Kopi Aroma

Bandung Undercover

Kalau lagi sempat ke Bandung, jangan cuma ingat pusat perkulakan Pasar Baru, Cibaduyut, pisang molen, brownis kukus, atau C-Mall yang kalau di Jogja biasa disebut abal-abal, tempat berburu pakaian bekas import. Ada tempat-tempat penting lain buat kita “pesan berantai-kan” ke kawan, handai taulan, dan kerabat yang barangkali sedang jalan-jalan atau justru kuliah di Paris Van Java itu.

Di Cikapundung, emperan Kantor PLN, di sana ada bursa buku loak, untuk mencoba peruntungan menemukan buku-buku “sepanjang masa” yang tersembunyi di sekian tumpukan. Sepanjang masa untuk melawan, katakan dengan pendek masa, kurun tertentu, hangat-hangat tahi ayam, yang saat ini mendapat setempel best seller di toko-toko buku. Yang demam bikin trilogi, tetralogi, serial, dan komik-komik yang memang candunya sangat digandrungi. Gampang menebaknya, kalau suatu judul laku di pasaran, tinggal buat tema yang mirip, dijamin tetap juga laku. Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Munajat Cinta, La Tahzan, dan lain-lain. Atau Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan lain-lain yang suatu saat mencoba mengeksploitasi Belitung, tapi kerumunan itu lupa menceritakan kisah tragedi terkait 1965 yang juga bertalian erat dengan tanah yang indah itu. Buku-buku yang kalau pun sesekali menyuarakan penjelajahan, cukup menjadi nawaitu yang diucapkan di bibir saja dan lalu dianggap sah. Ah sudahlah, bila beruntung, di emperan Cikapundung akan kita temui buku-buku yang pernah menjadi simpul-simpul peradaban atau minimal yang mencatat sejarah soal itu.

Lalu lewatlah di Cihapit. Cuma beberapa ayunan langkah dari outlet-outlet factory yang menjamur di Jalan RE Martadinata. Cihapit ini pasar loak baju, sepatu, onderdil, atau apa saja yang bisa jadi duit. Tempat panggung pertemuan uang yang mencari barang atau barang yang mencari uang. Yang diperankan oleh pahlawan-pahlawan ekonomi keluarga. Atau mahasiswa yang terpaksa menjual celana jeans atau kaset untuk bertahan hidup beberapa hari ke depan, karena kiriman uang orang tuanya di kampung telah habis.

Dan kemudian bawalah oleh-oleh kopi aroma yang nikmat tiada tara. Koffie Fabriek, demikian tertulis di bungkusan dan dinding pabrik sekaligus toko tersebut. Persis di pojok gang ke-2 Jalan Banceuy. Masuk dari pojok Penjara Banceuy, yang dulu proklamator Bung Karno pernah menginap, lorong depan pabrik lurus menatap Pasar Baru. Biji-biji kopi yang diolah di sini terkumpul dari hasil bumi terbaik berbagai penjuru tanah air : Banyuwangi, Flores, Toraja, atau lereng-lereng Bukit Barisan di Bengkulu, Jambi, dan tanah-tanah Sumatra lainnya. Dan mengalami penyimpanan enam sampai delapan tahun sampai diolah dengan tungku kayu karet untuk dapat disajikan. Robusta atau arabika. Robusta agak ada asam-asam sedikit, memang untuk penikmat kopi. Dan Arabika yang cenderung pahit untuk kita ambil manfaat kafein-nya. Demikian kira-kira cerita sang pemilik, pewaris, sekaligus pemelihara heritage ini. Yang juga menjadi saksi sejarah semenjak tahun duapuluhan, minimal soal hasil bumi perkebunan Indonesia, karena memang toko dan pabrik itu sudah berdiri sejak 1930. Tanpa niatan untuk membesarkan volume usahanya. Ya, bergulir saja menikmati yang ada.

Saya sesekali berpikir, akan lebih baik bila di depan toko itu dibuka semacam warung atau kafe yang senada dengan toko itu. Dengan sinar temaram malam dan secangkir kopi sepertinya akan mampu mengurai sejarah tempat itu dan sayap-sayapnya. Buat apa itu semua? Apa yang dicari? Mungkin itu pertanyaan di benak pemilik. Toh kopi dari situlah yang konon saat ini menjadi pilihan utama bagi selera kopi kelas atas, baik di hotel dan kafe di tanah air sampai manca negara. Dan ia mungkin cukup puas dengan itu. Ya, konsistensi yang terus dijaga, sejak puluhan tahun yang telah berlalu. Sebuah pilihan yang aneh masih kita temui hari ini. Saat orang berlomba-lomba memanfaat segala peluang yang ada untuk memperoleh akses sebanyak-banyaknya untuk menambah pundi-pundi kekayaan pribadi dan aktualisasi kepada materi. Yang kata koran konon mendorong dokter atau aparat yang seharusnya besar fungsi “melayani rakyat”-nya untuk menjadi profit oriented, mengejar balik modal saat kuliah atau masuk menjadi aparat. Atau karena tergetar oleh pertanyaan-pertanyaan yang lazim kita dengar sehari-hari : Sudah punya apa? Mobil, rumah sudah berapa? Masih ngontrak apa rumah sendiri? Jabatannya apa?

Secangkir kopi robusta, dalam cangkir logam stainless Made in India telah sampai ke ampas. Dan masih aku ingat, lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sekitar satu sampai dua blok dari pabrik kopi itu, dalam sebuah toko jeans yang sama unik dan tempo dulunya, dalam kamar gantinya, beberapa poster artistik wanita-wanita yang menyampaikan keindahan tubuhnya. []

Oleh Sutoyo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *