Boyongan Pasar Antik Triwindu – Solo
{nl}
[more]
{nl}
Pasar Windujenar (Triwindu) sejatinya merupakan hadiah ulang tahun ke 24 bagi Gusti Putri Mangkunegara VII, yang bernama Nurul Khamaril pada tahun 1939. Di awal keberadaannya para pedagang disini menggunakan sistem barter, dengan menggelar barang dagangannya di atas meja. Lambat laun pedagang dan pembeli semakin banyak dan berkembang, maka didirikan kios-kios yang mulai marak sejak 1960-an.
Teringat saya beberapa waktu lalu ketika mengantar seorang kawan yang ingin mengujungi pasar antik Solo, saya ajak ke lokasi lama ternyata sedang direnovasi. Setelah tanya ke warga, akhirnya kami menuju kawasan Sriwedari. Kondisi pasar antik di lokasi sementara itu cukup padat, penerangan juga kurang bagus, barang dagangan ditata sekedarnya sehingga kurang menarik. Sebagian pedagang menempati kios-kios sementara di luar gedung bisokop lawas itu, dengan dinding semi permanen dari papan, bercampur dengan pedagang onderdil kendaraan. Tentu saja kondisi ini kurang menyenangkan bagi pemburu barang antik yang biasanya suka berlama-lama mengamati sebelum membeli barang yang ditaksirnya.
Pukul 3 sore saya sudah bersiap menyaksikan kirab ini, tak lupa kawan-kawan dihubungi untuk sama-sama menyaksikan kirab dan berburu gambar. Sejam kemudian sudah tampak persiapan kirab di Sriwedari, tepatnya di depan Gedung Wayang Orang. Andong berbaris di belakang, kemudian pasukan keraton Rekso Projo, Jogo Tirto, Kutho Renggo dengan seragam merah dan birunya yang khas, kemudian partisipan dari berbagai pasar tradisional lain di Solo yang turut mengantarkan boyongan. Persiapan keberangkatan diisi dengan hiburan Reog Ponorogo, dengan atraksi dan iringan musiknya mengundang lebih banyak pengunjung yang segera memadati tempat ini. Sementara itu sekelompok pasukan keraton tengah bersiap dan berbaris.
Boyongan dimulai, pengunjung dan pemburu gambar sudah bersiap di jalur yang akan dilewati: Jalan Slamet Riyadi, Sriwedari ? Mangkunegaran, sekitar 1,5 km. Kemudian iring-iringan mulai berjalan, dipimpin oleh walikota Solo, Jokowi, kemudian Ka Dinas Pasar Solo, lalu pasukan Rekso Projo, Jogo Tirto, Kutho Renggo, diikuti gamelan Corobalen, disusul sekitar 150 pedagang Windujenar dengan barang dagangan mereka, dan terakhir iringan andong. Momen ini memang bertepatan dengan banyaknya warga yang mudik ke Solo, dan seperti biasanya event seperti ini memang ramai dikunjungi warga yang sangat apresiatif terhadap event seni dan budaya.
Boyongan tidak selesai disitu, masih ada sambutan di lokasi pasar yang baru, Berupa seremonial laporan Pengurus Pasar dan penampilan tari-tarian dan terakhir pertunjukan wayang. Di dalam pasar sendiri, kesibukan sudah mulai terlihat, beberapa kios sudah buka dan transaksi sudah mulai berjalan kembali. Sementara di pelataran luar pengunjung ramai ngalap berkah dengan berebut Tumpeng yang sudah dijopa-japu dan didoakan, berharap ikut memperoleh berkah dari Yang Maha Kuasa.
Sungguh menarik upacara sederhana ini, rasanya seolah kembali ke jaman keraton, dimana setiap kegiatan perlu diadakan selamatan atau ritual khusus, dipilih hari yang baik pula. Kemajuan yang dicapai oleh kepemimpinan Jokowi selaku walikota periode ini memang cukup banyak. Diharapkan lebih banyak lagi event seperti ini untuk menarik wisatawan dan tentu saja nguri-uri kebudayaan Jawa yang adiluhung. Jangan hanya menambah jumlah mall dan gedung pencakar langit di Solo yang kadang dirasa kurang nyambung dengan suasana artistik tata kota asli Solo dengan dua keraton dan arsitektur kuno lainnya.
asik, cerita nya manstap didukung dokumentasi visual yang manstap juga.. <br /> <br />tetep semangat bos, ditunggu cerita2 selanjutnya <br /> <br />enamdua