Lebak Jero
{nl}
[more]
{nl}


Stasiun Lebak Jero ini cukup unik. Dibangun di wilayah perbatasan antara Desa Ciherang, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, serta Desa Karang Tengah, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut. Letaknya di tengah-tengah pegunungan. Ketinggiannya, seperti ditulis di papan nama stasiun, sekitar 818 mdpl. Memang bukan stasiun kereta api tertinggi di Indonesia. Stasiunnya sendiri bukan stasiun besar. Bangunan yang digunakan masih warisan Belanda. Tapi jangan bandingkan dengan stasiun Semarang Tawang atau stasiun Jakarta Kota, meskipun sama-sama warisan Belanda. Hanya terdiri dari bangunan utama yang sederhana, berukuran sekitar 4 x 3 meter. Disampingnya ada bangunan tambahan berdinding kayu, sebagai ruang tunggu. Namun tak ada kursi tunggu di sini. Mungkin karena hanya ada satu kereta yang berhenti normal untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Sebenarnya ada beberapa perjalanan kereta yang melewati stasiun ini, yang terletak di jalur utama lintasan kereta api antara Stasiun Bandung dan Tasikmalaya. Semua kereta dari Bandung yang menuju ke arah Timur atau sebaliknya, akan melewati stasiun ini. Namun yang berhenti hanya rangkaian kereta penumpang lokal relasi Cibatu – Purwakarta pp. Sisanya melintas langsung.

Petugas PT KAI yang berdinas di sana akan sangat ramah menerima kedatangan kita. Tentu saja, kita juga harus tahu tata krama, dan datang dengan hati tulus kepada mereka, walaupun sekedar memperkenalkan diri. Jangan salah, meski mereka ada di stasiun terpencil, tapi mereka bukan orang bodoh. Mereka menguasai ilmu perkeretaapian yang rumit. Mereka cakap mengatur perjalanan kereta di saat bersilang dan menghindari kecelakaan. Mereka adalah orang-orang setia, yang selalu menjaga keselamatan nyawa penumpang kereta dengan selalu mengawasi dan memelihara sarana dan prasarana perkeretaapian. Pendeknya, mereka manusia mulia.

Saat kita berdiri di emplasemen stasiun (saya belum menemukan padanan kata untuk emplasemen), di sebelah barat dan timur akan terlihat gunung yang menjulang, seolah mengapit wilayah ini. Tepat di seberang stasiun adalah perkampungan penduduk, dan di sekitarnya ladang jagung. Daerah pemukiman dan ladang yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Kereta yang datang dari Timur dan Barat akan muncul dari balik bukit, lalu melewati lintasan melengkung, seperti huruf S raksasa di area stasiun Lebak Jero. Bentuk kurva S inilah yang menarik para pemburu foto kereta. Bentuk yang melengkung indah akan sangat eksotis dilatarbelakangi pemandangan ladang dan pegunungan di sekitarnya.

Setiap harinya, kita akan sering melihat penduduk desa melintasi rel untuk menuju tempat kerja mereka. Di musim panen jagung, akan terlihat para petani yang kadang bertelanjang dada, mengangkut hasil panen dengan muka berseri-seri. Walau terlihat berat, tapi mereka tak akan kesulitan mengatur nafas untuk sekedar menjawab salam saat kita menyapa mereka. Sungguh keramahan yang sulit dijumpai di kota besar semacam Jakarta. Interaksi di sana tak membutuhkan kecurigaan dan rasa was-was. Indah.
Seperti ketika saya sedang berada di sebuah bukit, sekitar 300 meter dari stasiun. Saya memilih bukit itu untuk mencari spot hunting foto. Dari lereng bukit itu akan terlihat saat kereta muncul dari balik bukit yang lain dan berbelok mendekati stasiun. Nah, ketika itu dari balik batang-batang jagung yang siap panen, muncul Kusnadi. Dia pemilik pohon-pohon jagung di situ. Saya sempat was-was, karena saya memasuki ladangnya tanpa ijin terlebih dahulu. Tapi rasa was-was itu ternyata harus saya buang jauh. Setelah saling berkenalan, dia malah menawarkan jagung kepada saya.
“Itu yang di bawah istrinya?” tanya Kusnadi.
“Iya, Kang. Dia nggak mau naik ke sini. Licin sehabis hujan semalam. Kebetulan dia cuma pakai sandal,” jawab saya. Bahkan sepatu tracking saya sudah bertambah tinggi dengan tanah.
“Oh. Duaan ajah?” tanyanya lagi.
“Sekarang cuma berdua, tapi sore nanti temen-temen banyak yang mau datang. Ada sekitar 30 orang,” jelas saya. Memang, sore dan esok hari akan ada kumpul-kumpul diantara teman pecinta kereta. Mereka akan datang dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta bahkan Surabaya. “Nanti siang saya pulang ke Bandung, mengantar istri. Trus sorenya datang lagi ke sini dengan teman-teman,” sambung saya lagi.
“Jadi nanti siang pulang?”
“Iya, pulang trus balik lagi sorenya.”
“Jam berapa pulangnya?” tanya dia lagi.
“Sekitar jam 10 lah. Saya nunggu kereta Lodaya lewat. Habis kereta itu lewat, saya pulang ke Bandung.”
“Kalau begitu nanti saya ambilkan jagung.”
Hah!? Jagung? Wah, enak neh… “Wah, nggak usah, Kang,” sergah saya.
“Biar ajah. Banyak ini. Nanti jagungnya saya antar ke stasiun, jam setengah sepuluhan. Bawa ajah, nggak apa-apa.”
“Waduh, ngerepotin, Kang. Nggak usah ajah, itu kan hasil tiga bulan kerja, masa’ mau diaksihkan saya,” saya mulai rikuh dan canggung.
“Eh, nggak apa-apa. Masih banyak.”
Maka sekali lagi saya mendapat pelajaran sangat berharga dari pemuda desa ini. Wajahnya – kalau di Jakarta – memang wajah khas orang-orang yang akan memmancing rasa curiga. Tapi ternyata hatinya cemerlang. Kemilaunya seperti warna emas di butir-butir jagung hasil keringat dan jerih payahnya.
Sesekali, kita memang perlu menyambangi tempat tempat terpencil, tapi yang berpenghuni seperti stasiun Lebak Jero ini. Tentu saja tidak dalam rombongan besar yang akan cenderung berkelompok eksklusif, melainkan sendiri atau berdua saja. Agar bisa lebih menyatu dengan sekitar. Bukan saja untuk menikmati indahnya pemandangan alam, tapi juga menikmati suguhan indah dari sesuatu yang bernama kemanusiaan. Mengunjunginya, sama seperti mengunjungi perpustakaan tempat tersimpan ilmu-ilmu terpendam yang akan memperkaya rasa kemanusiaan kita.
Kusnadi adalah contoh betapa manusia selalu bisa menjaga fitrahnya. Tak perlu saling bertikai dalam menikmati karunia dari Sang Penciptaini. Akan selalu ada ruang untuk berbagi. Akan selalu melimpah nikmat pemberian Allah untuk disebarluaskan.
Allah’alam.
\”Sesekali, kita memang perlu menyambangi tempat tempat terpencil, tapi yang berpenghuni seperti stasiun Lebak Jero ini. Tentu saja tidak dalam rombongan besar yang akan cenderung berkelompok eksklusif, melainkan sendiri atau berdua saja. Agar bisa lebih menyatu dengan sekitar. Bukan saja untuk menikmati indahnya pemandangan alam, tapi juga menikmati suguhan indah dari sesuatu yang bernama kemanusiaan. Mengunjunginya, sama seperti mengunjungi perpustakaan tempat tersimpan ilmu-ilmu terpendam yang akan memperkaya rasa kemanusiaan kita.\” <br /> <br />sepakat om,, <br />nice posting..