Banjir, Kerusakan Hutan, dan Kemiskinan

        Rasa-rasanya, di Indonesia sudah{nl}tidak ada lagi tempat yang aman dari bencana banjir bandang. Belum usai{nl}evakuasi korban di delapan kabupaten di Sulawesi Selatan, banjir{nl}bandang kembali menerjang Kabupaten Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara,{nl}dan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.

[more]

        Rasa-rasanya, di Indonesia sudah{nl}tidak ada lagi tempat yang aman dari bencana banjir bandang. Belum usai{nl}evakuasi korban di delapan kabupaten di Sulawesi Selatan, banjir{nl}bandang kembali menerjang Kabupaten Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara,{nl}dan Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.

   {nl}    Dari Manado dilaporkan, arus lalu lintas{nl}trans-Sulawesi pada ruas Kabupaten Bolaang Mangondow lumpuh total{nl}menyusul banjir bandang yang menimpa beberapa lokasi di ruas itu.{nl}Sementara di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan, 26 warga{nl}dinyatakan hilang saat rumah mereka tertimbun longsoran (Kompas, 26/6).

Kerusakan Hutan

   {nl}    Hampir setiap terjadinya bencana banjir bandang yang{nl}menerjang sebagian besar daerah di Indonesia baru-baru ini terkait{nl}dengan kerusakan hutan. Pengalihfungsian kawasan hutan secara{nl}besar-besaran dalam kurun waktu 10 tahun terakhir telah menyebabkan{nl}berkurangnya daerah resapan air secara drastis. Curah hujan yang turun{nl}dengan tinggi, kemudian tak dapat diserap tanah, dan air pun meluap{nl}menenggelamkan permukiman penduduk.

   {nl}    Berdasarkan data Global Forest Resources Assessment{nl}2005?yang diterbitkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO){nl}2006?Indonesia adalah negara kedua yang kehilangan hutan terbanyak di{nl}dunia setelah Brasil, yakni 1,871 juta hektar per tahun, antara tahun{nl}2000-2005. Menurut Departemen Kehutanan (Dephut), penyebab tingginya{nl}angka kerusakan hutan lebih disebabkan karena penebangan liar.

   {nl}    Saat ini, luas hutan di Indonesia diperkirakan{nl}tinggal 88 juta hektar dan berada pada urutan kedelapan dunia setelah{nl}Kongo dalam penguasaan hutan tropis yang tersisa di dunia. Padahal,{nl}tahun 1995 Indonesia masih tercatat sebagai negara di urutan kedua{nl}setelah Brasil dalam penguasaan hutan tropis, dengan luas hutan{nl}mencapai 100 juta hektar atau sekitar 10 persen dari hutan tropis yang{nl}tersisa di dunia.

        Berbagai{nl}upaya rehabilitasi dan konservasi hutan telah dilakukan, salah satunya{nl}oleh Dephut melalui Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan{nl}(Gerhan) yang telah menghabiskan dana triliunan rupiah dalam tiga tahun{nl}terakhir. Lembaga donor pun tidak sedikit yang telah mengucurkan dana{nl}untuk membiayai berbagai program konservasi yang dilakukan lembaga{nl}swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang lingkungan hidup.{nl}Namun, hasilnya tetap nihil.

Kemiskinan

   {nl}    Ada fakta menarik di balik terjadinya bencana banjir{nl}bandang yang menerjang beberapa daerah di Indonesia baru-baru ini.{nl}Lokasi kerusakan hutan yang menyebabkan terjadinya banjir bandang{nl}ternyata merupakan kantong-kantong kemiskinan. Di Kabupaten Trenggalek{nl}misalnya, pada tahun 1999, pendapatan per kapita kabupaten ini per{nl}tahun hanya Rp 1, 3 juta. Angka tersebut masih jauh di bawah rata-rata{nl}pendapatan per kapita Provinsi Jawa Timur yang besarnya 3,9 juta per{nl}tahun. Selain itu, sampai tahun 1999, total kegiatan ekonomi di{nl}kabupaten ini masih di bawah Rp 1 triliun. Kabupaten Trenggalek saat{nl}ini tercatat sebagai kabupaten termiskin di Jatim.

   {nl}    Data Brown dan Sunderlin dkk yang dikutip Strategi{nl}Nasional Multistakeholder Forestry Programme (2005) hasil kerja sama{nl}antara Dephut dengan Departement for International Development (DFID){nl}Inggris menyebutkan, saat ini sekitar 48,8 juta penduduk Indonesia{nl}bermukim di wilayah hutan negara dan dari jumlah tersebut 10,2 juta{nl}orang adalah miskin dan sekurang-kurangnya enam juta orang sangat{nl}tergantung kehidupannya pada sumber daya hutan.

   {nl}    Banyak pihak sering kali memvonis penduduk miskin di{nl}sekitar hutan sebagai aktor perusakan hutan dengan melakukan penebangan{nl}liar. Apakah vonis ini benar? Padahal, dalam beberapa kasus, yang{nl}terjadi justru sebaliknya, eksploitasi hutan secara berlebihan oleh{nl}para pemegang izin pengelolaan hutan telah menyebabkan kerusakan hutan{nl}yang kemudian berkontribusi pada miskinnya penduduk di sekitar hutan.

   {nl}    Dekade 1980-an adalah masa di mana sumber daya hutan{nl}Indonesia mulai dieksploitasi oleh ratusan perusahaan HPH. Dalam kurun{nl}waktu 1980-1999, tercatat ada sekitar 115 industri kayu nasional dengan{nl}ratusan ribu pekerja. Namun dalam kurun waktu tersebut, pemanfaatan{nl}hasil hutan tidak berdampak secara signifikan pada tingkat{nl}kesejahteraan penduduk di sekitar hutan, yang ditinggalkan{nl}perusahaan-perusahaan tersebut hanyalah kerusakan hutan di sana-sini.

   {nl}    Jadi, kalaupun saat ini penduduk miskin divonis{nl}merusak hutan, maka yang dirusak adalah hutan yang memang sudah rusak.{nl}Perusakan hutan oleh penduduk dapat terjadi karena hutan yang rusak{nl}tersebut tidak mampu lagi menyediakan sumber air dan kebutuhan riil{nl}bagi mereka untuk bercocok tanam. Dengan tingkat ketergantungan{nl}terhadap alam sangat tinggi, sementara kebutuhan hidup tak bisa{nl}ditunda, maka tak ada alternatif lain kecuali mengambil hasil hutan.

Kepentingan Rakyat

   {nl}    Penyebab miskinnya penduduk yang kemudian{nl}berkontribusi pada bertambah parahnya kerusakan hutan di Indonesia{nl}sejatinya terletak pada ketidakadilan distribusi pemanfaatan hasil{nl}hutan oleh penyelenggara negara. Berdasarkan jajak pendapat yang{nl}dilakukan Kompas 22-23 Maret 2006 lalu, 71,8 persen responden merasa{nl}tidak puas terhadap pengelolaan kekayaan hutan. Hasil pengelolaan{nl}kekayaan hutan yang selama ini dipercayakan kepada pemerintah dinilai{nl}belum banyak berpihak pada kepentingan rakyat (Kompas, 27/3).

   {nl}    Ketidakadilan tersebut kemudian melahirkan tindakan{nl}ilegal?termasuk usaha menguasai akses dan lahan hutan?oleh penduduk{nl}dalam pandangan negara. Persoalan bertambah rumit ketika berbagai{nl}kebijakan pengelolaan hutan?yang tidak berpihak pada kepentingan{nl}rakyat?yang diambil pemerintah ternyata makin menjauhkan penduduk desa{nl}hutan dari negara.

        Maka,{nl}jalan satu-satunya yang harus diambil untuk mengatasi kerusakan hutan{nl}saat ini bukanlah pada perbaikan pengelolaan sumber daya hutan semata,{nl}tetapi harus lebih ditekankan pada upaya pendistribusian pemanfaatan{nl}hasil hutan secara adil dan merata.

Penulis : Marison Guciano, Konsultan Ahli Perhutani dan Liaison Officer Orangutan Republik Education Initiative (OUREI)
Sumber : Kompas Online, Edisi Kamis 6 Juli 2006

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *