka tidak kita pengaruhi dengan kehidupan kita dan meracuni mereka dengan impian indah sehingga mereka berubah dari budaya yang sudah biasa mereka jalani. Entahlah, apa ini disebut yang pergerakan zaman sehingga kita perlu lebih keras dan peka terhadap perubahan zaman. Jadi mengapa kita tidak sedikit membuka jalan dan kemudahan bagi mereka untuk juga merasakan kenikmatan dan kemudahan informasi tanpa merusak budaya mereka untuk hidup dan berkerja dengan cara mereka, cara orang Dayak yang selalu berkelana dalam hutan, mencari babi hutan dan berteriak keras dalam rimbanya hutan borneo dan kelamnya rawa pulau terbesar ini.

     Sungguh mempesona pulau ini, kekayaan yang dimilikinya benar-benar menggoda untuk dikeruk, merupakan tambang uang dalam hijaunya paru-paru bumi Indonesia ini. Indonesia harus mampu menyelamatkan paru-parunya kalau masih mau bernafas tanpa sesak di tengah jalan.

Banjarmasin, Desember 2009

Comments

  1. welcometothejungle… <br /> <br />tulisan2 seperti ini yang bisa bikin org ini dikunjungi banyak pembaca, keep on writing tong… viva ASTACALA!!!

  2. salam kenal,,
    suami saya orang ramang,, sekedar undangan jika ingin bernostalgia tentang alam kahayan,,bisa mampir ke FB saya 🙂

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Suka Duka Perjalanan

Banyak cerita suka duka yang saya alami dalam melakukan perjalanan solo backpacking ke Singapura dan Malaysia beberapa bulan lalu.  Berikut beberapa di antaranya. Tidur di...

Hulu Sungai Citarum, Tempat Kami Bermain (Bagian 1 #citarumkita)

Kami yang disatukan oleh organisasi Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam (PMPA) ASTACALA kampus Telkom University sudah menjadikan Hulu Sungai Citarum sebagai rumah kedua kami. Merupakan...

99 Pulau

Aku baru saja merebahkan badanku setelah seharian silaturrahmi ke tempat sanak saudaraku di Subulussalam, Aceh, untuk mengembalikan jiwa yang fitri di Idul Fitri 1436...