Bioenergi – Cermin Gratis dari Masa Jepang
Mbah Reso, tetua kampung, hatinya berdegup keras melihat tentara pendudukan Jepang memasuki rumahnya. Sebagai orang berpendidikan lebih daripada orang kampung, Mbah Reso grogi juga harus berhadapan dengan bala-tentara Jepang, yang kabarnya suka berbuat represif.
Mereka memperkenalkan diri sebagai saudara tua, berbicara baik-baik, menjelaskan pembentukan sebuah lembaga baru bernama gumicok atau rukun tetangga alias RT. Kedatangannya untuk menunjuk Mbah Reso sebagai ketua gumicok, juga menjelaskan tentang tugas-tugas yang harus dijalaninya.
Sebelumnya, di zaman Belanda tak ada RT. Yang ada hanyalah lurah. RT sengaja dibuat oleh tentara pendudukan Jepang sebagai kepanjangan tangan militer. Digunakan untuk memantau segala sesuatu di kalangan rakyat paling bawah, pada satuan kelompok keluarga serupa dengan lembaga yang ada di negara asalnya. Tujuan lainnya dapat digunakan sebagai mesin birokrasi, jalur informasi, perang urat saraf dan pelaksanaan propaganda Asia Timur Raya.
Jepang minim sumber alam. Di awal abad dua puluhan, ketika sukses menjalankan reformasi teknologinya, mereka kebingungan mencari bahan mentah untuk menunjang industrinya. Negara militeristik itu lalu tergoda menduduki daerah tetangganya, China, yang terkenal kaya akan sumber alam.
Setelah berhasil menduduki China, Jepang tak berhenti. Mereka meluaskan pendudukan ke selatan menuju Asia Tenggara, Papua, bahkan hampir mencapai Australia. Ekspansi ke selatan dibungkus propaganda Asia Timur Raya, yang sebagian bertujuan untuk merebut sumber alam, terutama ladang minyak yang dimiliki bangsa Barat di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Satu per satu ladang minyak dapat direbut. Tapi itu dirasa masih kurang. Perang membutuhkan dana dan energi yang sangat besar untuk mendukungnya. Sementara cadangan yang bisa didapat hanya mampu memasok energi selama tiga bulan ke depan. Risau dengan keadaan itu, mereka memutuskan menggunakan bioenergi untuk menambah pasokan/cadangan.
Mobilisasi Pohon Jarak
Melalui propaganda yang gencar, mereka memikat rakyat untuk menanam pohon jarak. Mereka mengumpulkan ketua RT, guna mengoordinir penanaman pohon jarak di lingkungannya.
Perintahnya sangat jelas, tak boleh ada lahan kosong. Di setiap jengkal tanah harus ditanami pohon jarak. Pengontrolan penanaman dilakukan oleh tentara Jepang.
Selang beberapa waktu terbukti usaha itu tak sia-sia. Hasilnya memuaskan. Tanaman jarak waktu itu mampu menutup setiap jengkal tanah. Dengan memanfaatkan lahan kosong, pagar, halaman, pinggir jalan, pinggir kali, dan halaman sekolah, hampir tak ada lahan yang tersisa.
Saudara tua itu tak segan-segan bertindak represif bila ada yang menolak menanamnya. Di waktu tertentu, ketua RT atau masyarakat yang ditunjuk mengoordinir setoran buah jarak, mengumpulkannya, kemudian diambil oleh tentara Jepang. Hasil setoran berton-ton buah jarak kering diterima dan dikumpulkan tiap minggunya.
Penduduk tak pernah diberitahu untuk apa biji jarak itu. Ternyata biji jarak diambil minyaknya, dipakai sebagai bahan bakar, oli pesawat terbang, oli kapal, oli mobil, dan untuk menjalankan mesin berat.
Kemudian, tak hanya biji jarak saja diambil, tapi juga merambah ke kelapa, minyak kacang, minyak wijen, dan tetes tebu, untuk dibuat metanol. Bahkan minyak biji kapuk pun di-”embat”-nya. Dengan teknologi sederhana, biji jarak diperas agar menjadi minyak kasar, dikumpulkan di depo penyimpanan, kemudian diangkut secara rahasia dengan kereta api di saat jam malam.
Berbekal propaganda, mereka mampu menggerakkan masyarakat menanam tumbuhan yang berpotensi menjadi bioenergi. Menyulap sebagian besar lahan tertutup tanaman yang menghasilkan sumber energi nabati. Hasilnya? Jepang mampu bertahan dan tetap menggerakkan mesin perangnya.
Namun sayang, di saat Jepang menyerah pada Sekutu, tanaman jarak dan kapuk randu jadi telantar. Semakin hari tanaman itu semakin hilang. Infrastruktur yang dibangun Jepang ternyata runtuh hanya dalam sekejap. Kebijakan pengadaan energi selanjutnya tak berpihak pada bioenergi melainkan kembali ke minyak bumi.
Hampir 70 tahun kemudian bioenergi menggema lagi lantaran harga minyak bumi terus membubung dan diperkirakan tak akan turun. Bioenergi merupakan pilihan yang rasional.
Cermin pun retak. Sangat mengejutkan saat melihat tayangan di layar kaca, seorang petinggi negara muncul menyerukan pengembangan tanaman jarak dengan ongkos hingga ratusan triliun rupiah.
Kalau bala-tentara Jepang masih hidup, mereka pasti akan tertawa terbahak bahak. Mereka dulu telah berhasil memproduksi minyak jarak nyaris tanpa mengeluarkan biaya. Pembuatannya sangat mudah: hanya berteknologi pedesaan, tak perlu lahan khusus, tak rakus rabuk, pemeliharaannya tak rumit, dapat hidup di mana pun. Kendala pembuatan minyak jarak hanyalah pasokan biji jarak. Tak perlu kebun yang menelan biaya hingga triliunan rupiah.
Jarak dapat dibiarkan hidup tanpa perawatan. Dapat hidup di lahan yang tak produktif, seperti di pinggir jalan, pinggir sungai, sela hutan jati, sela hutan karet, sela kebun sawit, tanah gersang, pinggir jalan kereta api, pinggir lapangan terbang, pinggir jalan tol, atau di kuburan.
Kalaupun jarak ditanam di lahan tak produktif, seperti di pinggir jalan kereta api yang panjangnya ribuan kilometer, entah berapa ton biji jarak yang dapat dipetik. Belum lagi di sela hutan jati, apalagi di kebun kelapa sawit. []
Baca selengkapnya di : Bioenergi – Cermin Gratis dari Masa Jepang
berapakah harga 1 liter oil dari biji jarak untuk saat ini