Misi Jogja
Akhir Mei 2006. Ketika kakiku baru melangkah turun keluar dari hutan pegunungan di Ciwidey, pulang dari mengisi kekosongan di akhir minggu, ketika sinyal GSM aktif kembali, ketika itu pula beberapa pesan masuk ke HPku mengabarkan tentang bencana gempa di Jogja.
Tragedi yang menyedihkan. Ribuan orang dikabarkan meninggal. Termasuk ayah dari seorang teman karibku. Rumah-rumah, sekolah, gedung bertingkat, dan bangunan-bangunan lain ambruk. Jogja yang bersiaga karena ancaman letusan Gunung Merapi di utara, ternyata diserang tiba-tiba oleh gempa dari sisi selatan. Segalanya memang kehendak Sang Penguasa.
Baru Tiba
Sesampainya di kampus, di Student Center. Kulihat telah berkumpul anak-anak Astacala, KSR, BEM, dan beberapa aktivis mahasiswa. Besok pagi akan berangkat ke Jogja sebagai sukarelawan. Aku saat itu yang belum ada kerjaan dan masih berstatus pengangguran pendatang baru pun menawarkan diri ikut serta. Begitu pula dua orang teman yang saat itu cuti dari kantornya untuk berlibur di Sekretariat Astacala. Niat berlibur mereka untuk naik gunung pun dibatalkan. Diganti dengan misi kemanusiaan ke Jogja.
Menuju Jogja
Di hari keberangkatan, aku menyiapkan perlengkapan pribadi seadanya. Daypack kecil hitam kesayangan pun kuisi dengan barang-barang yang sekiranya nanti kubutuhkan. Sepasang pakaian ganti, raincoat, sandal gunung, peralatan mandi, kamera, buku catatan kecil, dan sebotol air mineral. Rencana berangkat pagi itu akhirnya tertunda menjadi sore hari. Berbagai perlengkapan ternyata banyak yang belum siap. Astacala, KSR, Bos BKA dari rektorat, dan dua orang sopir STT Telkom ditugaskan berangkat ke lapangan. Sedangkan BEM dan aktivis mahasiswa lainnya turun di Bandung dalam hal pencarian dana. Senja hari itu, dua mobil kampus yang dipenuhi dua belas sukarelawan serta tenda dan sembako itu pun berangkat menuju Jogja.
Pagi berikutnya, singkat cerita, tiba di Jogja. Tempat pertama yang dituju adalah kampus UGM. Bergabung dengan anak-anak Arkeologi UGM. Land rover kesayangan seorang anak Astacala dari Jogja pun ikut menggabungkan diri membantu transportasi. Kordinasi sebentar dan sarapan, kemudian berangkat ke Dusun Dermo Jurang, Bantul. Dalam perjalanan, pemandangan rumah-rumah yang bertumbangan di pinggir jalan pun terlihat. Sungguh menyedihkan.
Mulai Bekerja
Tiba di lokasi, di tempat yang telah direncanakan, waktu seharian dihabiskan hanya dengan kordinasi. Uh… Dalam situasi seperti ini, masih saja tetap susah dengan segala tetek bengek birokrasi. Sore menjelang malam, di hari pertama misi itu, posko tenda peleton didirikan, sembako didata, penduduk didata, genset dinyalakan, kabel-kabel listrik dipasangkan. Malam tiba, suasana makin gelap, dan ternyata cuaca di sana panas sekali. Gerah.
Butuh Listrik
Putusnya saluran listrik karena gempa menyebabkan genset laris manis oleh penduduk. Beberapa rumah penduduk yang berlokasi di sekitar posko pun kebagian penerangan. Colokan listrik yang lumayan banyak pun dipenuhi dengan charger HP. Baik dari HP sukarelawan maupun penduduk sekitar. Bahkan sampai antri. Ternyata, dalam situasi bencana seperti ini, listrik memang sangat dibutuhkan untuk kelancaran komunikasi.
Di Sela-sela Misi
Hari berikutnya, tambahan tim datang dari Bandung. Anak-anak sudah selesai ujian rupanya. Tenaga bertambah. Tugas pun dibagi lagi. Dapur umum, medis, pembagian sembako, dan pendirian tenda darurat. Para sukarelawan penuh semangat bersama penduduk. Di sela-sela kegiatan itu, banyak pula sukarelawan perempuan dari berbagai kampus di Jogja yang ikut turun serta. Yang sebelumnya mungkin mereka berkutat di kamar kosnya yang bersih dan sejuk kini dengan sukarela meninggalkannya. Meluangkan waktu di sela-sela kuliah. Bercampur baur dengan cuaca panas di Bantul, dengan gempa-gempa kecil susulan yang masih terjadi, kotor, capek, lelah, dan demi menolong sesama. Tentu saja hal itu membuat kegiatan makin ramai dan berwarna. Beberapa cowok sukarelawan, baik dari Astacala maupun KSR pun tambah semangat. Cerita cinta pun terjalin di sela-sela misi kemanusiaan itu. Beugh… Dasar Tongky (Pantesan betah jadi sukarelawan lu Tong…).
Tugas Berganti
Hari-hari berikutnya tugas mulai berkurang. Walaupun sebenarnya masih ada. Hanya saja tidak ada lagi mendirikan tenda. Tidak ada lagi pasang-pasang perlengkapan. Sebagian besar kegiatan lebih ke arah dapur umum, medis, dan pembagian sembako. Selain itu disempatkan pula membantu penduduk sekitar untuk membersihkan puing-puing reruntuhan rumah.
Pulang
Di hari keempat, di kala aku dan teman-teman sedang beristirahat dan bersenda gurau di bawah tenda, HPku berbunyi. Ternyata ada panggilan dari sebuah perusahaan. Yang pasti, dua hari berikutnya aku sudah harus berada di Bandung.
Akhirnya keesokan hari, dengan berat hati karena meninggalkan tugas dan teman-teman, aku ikut bersama mobil yang akan berbelanja logistik menuju ke Jogja. Turun di stasiun kereta api Tugu. Untuk selanjutnya berangkat menuju Bandung. Meninggalkan Jogja yang masih berbenah untuk bangkit dari bencana. []
Tulisan oleh I Komang Gde Subagia
Foto dari Dokumentasi Astacala
Nice and full of heroic stories.. <br />Masih merinding jg bacanya.. <br />Tq