Tanpa Pelestarian Alam Pariwisata Bali Tak Bisa Apa-apa
{nl}Kini bencana alam silih berganti terjadi {nl}di berbagai daerah. {nl}Murka alam itu terjadi sebagian besar {nl}karena ulah manusia;{nl}rakus, tamak dan tak peduli. Bagaimana {nl}dengan Bali? Sebagai {nl}pihak yang paling ‘’menikmati’’ alam Bali, apa kontribusi {nl}sektor {nl}pariwisata terhadap pelestarian alam Bali?
{nl}
{nl}
{nl}
{nl}
{nl}
{nl}
Hutan Bakau – Kondisi hutan bakau di Bali kini memprihatinkan. Akibatnya abrasi juga makin mengganas.
{nl}
{nl}
{nl}
{nl}{nl}{nl}{nl}{nl}
[more]
{nl}Kini bencana alam silih berganti terjadi {nl}di berbagai daerah. Murka alam itu{nl}terjadi sebagian besar karena ulah manusia;{nl}rakus, tamak dan tak peduli. Bagaimana {nl}dengan Bali? Sebagai pihak yang paling{nl}’’menikmati’’ alam Bali, apa kontribusi sektor {nl}pariwisata terhadap pelestarian alam Bali?
{nl}
{nl}* * *
{nl}
{nl} Menyitir sejumput {nl}syair lagu Ebiet G. Ade, nasib Bali tinggal {nl}menunggu giliran, kalau kita tak segera berbenah.
{nl}
{nl} Dr. Ketut Kartini mengingatkan,{nl}kondisi lingkungan dan alam Bali saat ini sudah sangat memprihatinkan.{nl}Hutan menyusut, debit air di beberapa danau menurun, dan laju alih{nl}fungsi lahan kian tak terkendali. ‘’Kalau kita tak segera berbenah,{nl}kita juga akan menuai petaka seperti daerah lain,’’ tandas Kartini.
{nl}
{nl} Ia mengingatkan, mumpung belum{nl}terlambat, berbagai tragedi lingkungan seperti banjir dan tanah longsor{nl}yang terjadi di daerah hendaknya menjadi pelajaran. Sebab, kalau kita{nl}tidak segera berbenah, kita akan mengalami hal yang sama. Bahkan kalau{nl}tak segera menghutankan kembali, Kartini memprediksi suatu saat Bali{nl}akan bernasib seperti Etiopia. ‘’Semuanya gersang, tandus, dan kita{nl}semua jatuh miskin,’’ tandas Kartini.
{nl}
{nl} Ia sesungguhnya sudah{nl}mengingatkan kondisi apa yang terjadi sekarang sekitar 15 tahun lalu.{nl}Sayangnya tidak ada yang menggubris, karena pemerintah, pelaku usaha{nl}dan masyarakat hanya berpikir tentang pertumbuhan ekonomi. ‘’Lingkungan{nl}selalu dianggap tidak penting sehingga diletakkan pada urutan kesekian.{nl}Akibatnya berbagai upaya pelestarian lingkungan kurang mendapat{nl}dukungan yang luas dari pemerintah,”’ ujar dosen Unud ini.
{nl}
{nl} Baginya, ada sesuatu yang salah{nl}dalam pengelolaan Bali selama ini. Bali yang dikenal memiliki alam{nl}indah, lalu dijual sebagai produk pariwisata mendatangkan gemerincing{nl}dolar. Para pengelola usaha pariwisata menikmati dan pemerintah melalui{nl}PHR juga ikut mencicipi. Mereka mestinya punya komitmen melestarikan{nl}alam Bali, karena tanpa kelestarian alam, pariwisata tak bisa apa-apa.
{nl}
{nl} ‘’Tetapi coba tanya, apa yang{nl}telah mereka perbuat untuk pelestarian alam Bali? Siapa yang peduli{nl}dengan kerusakan hutan atau turunnya debit air di danau-danau di{nl}Bali?’’ gugat Kartini seraya mengingatkan, alam Bali sudah begitu murah{nl}hati memberi berkah ekonomis kepada kita semua. Namun, kalau kita tak{nl}pandai berterima kasih, alam punya cara tersendiri menuntut balas.
{nl}
{nl}Peran Leaderhip
{nl}
{nl} Menurutnya, sebelum semuanya{nl}telanjur, semua pihak harus segera menyadari dan beraksi nyata (action){nl}untuk mengembalikan keseimbangan alam. Antara lain melalui gerakan{nl}penanaman pohon di lahan-lahan kritis dan hutan-hutan yang ‘’bolong’’{nl}di seantero Bali. Semua ini, lanjutnya, memang tergantung leadership.{nl}’’Pak Gubernur mestinya langsung turun tangan. Persoalan lingkungan di{nl}Bali sudah serius,’’ ujar Kartini.
{nl}
{nl} Saat ini, lanjutnya, merupakan{nl}momentum yang pas. Di tengah masyarakat dan pemerintah sedang ‘’demam’’{nl}recovery (pemulihan). Namun, ia mengingatkan, pemahaman recovery Bali{nl}itu harus diluruskan. ‘’Saya sepakat dengan pernyataan Pak Satria{nl}Naradha di Bali Post bahwa recovery Bali bukan hanya promosi ke luar,{nl}tetapi harus juga membenahi ke dalam. Kalau kita sudah baik, tanpa{nl}promosi pun turis akan datang lagi,’’ ujar Kartini.
{nl}
{nl} Dihubungi terpisah, Ketua Bali{nl}Tourism Board (BTB) Bagus Sudibya sepakat recovery Bali tak hanya{nl}ditujukan untuk pemulihan pariwisata secara langsung. Dikatakannya,{nl}program yang disebut Bali Recovery disusun dalam suasana emergency,{nl}beberapa saat setelah bom Jimbaran-Kuta. Kendati demikian, ke depan{nl}bisa saja program rehabilitasi lingkungan menjadi bagian dari upaya{nl}pemulihan Bali. Di antaranya penanaman pohon di lahan kritis. Kalau{nl}disepakati, bisa saja dananya diambil dari PHR.
{nl}
{nl} Untuk menindaklanjuti itu,{nl}pihaknya akan mendata lahan kritis yang ada di seluruh Bali di{nl}masing-masing kabupaten. ‘’Kita minta data pada bupati se-Bali{nl}bagaimana kondisi lahan kritis di daerahnya. Dengan mempekerjakan{nl}masyarakat setempat, lahan-lahan itu nantinya ditanami pohon, selain{nl}untuk konservasi juga untuk produksi. Misalnya tanaman jarak, sengon{nl}atau albasia, yang kayunya bisa dimanfaatkan untuk kerajinan,’’ ujar{nl}Sudibya.
{nl}
{nl} Ditambahkannya, pola seperti ini{nl}telah populer di Finlandia, di mana ekspor kayu meningkat namun areal{nl}hutannya juga tiap tahun bertambah. Hal itu membuktikan setiap{nl}penebangan kayu segera diikuti penanaman pohon jauh lebih banyak dari{nl}yang dipanen. ‘’Selama ini memang harus diakui, orang hanya berpikir{nl}tentang pariwisata. Padahal pariwisata itu ibaratnya hilir, sementara{nl}pertanian, kehutanan, dan lainnya merupakan hulu. Kita benahi dulu{nl}hulunya, dengan sendirinya hilirnya akan baik,’’ tukas Bagus Sudibya.{nl}(gre)
{nl}
{nl}Sumber : Bali Post Online, Edisi 12 Juli 2006
{nl}
{nl}
{nl}* * *
{nl}
{nl} Menyitir sejumput {nl}syair lagu Ebiet G. Ade, nasib Bali tinggal {nl}menunggu giliran, kalau kita tak segera berbenah.
{nl}
{nl} Dr. Ketut Kartini mengingatkan,{nl}kondisi lingkungan dan alam Bali saat ini sudah sangat memprihatinkan.{nl}Hutan menyusut, debit air di beberapa danau menurun, dan laju alih{nl}fungsi lahan kian tak terkendali. ‘’Kalau kita tak segera berbenah,{nl}kita juga akan menuai petaka seperti daerah lain,’’ tandas Kartini.
{nl}
{nl} Ia mengingatkan, mumpung belum{nl}terlambat, berbagai tragedi lingkungan seperti banjir dan tanah longsor{nl}yang terjadi di daerah hendaknya menjadi pelajaran. Sebab, kalau kita{nl}tidak segera berbenah, kita akan mengalami hal yang sama. Bahkan kalau{nl}tak segera menghutankan kembali, Kartini memprediksi suatu saat Bali{nl}akan bernasib seperti Etiopia. ‘’Semuanya gersang, tandus, dan kita{nl}semua jatuh miskin,’’ tandas Kartini.
{nl}
{nl} Ia sesungguhnya sudah{nl}mengingatkan kondisi apa yang terjadi sekarang sekitar 15 tahun lalu.{nl}Sayangnya tidak ada yang menggubris, karena pemerintah, pelaku usaha{nl}dan masyarakat hanya berpikir tentang pertumbuhan ekonomi. ‘’Lingkungan{nl}selalu dianggap tidak penting sehingga diletakkan pada urutan kesekian.{nl}Akibatnya berbagai upaya pelestarian lingkungan kurang mendapat{nl}dukungan yang luas dari pemerintah,”’ ujar dosen Unud ini.
{nl}
{nl} Baginya, ada sesuatu yang salah{nl}dalam pengelolaan Bali selama ini. Bali yang dikenal memiliki alam{nl}indah, lalu dijual sebagai produk pariwisata mendatangkan gemerincing{nl}dolar. Para pengelola usaha pariwisata menikmati dan pemerintah melalui{nl}PHR juga ikut mencicipi. Mereka mestinya punya komitmen melestarikan{nl}alam Bali, karena tanpa kelestarian alam, pariwisata tak bisa apa-apa.
{nl}
{nl} ‘’Tetapi coba tanya, apa yang{nl}telah mereka perbuat untuk pelestarian alam Bali? Siapa yang peduli{nl}dengan kerusakan hutan atau turunnya debit air di danau-danau di{nl}Bali?’’ gugat Kartini seraya mengingatkan, alam Bali sudah begitu murah{nl}hati memberi berkah ekonomis kepada kita semua. Namun, kalau kita tak{nl}pandai berterima kasih, alam punya cara tersendiri menuntut balas.
{nl}
{nl}Peran Leaderhip
{nl}
{nl} Menurutnya, sebelum semuanya{nl}telanjur, semua pihak harus segera menyadari dan beraksi nyata (action){nl}untuk mengembalikan keseimbangan alam. Antara lain melalui gerakan{nl}penanaman pohon di lahan-lahan kritis dan hutan-hutan yang ‘’bolong’’{nl}di seantero Bali. Semua ini, lanjutnya, memang tergantung leadership.{nl}’’Pak Gubernur mestinya langsung turun tangan. Persoalan lingkungan di{nl}Bali sudah serius,’’ ujar Kartini.
{nl}
{nl} Saat ini, lanjutnya, merupakan{nl}momentum yang pas. Di tengah masyarakat dan pemerintah sedang ‘’demam’’{nl}recovery (pemulihan). Namun, ia mengingatkan, pemahaman recovery Bali{nl}itu harus diluruskan. ‘’Saya sepakat dengan pernyataan Pak Satria{nl}Naradha di Bali Post bahwa recovery Bali bukan hanya promosi ke luar,{nl}tetapi harus juga membenahi ke dalam. Kalau kita sudah baik, tanpa{nl}promosi pun turis akan datang lagi,’’ ujar Kartini.
{nl}
{nl} Dihubungi terpisah, Ketua Bali{nl}Tourism Board (BTB) Bagus Sudibya sepakat recovery Bali tak hanya{nl}ditujukan untuk pemulihan pariwisata secara langsung. Dikatakannya,{nl}program yang disebut Bali Recovery disusun dalam suasana emergency,{nl}beberapa saat setelah bom Jimbaran-Kuta. Kendati demikian, ke depan{nl}bisa saja program rehabilitasi lingkungan menjadi bagian dari upaya{nl}pemulihan Bali. Di antaranya penanaman pohon di lahan kritis. Kalau{nl}disepakati, bisa saja dananya diambil dari PHR.
{nl}
{nl} Untuk menindaklanjuti itu,{nl}pihaknya akan mendata lahan kritis yang ada di seluruh Bali di{nl}masing-masing kabupaten. ‘’Kita minta data pada bupati se-Bali{nl}bagaimana kondisi lahan kritis di daerahnya. Dengan mempekerjakan{nl}masyarakat setempat, lahan-lahan itu nantinya ditanami pohon, selain{nl}untuk konservasi juga untuk produksi. Misalnya tanaman jarak, sengon{nl}atau albasia, yang kayunya bisa dimanfaatkan untuk kerajinan,’’ ujar{nl}Sudibya.
{nl}
{nl} Ditambahkannya, pola seperti ini{nl}telah populer di Finlandia, di mana ekspor kayu meningkat namun areal{nl}hutannya juga tiap tahun bertambah. Hal itu membuktikan setiap{nl}penebangan kayu segera diikuti penanaman pohon jauh lebih banyak dari{nl}yang dipanen. ‘’Selama ini memang harus diakui, orang hanya berpikir{nl}tentang pariwisata. Padahal pariwisata itu ibaratnya hilir, sementara{nl}pertanian, kehutanan, dan lainnya merupakan hulu. Kita benahi dulu{nl}hulunya, dengan sendirinya hilirnya akan baik,’’ tukas Bagus Sudibya.{nl}(gre)
{nl}
{nl}Sumber : Bali Post Online, Edisi 12 Juli 2006
{nl}
{nl}