Bioenergi dari Losari
Bioenergi sebagai salah satu alternatif terhadap bahan bakar minyak, semakin kencang digemakan. Dalam rapat kabinet yang diadakan di sebuah perkebunan kopi di Losari, Magelang, penggunaan bioenergi dideklarasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itulah hasil dari rapat kabinet di area perkebunan yang disebut dengan Pertemuan Losari.
Bioenergi sebagai salah satu alternatif terhadap bahan bakar minyak, semakin kencang digemakan. Dalam rapat kabinet yang diadakan di sebuah perkebunan kopi di Losari, Magelang, penggunaan bioenergi dideklarasikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itulah hasil dari rapat kabinet di area perkebunan yang disebut dengan Pertemuan Losari.
Suara tentang kebutuhan energi alternatif sebenarnya bukan baru kali ini. Jauh sebelum Indonesia menjadi net importer minyak seperti sekarang ini, pemerintah sudah berulang kali berbicara tentang keharusan beralih dari energi yang berasal dari minyak bumi.
Akan tetapi, gemerlap petro dolar meninabobokan sense of urgency. Di mulut, Indonesia berbicara tentang bahaya sebagai net importer minyak, di lain pihak konsumsi energi berbasis minyak menggebu-gebu. Urgensi menemukan energi alternatif tenggelam oleh mabuk lumpur minyak yang dimuntahkan dari perut bumi.
Di bagian dunia yang lain, berkat kemajuan teknologi dan ketekunan penelitian, energi alternatif menghidupi masyarakat dan perekonomiannya. India dan Brasil, misalnya, tidak banyak terombang-ambing oleh fluktuasi harga minyak dunia karena sejak lama membangun basis konsumsi energinya dari bahan alternatif, seperti jarak.
Dari Pertemuan Losari kita akhirnya mengerti bahwa singkong dan tebu bisa diolah menjadi etanol. Lalu dari buah jarak dan kelapa sawit bisa diperoleh biodiesel. Kalau itu mungkin, apa kesulitan untuk diterapkan di Indonesia?
Hampir tidak ada kesulitan fundamental bagi Indonesia untuk mengembangkan bioenergi. Lahan, sangat cukup. Tenaga kerja, amat memadai. Kompetensi teknologi, kalau belum dikuasai hingga sekarang, bisa dijiplak dari negara-negara yang terbukti sukses mengelolanya. Modal, bisa dicari. Pasar, ada.
Kalau demikian, apa lagi yang kurang? Yang kurang tidak lain dan tidak bukan adalah kemauan yang kuat. Itulah penyakit negeri ini dalam memulai sebuah terobosan. Pikiran dan keinginan tumbuh dan datang berulang kali, tetapi itu semua ramai dan mati di tataran wacana.
Kalau penggunaan bioenergi bisa menyebabkan pemakaian listrik oleh PLN bisa dihemat sebesar 50%, alangkah hebatnya. Kalau pemakaian bioenergi mampu mengurangi pemakaian BBM sebesar 10%, sungguh banyak uang yang dihemat. Selain itu program ini akan memberi nafkah bagi ribuan tenaga kerja di dalam negeri. Daripada mereka lari bekerja di perkebunan sawit di Malaysia, mengapa tidak diberi kesempatan di dalam negeri dengan membuka seluas-luasnya perkebunan sawit dan jarak?
Salah satu tantangan bagi bioenergi adalah kultur manajemen negara yang selalu rugi kalau mengurus kebutuhan dasar rakyat. Mungkin lebih baik perkebunan sawit dan jarak diserahkan kepada swasta. Ini juga menjadi ujian kecerdasan pemerintah menemukan formula perkebunan sawit dan jarak yang tidak semata menempatkan rakyat pemilik lahan sebagai buruh di perkebunan. Pola PIR dalam perkebunan sawit telah gagal menjadikan petani sebagai penikmat atas keringat dan kontribusinya.
Mudah-mudahan kesadaran baru terhadap bioenergi kali ini sedikit menghilangkan paradoks Indonesia sebagai daerah pertanian yang tidak pernah mampu memperoleh benefit kompetitif dari tanah dan air.
Sumber : Media Indonesia Online, Edisi 4 Juli 2006