In the Heart of Sumatra
Segelas kopi manis di Jambi,
bagian tanah air Indonesia yang sedemikian luas.
Konon dari Sabang sampai Merauke,
ingat-ingat di buku rangkuman pengetahuan umum ketika SD dulu.
Konon ekonomi di sana menggeliat semenjak otonomi daerah,
dibandingkan waktu terpusat.
Tapi ekonomi seperti apakah?
Karena badak Sumatra yang ada di Taman Nasional Kerinci Seblat,
akhirnya dinyatakan punah di koran hari ini.
Karena rupanya hutan primer sudah banyak berubah,
jadi hutan sawit atau hutan produksi pabrik kertas.
Dan tentu Suku Anak Rimba yang kita temui tempo hari,
sudah “diperadabkan”, karena dia sudah berbaju dan bercelana.
Sebuah land rover long chasis tua melintas,
dengan sabar memikul beban sawit yang hampir overload.
Segelas kopi pahit di Muara Tebo,
apakah ini dipetik oleh para petani dari kaki-kaki Gunung Kerinci?
Suatu tempat yang masih menjadi imajinasi.
Tapi benarkah justru imaginasi lebih penting dari ilmu pengetahuan?
Segelas kopi pahit dan dua kerat gorengan di Muara Bungo.
Jalan beraspal telah menghubungkannya dengan Sumbar dan Jambi.
Di kanan kiri jalan, hutan dan rawa-rawa.
Sesekali jalan akses yang entah menembus ke mana, di jantungnya Sumatra.
Yang jelas dipisahkan lembah di depan kami, tampak bukit gundul.
Ending sebuah proses pembukaan hutan yang “praktis dan efisien”.
Dan di seberang yang satu lagi kebun sawit yang gemuk-gemuk.
Apakah kemajuan ekonomi harus sejalan dengan tingkat degradasi lingkungan?
Lalu bau busuk menyengat, di sebelah kiri jalan bangkai babi hutan yang tertimpa sial.
Apakah investasi atau penanaman modal,
harus didefinisikan berpindahnya kemakmuran dari isi hutan ke kota?
Titik segitiga hitam di GPS menunjukkan posisi.
Segelas teh manis aroma vanili di kota kecil Sarolangun.
Karakternya yang sedemikian kuat,
dan ingatanku melayang ke teh aroma melati,
di angkringan lor Stasiun Tugu Yogyakarta.
Dan malam tanpa bintang.
Sebuah pasar malam ramai dikunjungi pasangan muda mudi.
Kita berbincang-bincang dengan sebuah keluarga.
Makan malam dengan satu bagian kecil masyarakat Indonesia.
Sebelum ini, pertigaan sebelumnya, Bangko,
arah jalan ke Danau Kerinci,
tempat dihasilkannya daun-daun teh dan biji kopi terbaik,
karya tangan-tangan petani kita.
Yang cuma kita kenal statistiknya.
Lalu kita hapalkan bahwa negeri kita negeri agraris,
dan kita tidak pernah bertanya kepada guru-guru kita.
Segelas kopi pahit di Lubuk Linggau.
Sepiring lontong sayur dengan kuah santan dan labu siam,
mengingat kembali waktu pagi-pagi di Yogyakarta.
Menu makanan ini yang dulu sempat kucibir.
Akhirnya kunikmati juga, di tengahnya Sumatra.
Sajian di sebuah warung pasangan transmigran asal Jawa.
Aku bersyukur, menjadi orang yang beruntung.
Melihat masyarakat Indonesia dari dekat, suka dan dukanya.
Menghirup harum aroma hutan dan rawa-rawa yang ditimpa hujan.
Melihat hijaunya sayuran di pasar tradisional.
Melihat merahnya sisa daun yang terjilat panasnya api pembakaran hutan, hot spot katanya.
Melihat warna-warni umbul-umbul demokrasi, yang terkaanku dihasilkan dari uang yang tidak sedikit, sebagai sebuah bukti “kemajuan” berpikir.
Melihat warna-warni antrein panjang kendaraan, karena pom bensin telah kehabisan BBM.
Dan sekilas sebuah tayangan televisi, rakyat di sebuah kota besar berjubel-jubel antri beras, supermi, dan minyak goreng gratis.
Yang tidak mirip antrian panjang para penggemar fanatik musik di negri dongeng sana, yang setia menunggu sampai toko kasetnya buka.
Dan lalu kuceritakan padamu.
Meski cuma ini dan dengan cara ini.
Happy Romadlon!
Oleh Sutoyo