Sejak Zaman Belanda, Kerusakan Kawasan Hulu Sebabkan Banjir di Jakarta
Banjir di Jakarta tidak terlepas dari kerusakan lingkungan bagian hulu, yakni daerah sekitar tangkapan air di wilayah Bogor, Puncak dan Cianjur. Hal ini terjadi sudah sejak lama. Bahkan semenjak jaman penjajahan kolonial sekitar tahun 1930.
Melonjaknya harga teh internasional pada tahun 1930-an menjadikan daerah Bopunjur yang masih banyak hutan alamnya berubah fungsi menjadi hutan produksi, seperti perkebunan teh dan perkebunan karet. Hutan alam yang ada di wilayah Bopunjur dieksploitasi dan berubah menjadi perkebunan-perkebunan.
Demikian disampaikan Wiryatmoko, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, sewaktu berbicara dalam acara Talk Show bertemakan ”Lahan Berubah Banjir Meluas” di Universitas Nasional (Unas), Jakarta, (8/3).
“Pihak Belanda waktu itu sadar, dengan merubah fungsi hutan alam menjadi hutan produksi dampaknya akan menyebabkan banjir di Jakarta. Maka dibuatlah banjir kanal barat (BKB),” ungkap Wiryatmoko.
Lebih jauh dia menerangkan bahwa Jakarta merupakan dataran rendah, khususnya di daerah utara dengan kedalaman air dari permukaan tanah hanya berkisar antara 0,5 ? 2 meter. Dengan kondisi yang demikian, Jakarta memang daerah rawan banjir. Terlebih lagi ada 13 sungai yang melaluinya.
Faktor lain yang menyebabkan banjir di Jakarta adalah masalah geologis. Menurutnya, tanah di Jakarta merupakan tanah aluvial yang sulit menyerap air. Dari penelitian yang dilakukan, tanah di Jakarta tidak mampu menyerap air dalam skala besar. Hanya beberapa persen air saja yang mampu diserap oleh tanah.
“Dengan kondisi tanah yang seperti ini (aluvial), dapat dikatakan bahwa Jakarta bukan daerah resapan air. Jadi salah kalau orang mengatakan bahwa Jakarta merupakan daerah resapan air,” tegas Wiryatmoko.
Melihat kondisi alam dan geologis yang seperti ini tidak mungkin Jakarta bisa menahan banjir walaupun infrastruktur dibangun sedemikian rupa. Apalagi bila daerah tangkapan air yang terletak di bagian selatan (Bopunjur) tidak direhabilitasi.
“Saat ini sudah ada kesepakatan antara DKI Jakarta dan Jawa Barat, bahwa seluruh perijinan bangunan yang berada di daerah aliran sungai akan dihentikan,” papar Wiryatmoko.
Untuk itu fungsi situ perlu dikembalikan. Saat ini situ yang berfungsi sebagai catchment areaurug untuk dijadikan perumahan, seperti situ di daerah Cibubur. (wilayah tangkapan air) telah berubah menjadi wilayah komersiil. Perumahan-perumahan banyak dibangun di wilayah-wilayah situ. Bahkan banyak situ di
Selain itu perlu dipertimbangkan pemberian insentif dan disinsentif bagi penduduk yang mempunyai tanah dan membiarkannya kosong selama jangka waktu tertentu. Mereka tidak mendirikan bangunan dan bahkan merelakannya sebagai ruang terbuka hijau (RTH).
“Insentif dan disinsentif ini perlu untuk memberikan rangsangan pada masyarakat supaya tidak mengalihfungsikan tanah kosongnya menjadi fungsi lain,” ujarnya.
Rehabilitasi mangrove juga perlu untuk mencegah terjadinya banjir. Selama ini hutan mangrove di DKI Jakarta semakin sedikit keberadaannya. Hutan mangrove telah banyak berubah menjadi lahan-lahan komersiil, seperti tambak udang, pabrik-pabrik, dan lain sebagainya.
Sementara menurut Budi Dharma, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, bahwa penyebab banjir di Jakarta adalah karena ketidakmampuan dalam mengelola air.
Ketidakmampuan dalam mengelola air ini menyebabkan banyak air terbuang begitu saja. Sehingga sewaktu musim hujan menyebabkan banjir dan musim kemarau mengalami kekeringan.
“73,4 persen air hujan yang turun pada musim hujan langsung (run off) ke laut. Tidak sempat terserap dan dikelola secara maksimal,” ujarnya.
Namun sebaliknya menurut Abdul Aziz, warga Kapuk Muara, banjir 2002 dan 2007 itu bukan masalah alam. Hanya selama ini pemerintah tidak mengantisipasi permasalahan banjir. Dia mengambil contoh, bahwa sejak tahun 2002 hingga 2007, pengerukan Kali Angke tidak pernah dilakukan, sehingga mengalami pendangkalan.
Pendangkalan Kali Angke ini yang menyebabkan banjir di wilayah Kapuk Muara. “Pemerintah telah menyiapkan apa atau antisipasi apa dalam menghadapi bencana banjir yang selalu terjadi tiap tahunnya ini?” tanyanya dengan nada pasrah. []
Penulis : Hari Sutanta
Sumber : Berita Bumi