Gunung ini menjadi salah satu bagian dari pegunungan yang mengelilingi Bandung. Bandung sendiri merupakan bekas danau, yang kini menjadi sebuah kota. Gunung Burangrang sendiri sering dijadikan tempat untuk melakukan pendidikan dasar, pendakian bagi pemula, dan objek para fotografer.
Sabtu, 1 Agustus 2009
Gunung Burangrang merupakan gunung pertama yang saya kunjungi setelah lama mengikuti pendidikan dasar yang disingkat Pendas dari perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam Astacala, Institut Teknologi Telkom. Saat Pendas itu, kami mendaki tiga gunung dengan ketinggian 1500 ke atas. Dan berkat latihan fisik yang rutin, badan saya tidak begitu protes. Namun tidak sama halnya dengan saat mendaki Gunung ini.
Gunung ini menjadi salah satu bagian dari pegunungan yang mengelilingi Bandung. Bandung sendiri merupakan bekas danau, yang kini menjadi sebuah kota. Gunung Burangrang sendiri sering dijadikan tempat untuk melakukan pendidikan dasar, pendakian bagi pemula, dan objek para fotografer.
Jalan masuk menuju Burangrang dapat dilewati dari empat arah. Arah yang kami lalui melewati jalan masuk Vila Istana Bunga. Perjalanan kami dari VIB (Vila Istana Bunga) menuju Pintu Angin, sebagai pos masuk menuju Burangrang sekitar 1,5 jam, dikarenakan jalan yang cukup jauh, berputar-putar, dan diselingi juga oleh kegiatan jepret-menjepret. Dan memang itu tujuan saya, mengabadikan pemandangan alam.
Dari pintu air, kami mulai mendaki Burangrang sekitar pukul 15.30, menyusuri rimbun hutan pinus, hutan heterogen, dan banyak tanjakan naik turun. Saya sadar betul fisik saya sedang tidak siap untuk melakukan perjalanan ini, namun saya sangat menikmati perjalanannya, karena teman perjalanan yang baik (mau menunggui jalan saya yang ngos-ngosan), dan udara yang begitu segar. Setelah dua jam perjalanan, ahirnya kami memutuskan untuk mendirikan camp.
Salah satu hal yang paling saya sukai dari kegiatan outdoor seperti ini adalah camping. Karena saya bisa mendengar banyak cerita dan pengalaman. Semua berbagi tugas, mendirikan camp, memasak, dan membuat api. Api betul-betul sangat berguna untuk menghangatkan diri di tengah dinginnya hawa pegunungan. Setelah mengobrol panjang lebar, kami semua pergi tidur kira-kira jam sepuluh malam, menyiapkan tenaga untuk keesokan hari.
Kesalahan saya pada perjalanan ini adalah saya hanya membawa sarung bag. Sarung bag adalah dua sarung yang disambung menjadi satu dan ditutup salah satu sisi lubangnya, sebagai lungsuran pendas. Kain sarung yang tipis membuat saya menggigil sepanjang malam oleh udara gunung yang dingin. Dan alas yang hanya matras, membuat badan saya cukup pegal, karena sudah lama tidak melakukan perjalanan. Melihat kakak-kakak yang nyaman di dalam sleeping bag masing-masing, saya iri, hehehe.
Minggu, 2 Agustus
Keesokan paginya, kami semua sudah bangun pada pukul 06.00. Sambil menikmati hangatnya minuman, kopi dan teh, saya mengagumi hutan lebat sekeliling kami. Benar-benar luar biasa. Di kota mana sih ada pemandangan sunyi seperti ini?
Setelah packing barang-barang kami, kami pun melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sambil memantapkan navigasi darat, kami pun berfotografi ria. Pemandangan dari ketinggian 1900an ke atas itu sangat cantik. Hutan pinus, jalan komando, dan Situ Lembang adalah daerah-daerah yang terlihat dari salah satu sudut Gunung Burangrang. Melewati empat puncakan sebelum sampai ke puncak paling tinggi, ahirnya sampailah kami di puncak 2050 mdpl, pukul 12.00. Huaah, saya yang newbie ini masih saja kagum dengan daerah sekeliling dan bawah Burangrang ini. Pepohonan, jurang, tebing, dan tanjakan-turunan yang pasti ada di setiap gunung, meninggalkan kesan tersendiri untuk saya. Beruntung sekali saya bisa menyapa puncak, yang menurut saya mustahil (dulu).
Setelah puas berfoto, kami menuju sebuah puncakan untuk membuat makan siang. Sempat banyak orang dari beberapa organisasi melewati tempat kami bersantap, dan kami pun saling menyapa. Ini kan hari minggu, batin saya. Pantas ramai. Setelah selesai mengepak alat masak dan logistik, kami pun menuruni pegunungan dan sampai kembali ke Pintu Angin pukul 15.30. Seteah solat dan beristirahat, kami pun kembali ke sekre.
View Puncak Burangrang lihat peta lebih besar
Apa yang kudapat? Memar, lecet, dan pengalaman. Huaah, semoga saja lain waktu saya bisa mendaki gunung lagi, dengan fisik yang lebih siap. []
nabung bram, n beli sleeping bag.. hehehe :laughing:
keep posting bro!!!
kok ga bisa komentar???
kok ga bisa komentar??? <br /> <br />ohh ternyata pake name jimbo passwordnya kok bisa ini
Coba kalau dilengakapi dengan data yang lebih akurat, mungkin tulisannya akan lebih baik dan bermanfaat. <br /> <br />contohnya: “andung sendiri merupakan bekas danau, yang kini menjadi sebuah kota.” dapat dari mana data ini? referensinya apa? <br /> <br />Menulis memang gampang, tapi tulisan yang baik, seharusnya bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. <br /> <br />Buat yang lain, coba lebih baik dalam menulis ya… <br /> <br />teruslah menulis!!!
Saat ini komentar dimoderasi, karena banyaknya spam. Kalo komentar bukan spam pasti diapprove kok. <br /> <br />Ayo jim, ditunggu tulisannya.
“Melihat kakak-kakak yang nyaman di dalam sleeping bag masing-masing, saya iri, hehehe.” <br /> <br />wah..kakak2 yang tidak baik terhadap adik nya ini…
Aku pake sleeping bag, tapi tidurnya di luar tenda lho Bram… Gejor tuh yg di tenda pake sleeping bag. hehehehe. Ayo ah jalan lagi. 😉
koreksi: sarung bag itu hanya istilah yang ada di Astacala ya, jadi ini tidak baku, mohon kepada yang baca memaklumi…
dimaklumi.
jd inget jalan2 bareng Bokre, malam mingguan, berdua sama bokre di burangrang :crying:……gara2 nggak boleh masuk pintu komando
baru baca lagi 2 tahun setelah komen terakhir, terimakasih komentar, saran, dan kritiknya 🙂
2 tahun, dah punya sleeping bag sendiri blm?
sudaaaaaa 😀
bisa donk di hibahkan ke sekre, sb yang satunya hehe…