HJC Princen, Haji Belanda Pejuang HAM
Hidup penuh pilihan. Poncke, sapaan Princen, seorang serdadi kerajaan Belanda memilih bergabung dengan RI. Bersama Divisi Siliwangi pada 1948 long march ke Jawa Barat. Dan samapai akhir hidupnya Poncke tetap memilih berada di pihak yang kalah.
Setiap bangsa memiliki definisinya sendiri tentang siapa yang disebut pahlawan. Setiap bangsa tentu juga memiliki definisinya sendiri tentang siapa yang disebut sebagai penghianat. Tapi dimana sebetulnya beda antara pahlawan dan penghianat itu. Dalam setiap pertempuran, seorang serdadu hanya memiliki dua pilihan: menjadi pahlawan atau penghianat.
Jan Cornelis Princen adalah sebuah perkecualian. Lelaki kelahiran Den Haag, Belanda, 21 November 1925 mengecap dua pilihan itu. Pada jamannya di negeri asalnya di Belanda sana, dia dikecam, dicacimaki dan berkali-kali diancam akan dibunuh sebagai disertir. Begitulah memang hukum perang. Bagaimana tidak, ketika perang kemerdekaan melawan Belanda pecah di negeri ini, seorang serdadu bule membelot, bergabung dengan tentara-tentara republiken.
Tapi toh, dia punya alasan. “Saya ini kan mengenal Symphoni ke-9 ciptaan Beethoven. Bunyi syairnya antara lain semua anak manusia harus bersaudara. Mengenai perasaan sesama saudara itu, saya rasakan ketika saya mendekam di kamp konsentrasi Jerman. Saya pernah mau dihukum mati. Dan itulah pengalaman dari sebuah negara yang pernah menjajah, yang kemudian dijajah negara lain,” katanya dalam sebuah perbincangan (Kompas, 26/11/95).
Poncke, demikian dia akrab dipanggil, memang bukan serdadu biasa. Ketika 100-an ribu serdadu Belanda manut taat pada komando parlemen selama masa kolonialisme di Indonesia, serdadu Poncke berpikir keras tentang realitas politik di tanah jajahan itu. Sejak awal serdadu bule ini memang gerah dengan perang. Tak heran ketika ada pendaftara prajurit dia memilih untuk tidak mendaftarkan diri, lari ke Perancis. Lebih baik menjadi buruh pemetik anggur daripada membunuh para pejuang Indonesia.
Membekas dihatinya pengalaman mendiami kamp konsentrasi di tujuh kota di Eropa ketika negerinya dijajah tentara-tentara Jerman. Ketika dia bergabung dalam tentara kerajaan negerinya dan menjadi tentara penjajah di negeri orang lain, hati nuraninya terusik. Jika dia tetap menjadi serdadu Belanda dan menembaki bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya apa beda dia dengan serdadu-serdadu Jerman yang menjajah negerinya.
Tanggal 26 September 1948, serdadu Poncke meninggalkan Jakarta menyeberangi garis demarkasi dan bergabung dengan pihak lawan. Ketika tentara negerinya menyerang Yogyakarta tahun 1949 dia telah bergabung dengan divisi Siliwangi. Malah ikut longmarch ke Jawa Barat dan terus aktif dalam perang gerilya. Isterinya, seorang peranakan republiken sunda dibunuh tentara Belanda dalam sebuah pertempuran sengit. Tidak cuma isterinya, anaknya yang dalam kandungan ikut tewas. Poncke mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada tahun 1949.
Sesudah perang usai, dia menulis kepada orangtuanya, ingin belajar sejarah kebudayaan atau susastra. Dia menegaskan tidak ingin selamanya menjadi tentara. “Sementara ini saya tentu saja masih tetap dalam tentara (TNI) untuk sedikit menyumbang, tetapi toh sebisa mungkin saya ingin keluar. Masih ada karya lain yang lebih penting perlu dikerjakan,” begitu dia menulis surat kepada Ibunya di tanah air.
Entah apa yang dipikirkan Poncke pada waktu itu tentang tentang karya lainnya itu. Menjadi terang kemudian, karya lain itu juga adalah sebuah pertempuran baru. Pertempuran yang tak kalah sengit dan kejam. Pertempuran membela yang miskin dan tertindas. Pertempuran membela hak-hak asasi manusia.
Tahun 1948 ketika dia membelot ke pihak RI, sebenarnya sudah jelas apa yang dia perjuangkan sebagai seorang serdadu. Dia berperang untuk membela hak asasi sebuah bangsa atas kemerdekaannya. Pilihan eksistensialnya itu mengental dalam pilihan perjuangan selanjutnya. Setelah bangsa ini memperoleh kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, serdadu Poncke masih terus berperang membela hak-hak asasi manusia bangsa Indonesia.
Di negeri barunya, serdadu Poncke dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia yang tangguh. Dia berganti nama Haji Johannes Cornelis Princen. Nama boleh berubah. Tapi semangatnya tak bergeming barang seinci. Seperti dulu, ia tetap tak pandang bulu membela apa yang digetarkan oleh hati nuraninya. Apapun ditabraknya. Lihat saja namanya yang bertabrakan tak menentu itu. Ia membela bekas tahanan politik PKI, padahal mereka dulu menjadi musuh politiknya. Dia juga membela para mahasiswa yang berbeda dengan pemerintah.
Tahun 1966 dia mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia. Tahun 1970 dia ikut membidani lahirnya Yayasan Lembagai Bantuan Hukum Indonesia. Lembaga terakhir ini sangat disegani kiprah dan suaranya oleh pemerintah. Sampai sekarang YLBHI masih eksis dalam kerja-kerja pembelaan hak asasi manusia. Tahun 1992, sebagai pengakuan atas komitmen dan konsistensinya pada perjuangan hak asasi manusia, Poncke mendapat anugerah Yap Thiam Hien.
Poncke bukanlah orang suci. Poncke orang yang berani mengamini apa yang diyakininya sebagai benar. Dia konsekuen untuk itu. Akibatnya, dia dipenjara oleh pemerintahan yang pernah dibelanya yang kepadanya dia mempertaruhkan nyawa dan kehancuran nama baiknya di negerinya sendiri. Ia dipenjara di masa orde lama karena menentang politik Soekarno dan membentuk Liga Demokrasi. Di masa orde barupun, selama dua tahun dia mondok di hotel prodeo karena keterlibatannya dalam peristiwa Malari.
Buat Poncke barangkali hidup ini hampir-hampir tidak memiliki dasar apapun untuk untuk dijalankan. Hidup seperti perburuan yang tak kunjung usai. Perburuan yang tak pernah mengecap hasil buruan Namun serdadu Poncke telah memberikan dasar bagi hidupnya. Sesungguhnya dia telah memilih menjadi seorang serdadu. Kesetiannya sebagai serdadu tidak dia berikan kepada satuan kompinya bahkan bukan kepada negaranya. Serdadu Poncke adalah serdadu yang setia pada hati nurani, kebenaran, dan Hak Asasi Manusia. Itulah kenapa Serdadu Poncke bukan serdadu biasa. Selamat jalan Serdadu….. (Heru Margianto-KCM)
Biodata HJC Princen
Nama Lengkap : H. Johannes Cornelis Princen
Tempat Tanggal Lahir : Den Haag, Belanda, 21 November 1925
Agama : Islam
Alamat Kantor : Jln. Kramat Asem Raya No37, Jakarta 13120
Telp/Fax. (021) 856-3389
Alamat Rumah : Jln.Arjuna III/15, Jatinegara, Jakarta Timur
Jabatan
- Ketua Lembaga Pembela Hak-hak Asasi Manusia (Institute For Defence Of Human Rights)
- Pengacara
Pendikan
- Sekolah Dasar (SD) 7 tahun
- Sekolah Menengah Seminari 6 tahun
- Pendidikan Tentara Perwira Intelijen sampai tahun 1952
Perjalanan Karir
- Biro Penasehat Ekonomi Teppema dan Vargroup Groothandel voor Chemische Producten di Den Haag (1942-1943)
- Stoottroepen Regiment Brabant dan bekerja pada Bureau voor Nationale Veiligheid (1945)
- Ikut Long March dari Jateng ke Jabar bersama Batalyon Kala Hitam, kemudian bekerja di SUAD (1948-1956)
- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (1956)
- Ketua Umum Lembaga Pembela Hak-Hak Azasi Manusia ({LPHAM) (sejak 1966)
- Pimpinan Yayasan LBH Indonesia (1970-…)
- Wartawan untuk suratkabar dan Radio Belanda di Indonesia (1969-1972)
- Pengacara (sejak 1979)- Pendengar dalam Pengkajian Pokja Petisi 50 (1988-…)
- Mendirikan Serikat Buruh Merdeka – Setia Kawan dan menjadi ketuanya (1990-…)
- Menjadi Wakil Ketua Caretaker Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) (1995)
Kegiatan Lain
- Dijatuhi Hukuman mati di Utrecht
- Penghuni kamp konsentrasi Jerman di 7 kota Eropa
- Ditangkap sewaktu peristiwa Madiun, bebas 19 Desember 1948
- Ditahan atas peristiwa PRRI Permesta
- Ditahan atas perintah Presiden Soekarno (1962-1966)
- Ditahan akibat peristiwa Malari (1972-1976)
- Ditahan atas tuduhan menganggu sidang DPR (1978)
- Turut membela para tertuduh dalam kasusTanjung Priok (1984)
- Dipanggil Kejaksaan Agung (Kejakgung) berkaitan dengan keikutsertaannya pada konferensi tentang Timor Timur (APCET/Asia Pacific Conference on East Timor) di Kuala Lumpur, Malaysia (November 1996)
Publikasi
- Menerbitkan buku “Riwayat Hidup di Negeri Belanda” dalam bahasa Belanda (1989) yang menimbulkan kontroversi mengenai pro dan anti Indonesia
- Menerbitkan buku “Een Kwestie van Kiezen” (Persoalan Memilih) di Belanda (1995)
Penghargaan
- Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno (5 Oktober 1949)
Sumber : Wikipedia