A Day in A Life
Malam itu di sebuah punggungannya Gunung Tikukur, Tjiwidej. Demikian tulisan di peta AMS (US Army Map Service) tahun empatpuluhan yang diperbarui tahun 1963.
Pohon-pohon kayu di sekitar kami. Pepohonan itu antara menyerap dan membiarkan asap, seperti kata buku IPA soal fotosintesis. Asap-asap itu kadang tipis dan kadang tebal memedihkan, dari api unggun kami yang selalu kami jaga nyalanya agar konstan. Setidaknya sampai kantuk masih dapat kami kalahkan.
Roll yang dihasilkan oleh perpaduan sela-sela pepohonan, asap, dan api yang menerangi sekitar tenda, belum dapat kami abadikan dalam kanvas elektrik maupun seluloid. Semua kami kami rekam dalam ingatan. Jalan-jalan dan daun-daun hutan yang setengah basah. Rawa-rawa yang tidak pernah benar-benar kering. Dan kawan-kawan seperjalanan.
Obrolan di seputar api unggun lebih soal dunia maya dan dunia nyata dalam perspektif mahasiswa ikatan dinas yang sudah dropout atau baru terancam dropout. Dua angkatan, yaitu kakak-kakak dan adik-adik kelas. Yang kemudian mereaksi antara masa bodoh atau mempersiapkan mental menemui dunia nyata, dunia kerja, dunia harapan orang tua atau dunia konsekuensi; meski tidak benar-benar sebuah pilihan hitam putih.
Cuma lalu kuingat bahwa malam itu memonumental beberapa ingatan. Malam itu dulu juga pernah kutulis, yang sepertinya mampu mewakili sebuah sikap pilihan hidup, kenikmatan dari secangkir kopi. Dan ketika bibir kita pernah terslomot cangkir aluminium koboi yang kutemukan di Pasar Loak Jatayu. Setidaknya kita telah membuktikan bahwa alumunium adalah penghantar panas yang baik.
Kudefinisikan di hatiku, bahwa kenikmatan hiduplah ketika kita masih dapat menyeruput secangkir kopi hitam yang pahit. Dan menghargainya sebagai sebuah anugerah luar biasa, di manapun itu. Di tengah rimba raya, di antara pepohonan dan semak, di pinggir sungai yang kita arungi, di sebuah tempat bermalam di pantai sepi yang sumuk. Lalu otak memodifikasi memakluminya ketika berpindah di tengah ramainya pasar di Singapura, di sebuah kafe di Pattaya, dan barangkali suatu saat di jalanan Birmingham atau Dover yang aku ingin tongkrongi.
Cukup kopi saja yang pahit, sedangkan hidup biarlah dia terus manis meski dengan berbagai pergulatannya.
Sayup-sayup terdengar dari radio mono yang kita gantung di tiang tenda, One Day in Your Life-nya Michael Jackson. Sebuah lagu yang kala itu sama-sama mendiamkan mulut-mulut kita. Lagu yang sebelumnya cukup akrab di telinga kala itu, tanpa tahu penyanyinya. Kemudian, aku baru tahu penyanyinya siapa dari Isnanto Besar.
Mulut-mulut kita sama-sama terkunci. Barangkali karena saat itu pikiran kita terbang ke angkasa. Kita masing-masing melalui masa-masa yang lewat dan masa depan yang misteri.
Lalu, situasi resonansi antara bau kulit kayu yang terbakar, aroma daun-daun basah, titik-titik bara yang terbawa angin, dingin udara gunung, dan sayup-sayup suara radio mono pun menyenangkan telinga-telinga kita.
Sekian tahun kemudian dalam kepenatan kerja sebagai orang gajian, yang belum dapat memerdekakan diri dari disuruh-suruh, kutatap layar laptopku. Lagu One Day in Your Life-nya Michael Jackson yang kemudian sering terdengar sejak kepergiannya, beberapa kali kuputar ulang sampai bosan.
Masih kupegang idealisme yang tidak berubah, idealisme secangkir kopi. Dan mulutku terkunci. Pikiran mengembara ke angkasa masa depan, yang separuh cita-cita dan separuhnya adalah misteri. Yang semuanya menghendaki ditempuh dengan keyakinan. Dan lalu, sayup-sayup suara sederhana dari radio mono malam itu seperti terdengar kembali untuk menenangkan. []
Oleh Sutoyo