Sketsa Manusia dan lam Bali

”Recovery” Alam Bali, Sebuah Tanggung Jawab

Upaya penyelamatan alam Bali harus menjadi agenda bersama. Demikian diterangkan Gubernur Bali Dewa Made Beratha yang dimuat Bali Post, Rabu (12/6) kemarin. Pemerintah haruslah menjadikan agenda ini bagian dari kepedulian menjaga lingkungan alam di tengah makin tingginya bidikan investasi terhadap tanah Bali.

Kalau hanya berpijak pada ketentuan tata ruang, lanjut Gubernur, upaya penyelamatan ini bisa bias. Masalah apa pun, sehebat apa pun peraturan tata ruang yang dirancang, jika implementasinya bias, maka aturan hukum itu tidak banyak membantu. Terlebih lagi, dewasa ini ada perbedaan persepsi dalam memaknai otonomi daerah.

Memang, perbedaan ini memunculkan banyak penafsiran. Celakanya, seringkali hal itu dijadikan landasan legalitas untuk mengeksploitasi potensi suatu daerah. Dengan dalih otonomi daerah pula, beberapa daerah berlomba-lomba ‘’menjual’’ daerahnya seringkali tanpa memikirkan dampak ikutannya kelak. Hanya demi pundi-pundi pendapatan daerah, segala macam cara dilakukan.

Akibatnya apa? Selain terjadi penggerusan alam serta budaya, juga inkonsistensi penegakan hukum. Ini semacam hukum aksi reaksi yang reversibel. Artinya, law enforcement yang rendah mengakibatkan kemerosotan kualitas alam serta budaya, di sisi lain bisa juga sebaliknya. Kemerosotan alam serta budaya akan mempengaruhi mentalitas manusianya yang pada akhirnya mempengaruhi perilakunya dalam mengambil kebijakan yang tegas.

Sama halnya ketika pemerintah memperkenalkan RUU investasi yang baru. Katanya, masyarakat bisa menggugat pemerintah kalau salah mengelola lingkungan. Kasarannya, kalau pemerintah memberikan izin kepada investor dan kemudian investor tersebut merusak alam, maka rakyat bisa menggugat keduanya. Pemerintah serta investor.

Tetapi jangan lupa, gugatan itu perlu proses dan tidak jarang akan berlangsung sangat lama. membutuhkan energi yang banyak. Okelah jaring pengaman ini kita anggap bagus, tetapi akan lebih bagus lagi kalau pemerintah punya komitmen awal untuk menyeleksi secara ketat investor yang masuk serta punya wawasan ke depan, perencanaan yang matang dalam mengelola potensi daerahnya.

Jadi, memang penyelamatan alam merupakan salah satu bentuk recovery Bali yang sangat penting dan itu harus menjadi agenda bersama. Sekecil apa pun sumbangan ke arah itu sangatlah besar artinya. Kemauan untuk berkorban demi Bali, setelah selama ini mengeruk keuntungan dari alam serta budayanya, tentu tidaklah sebanding.

Berkaitan dengan hal ini pula, usulan untuk mengambil dana penghijauan dari Pajak Hotel dan Restoran (PHR) sah-sah saja. Namun, mari kita renungkan. PHR merupakan pajak yang dibayarkan oleh wisatawan pada setiap transaksi yang dia lakukan selama berlibur di Bali. Kasarannya begitu, sebab PHR ini sudah cukup meluas karena yang dipungut pajak tidak hanya sebatas wisatawan dan tukang pungutnya pun tidak hanya sebatas hotel, rumah makan atau restoran berbintang.

Jadi, PHR yang dipungut memang tidak seluruhnya dikembalikan untuk pariwisata. Tetapi juga untuk sektor lainnya. Misalnya pembangunan infrastruktur yang notabene mendukung usaha pariwisata.

Tegasnya, marilah kita membantu Bali dengan tangan kita sendiri. Toh kita ini sudah sekian tahun menadahkan tangan dan menangguk keuntungan dari pulau kecil yang bernama Bali. Kalau pulau ini sekarang menderita, bukan karena siapa atau orang lain, tetapi karena diri kita sendiri. Marilah kita menata Bali dengan tangan kita sendiri, jangan tergantung dengan tangan orang lain. Kita punya tanggung jawab. Untuk itulah kita menghadapinya dan tidak perlu lari seperti seorang pengecut. []

Sumber : Bali Post Online, Edisi 13 Juli 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *