Pembangunan Berkelanjutan Makin Mendesak

{nl}        Kebutuhan untuk keluar dari pola pembangunan konvensional dan memasuki pola pembangunan berkelanjutan makin mendesak. Jika tidak segera mengubah haluan, dampak negatif pada ketimpangan pendapatan, kehidupan sosial, dan lingkungan, akan semakin besar.

[more]

        Kebutuhan untuk keluar dari pola pembangunan konvensional dan memasuki{nl}pola pembangunan berkelanjutan makin mendesak. Jika tidak segera{nl}mengubah haluan, dampak negatif pada ketimpangan pendapatan, kehidupan{nl}sosial, dan lingkungan, akan semakin besar.

{nl}        Ahli lingkungan Prof Dr Emil Salim mengemukakan, pembangunan{nl}konvensional yang tidak mengakomodasi aspek lingkungan di satu pihak{nl}berhasil menaikkan produksi barang dan jasa secara melimpah, tetapi di{nl}pihak lain menimbulkan ketimpangan pendapatan penduduk antar dan dalam{nl}negara. Juga tersingkir ke pinggir pembangunan sosial, terutama yang{nl}menyangkut kepentingan kelompok miskin.
{nl}
{nl}        Terhadap lingkungan, dampak pembangunan konvensional begitu{nl}dahsyat sehingga pengaruhnya tidak lagi dalam batas lokal dan nasional,{nl}melainkan mencakup regional dan global yang mengancam kehidupan{nl}manusia, ungkap Emil dalam sarasehan Penguatan Kelompok Masyarakat{nl}dalam Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta, pekan lalu.
{nl}
{nl}        Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar sendiri{nl}mengakui, momentum kritis komitmen terhadap pertimbangan sosial,{nl}ekonomi, dan lingkungan, secara terintegrasi belum dapat dicapai. Hal{nl}itu antara lain disebabkan kepentingan jangka pendek dipandang lebih{nl}penting daripada kepentingan jangka panjang, egoisme sektoral, dan{nl}lemahnya penegakan hukum.
{nl}
{nl}        Emil menguraikan, dalam model pembangunan berkelanjutan, secara{nl}eksplisit perbedaan sifat sumber daya alam harus diperhitungkan. Sumber{nl}daya alam yang tak diperbarui, seperti bahan tambang, punya manfaat{nl}yang dibatasi waktu dan volumenya mengalami deplesi dalam proses{nl}penggaliannya.
{nl}
{nl}        Timah di Pulau Bangka, misalnya, akan terkuras habis dalam 25{nl}tahun. Dalam pola pembangunan berkelanjutan, deplesi harus{nl}diperhitungkan agar pembangunan Bangka bisa berlanjut. Laju deplesi{nl}bahan timah itu harus dikenai depletion rent sebagai modal substitusi{nl}tambang timah yang habis itu untuk diinvestasikan dalam kegiatan{nl}berbasis sumber daya alam yang diperbarui, seperti pertanian,{nl}perkebunan, perikanan, pariwisata, dan pengembangan sumber daya manusia.
{nl}
{nl}        Maka, ketika penambangan timah berakhir, ekonomi Bangka bisa{nl}berlanjut karena terbangun motor-motor ekonomi baru yang bertumpu pada{nl}sumber daya alam yang diperbarui, kata Emil.
{nl}
{nl}        Dalam model pembangunan konvensional, semua sumber daya alam{nl}diperlakukan sama sehingga penipisan sumber daya alam tambang tidak{nl}diperhitungkan atau tanpa pola keberlanjutan. Jika kemudian timah{nl}Bangka habis pada tahun 2025, yang tersisa adalah kota hantu atau pulau{nl}hantu.
{nl}
{nl}        Rachmat mengatakan, keterlibatan masyarakat sangat esensial{nl}dalam pembangunan berkelanjutan, tetapi saat ini masih terbatas dan{nl}belum menjadi suatu gerakan. Untuk mendorong partisipasi masyarakat,{nl}dibutuhkan suatu wahana untuk menyebarkan informasi mengenai{nl}pembangunan berkelanjutan dan isu lingkungan global. Selain itu, kata{nl}Rachmat, diperlukan penguatan jejaring masyarakat untuk dapat berperan{nl}dalam pembangunan berkelanjutan. (LAM)
{nl}
{nl}Sumber : Kompas Online, Edisi 11 Maret 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *