Dari Asal Kenikmatan Itu Berasal
Selega orgasme, saat langkah-langkah tertatih berdiri di antara hutan damar (damara albatis) dan jalan hotmix di wana wisata Baturaden yang mengarah ke Pancuran Pitu, langsung terkapar di aspal yang masih menyisakan hangat dibanding lumpur, daki, dan keringat yang menyatu air hujan di sekujur tubuh dan pembungkusnya.
Jalur Slamet lewat Baturaden memang asoy…. Penuh tanjakan asoy sehingga kalau turunpun asoy. Lutut juga ikut asoy apalagi sudah menumpuk tidak sedikit asam urat yang bikin kaku persendian, atau kekurangan kalsium kaki ini hingga agak seret gerakannya. Tapi jika dibanding jalur lainnya, Baturaden yang ‘hanya’ berketinggian 600 mdpl, dengan jalur tegak lurus ke utara memotong Gunung Malang bertemu jalur Kaliwadas, untuk ke Slamet, dari gunung Malang harus bertemu dua puncakan lagi, batas vegetasi dan jalur puncak itu sendiri… wes memang moy!!!
Selega orgasme, saat langkah-langkah tertatih berdiri di antara hutan damar (damara albatis) dan jalan hotmix di wana wisata Baturaden yang mengarah ke Pancuran Pitu, langsung terkapar di aspal yang masih menyisakan hangat dibanding lumpur, daki, dan keringat yang menyatu air hujan di sekujur tubuh dan pembungkusnya. “Tapi jalan masih panjang, Jim”, ujarku. Aku ingat delapan tahun yang lalu saat mendaki dari sisi selatan ini teman-teman UPL Unsoed mengantar dengan kendaraan carteran ke titik ini, jalur dari terminal Baturaden dan titik ini memang cukup jauh, apalagi untuk kaki yang sudah mulai goyah kuda-kudanya, eh… ditambah jalan aspal yang pasti akan bikin sel kelabu di belakang kepala kita ikut tergetar. Tapi lega ya tetap lega, buka sepatu dan peras kaos kaki yang memancurkan air hitam kental sambil terus berdoa (apa layak disebut begitu?) mengharap bintang jatuh meski gelap hari karena mendung dan kabut bukan malam, tempat para bintang hadir.
Deru berat mesin yang seperti menjerit mendengus menarik berat beban atau memang usia tua yang harusnya sudah pensiun tapi tetap dikaryakan, jauh terdengar mendekat di antara sepoi angin yang lewat di hutan damar, memberi secercah asa untuk menghemat kaki, yang memang sudah tidak bisa kompromi dengan perintah otak. Langsung modal acung jempol yang ternyata didunia sekarang yang penuh dengan kebutuhan ini tidak berlaku dan berdefinisi numpang gratis, tidak ada gratis lagi di kehidupan nyata ini ternyata. Kendaraan angkutan khusus wisata yang di hari tidak libur ini jarang beroperasi, hari ini membawa wisatawan domestik ke arah kami yang memang sedang kelelahan. Mungkin karena sudah dicarter, sang sopir memberi kode untuk tetap tinggal dan negosiasi akan dilakukan dibelakang para penyewa itu… he he he dunia manusia yang purba ini semakin runyam saja, saat keterbukaan dan apa adanya menjadi hal yang ‘saru’ untuk di omongkan, atau karena hati kecil kita yang tidak bersih dari niat-niat lain, kali ya?
Menunggu jadi hal yang biasa saat ada kebutuhan dan pamrih di belakangnya, sesaat kendaraan wisata balik dengan kursi kosong, satu lagi dunia nyata menghentak jiwaku. Sudah tahu kumuh, lusuh, capai, dan bau gini masih dipalak dengan ongkos yang tidak masuk akal. Maklum melihat peluang dan kesempitan yang menghimpit mangsanya, manusia modern kini langsung tumbuh tanduknya. Ah… serenta inikah usia manusia!!! Bukan karena ahli negosiasi ataupun berlidah licin, akhirnya harga bisa ditekan hingga minimum dan menyisakan sedikit untuk perjalanan berikutnya. Semua hanya karena keadaan terdesak dan keberuntungan saja, dengan syarat menunggu wisatawan yang lagi berendam air panas di Pancuran Pitu… Hmmm jadilah akad itu kami ikatkan.
Masih dengan permakluman yang usianya renta juga, sisi positif setiap kejadian diupayakan muncul lebih dominan dibanding realita yang terjadi, dan itu kuupayakan berlaku di saat itu untuk menutup sumpah serapah yang memenuhi dada menyaksikan kenyataan hidup yang sangat jauh dengan mimpi yang baru saja kutinggalkan di sela kabut Gunung Slamet. Asu… betul manusia, hidup hanya bergelimang mimpi untuk hidup dalam kelimpahan materi yang tidak pernah kenal kata cukup. Tapi biarlah, toh aku juga mengejar hal yang tidak jauh beda dengan semua manusia itu. Biar aku masuk kategori manusia juga ah…, dan besyukur dengan semua yang kudapatkan di sisa umur ini hingga puncak tertinggi di Jawa Tengah ini masih menerimaku dengan senyumnya.
Sudah sekian waktu berlalu, terasa, menunggu angkutan yang menunggu pemiliknya ditemani segelas kopi bule, sukro, dan biskuit sisa perjalanan, dan Jimbo yang sudah BL (baca : bau lonthe) memanfaatkan kamar mandi gratis di seberang lapangan parkir ini. Masih saja waktu bergerak lambat, ketidaksabaran menyaksikan semua kejadian di dunia manusia yang penuh basa-basi dan tai belaka. Kenapa tak ku masabodohkan saja semua itu. Toh bukan urusanku. Tapi tak bisa, aku memiliki dunia manusia ini juga. Jadi itu juga jadi urusanku. Hijau damar yang kanginan, manau-rotan raksasa yang memenuhi ruang kosong di hutan seberang jalan di lembahan dalamnya, bonsai kelapa dan pohon bintang (sejenis cantigi) yang dijajakan menghiasi bingkai jiwa sore ini mengendurkan syaraf yang lagi menunggu manusia yang tidak tahu sedang ditunggu.
Sepasang (benarkah istilah ini, jangan salah tafsir) lelaki dengan tampilan cepak ala TKD, kacamata hitam di gelap hari ini, pemilik kendaraan wisata, nongol di sela gerbang pintu masuk dan pintu keluar air panas Pancuran Pitu. Sempat panas dan inginnya kutendang saja korteks seorang lainnya yang sepertinya mengusir Jimbo duduk di sampingnya, padahal Jimbo sudah tidak sebau aku yang belum bebersih. Biar kena insomnia dan lupa nikmatnya dunia. Tapi ternyata omong-kosong juga jiwaku ini, leleh oleh keramahan manusia yang satunya yang telah berjasa memberi penginapan adik almamaterku yang sempat gladi di Gresik, rumahnya, akunya.
Suasana cukup sublim dan saat pertanyaan menyusul pertanyaan lain tentang gunung dan pendakian yang kami lakukan. Terpaksa kujawab dalam kepongahanku yang memang kusengaja untuk cari masalah dengan manusia yang satunya lagi. Tapi sepertinya ‘cinta bertepuk sebelah tangan’, jadilah interview sepanjang perjalanan menuju terminal Baturaden. Dari kisah pendakian teman-temannya, pendakian yang pernah dan sedang kami lakukan hingga kejadian-kejadian lain yang menyertainya.
Hingga satu moment muncul saat pertanyaan darinya menusuk jiwa, ’’Kenapa naik gunung, mas?”. Sambil bersandar di kursi paling belakang, kaki kuangkat setinggi mungkin menunjukkan lutut yang penuh lumpur di sela celana panjangku yang terbelah, berharap bau hutan merambat melalui hidung, menjalar di tekak, masuk ke pangkal tenggorok, terus ke traccea, berharap menyesakkan paru-parunya, menstimulasi emosi di jiwanya hingga rasa terganggu dominan di hari yang harusnya dilaluinya dengan indah hari ini, dan enteng kujawab dari hatiku yang paling dalam, ”Ah… Cuma pindah makan dan tidur saja kok. Mas”. “Kalo biasanya tidur di rumah, di kasur makan jajan, sekarang di hutan, disela hujan dan kabut, terasa lebih natural dan lebih nyaman kok”, tambahku lagi. Dan tidak ada reaksi berlebih dari bau hutan yang kubawa, mungkin hanya di telan dalam hati saja, biarkan. Sesaat yang terucap sambil nyengir di sela kumisnya, ”Wes keblinger itu namanya kamu mas, he… he… he…”. Dan, ”He… he… he…”, juga tambahku.
Ada segudang kata yang harusnya bisa kujejalkan dalam perbendaharaan hidupnya di kesempatan yang jarang terjadi ini, biar dikata menggurui atau membodohi, tidak ada beda, hanya niat untuk melegakan kepalan sesak dalam dada saja yang sejatinya ingin kulakukan di depan manusia-manusia modern ini. Tapi toh, semua itu melebur dalam kenyataan dan keengganan untuk tetap terus berjuang menyebarluaskan keindahan yang kudapat di sela-sela rimba raya dalam pencarian yang hanya misteri saja jawabnya.
Harusnya bisa kubagikan ke mereka betapa nikmatnya setiap suapan nasi yang kita masak di sela kerimbunan hutan belantara yang berselimut kabut bahkan badai, meski masih keras dan belum melumerkan rasa tepung karbohirat yang terkandung di dalamnya, dengan api di sela kayu tertumpuk penghangat malam-malam kita di sela perjalanan.
Harusnya juga bisa kukabarkan ke dunia juga betapa nikmatnya saat istirahat tiba, membujurkan tubuh yang tidak bisa lurus sempurna karena medan shelter yang ada memang seadanya, di sela hangat api unggun plus asapnya di sela butir-butir angin dingin pembawa kesejukan jiwa yang mengirupnya.
Harusnya juga bisa kubisikkan di jiwa meraka betapa nikmatnya kelegaan yang terjadi saat moment-moment summit attack di sela badai yang hanya menyisakan jarak satu-dua meter saja. Memutihkan semua angkasa dan bumi terjal yang kita pijak. Tanpa kepastian masih berapa jarak yang harus ditempuh, terlewati saat kepastian tinggal kawah curam terjal yang tersisa di depan kita yang berarti puncak telah di ujung kaki kita.
Harusnya bisa kuceritakan tentang kisah Pangeran Kecil di The Little Prince tulisan Saint-Exupry yang bersyukur menemukan air di Gurun Sahara dan bersyukur atas nikmatnya air yang datang bukan saja dari air dinginnya di sela kering kerontang padang pasir. Tapi kenikmatan yang datang dari perjalanan panjangnya di bawah bintang-bintang, kenikmatan dari derit suara gesekan katrol saat menimbanya, dan kenikmatan yang berasal dari cucuran keringat hasil jerih payah menimbanya.
Viva Astacala!!!
Honje 26 – di asal kenikmatan hidup bermula, sesaat mendarat di Baturaden, sisi selatan Gunung Slamet, 10 Maret 2004
Yeah memang itulah hidup dan kehidupan semua harus dijalaniwalaupun pahit getir sementara tak dapat kita elakkan, semakin jauh kita mengelak semakin dalam kita terperosok kedalam, yang penting dalam hidup ini mensyukuri apa yang kita dapatkan dan berusaha mendapatkan yang lebih, dan didalam manusia bisa menjalankan hidup seperti ini akan merasakan kenikmatan hidup yang se-benar2nya. Oyu Tolgoi-South Gobi- Mongolia (June,04'07) :tongue: