Kabut Awal November
Itu kabut awal November,
yang dibawa angin Lembah Burangrang.
Atau kondensasi nafas pepohonan Pegunungan Sunda.
Itu juga Danau Situ Lembang,
yang dulu pernah kupikir kami tidak akan bertemu lagi.
Tapi kemauan menemukan jalannya yang pernah mustahil.
Beberapa orang telah beruntung menemuinya.
Berarti juga beberapa yang lain beruntung tidak menemuinya.
Itu semua saksi mata soal manusia-manusia yang menemui ujian-ujiannya.
Melewati dengan nyata batas manusia, sebagian tidak mampu melewatinya.
Bukan soal uang atau materi, tapi konon soal kehormatan.
Ragu-ragu kembali sekarang juga.
Itu juga hujan bulan November,
yang deras mengguyur tanah-tanahmu.
Ia membawa kesuburan dan sekaligus desak kesulitan yang cuma perlu dinikmati.
Tanah-tanah becek menempel menyelip di sol sepatu lars.
Di depannya lagi ada bunga mawar.
Warnanya ragu-ragu, tidak putih atau benar-benar merah.
Bahkan kali pertama mataku tertuju padanya pun kupikir bunga rumput liar.
Ia cenderung merah jambu, dan keraguan-raguannya adalah keindahan.
Dan sejak pertama ia telah bertualang.
Ia tidak tumbuh di pekarangan rumah mewah yang dipagar tinggi.
Ia tidak tumbuh di pameran tanaman.
Ia tumbuh dari siraman hujan dan embun dari alam raya.
Mungkin dulu seorang iseng “membuangnya” ke sana,
jauh dari habitat yang “seharusnya”.
Tapi begitu, dia tumbuh subur, di musim hujan November ini.
Dan mungkin meranggas pada musim kering nanti.
Atau malah berkembang sepanjang masa karena adaptasinya?
Menilik batang-batang dan duri-durinya yang kokoh menyebar,
dia menyimpan genetik yang tangguh dan ulet, jauh di atas kesadarannya.
Itu tunggul-tunggul kayu, sisa penebangan yang timbul tenggelam tertutup air danau.
Di seberangnya yang jauh di sisi sana, aku masih ingat Sungai Cimahi,
yang jernih menyediakan sumber air bagi makhluk yang “tersesat”.
Di kanan kirinya batang-batang kayu yang tertutup lumut,
penanda arah matahari terbit atau tenggelam.
Itu hujan awal November.
Seperti juga hujan yang menahan seorang gadis yang pulang sekolah.
Seperti yang ditunggu anak-anak kecil yang akan main bola.
Seperti yang ditunggu petani yang sudah mulai menghitung kerugian dari sewa pompa air para juragan.
Seperti yang ditunggu orang gila yang membayangkan hujan sebagai suatu sumber kekuatan yang magis.
Itu kabut awal November,
yang kutunggu momen terbaiknya, setidaknya menurutku.
Mula-mula ia tipis menutup ujung-ujung punggungan.
Hampir-hampir menyentuh permukaan air danau.
Lalu beberapa saat berikutnya bersama hujan ia melengkapi misteri hutan tropis,
yang kemudian dia coba kita abadikan di hadapan mata kita.
Meski sebenarnya dia sudah tersimpan lama di hati dengan gambaran yang jauh lebih indah.
Oleh Sutoyo