Tak Terkendali, Kawasan Karst Tinggal Kenangan

Related Articles

        Jual-beli bukit karst di wilayah{nl}Gunungkidul makin marak. Hampir setiap hari kawasan perbukitan Gunung{nl}Sewu ditambang, baik dalam skala kecil (tradisional) maupun besar. Bila{nl}tak terkendali, dalam kurun waktu tertentu, dipastikan kawasan yang{nl}berfungsi sebagai penyangga air itu akan lenyap. Berbagai regulasi{nl}sudah dikeluarkan, namun belum efektif. Antara tuntutan perut bagi{nl}penambang dan penyelamatan lingkungan masih menjadi ironi.
{nl}

[more]

Kian Marak Jual-Beli Gunung di Gunungkidul
{nl}
{nl}        Sejauh mata memandang, Kabupaten{nl}Gunungkidul memang tidak lepas dari perbukitan karst. Jalan berkelok{nl}naik-turun merupakan pemandangan lain menuju kawasan Gunung Sewu.{nl}Begitupun hutan jati yang terlihat begitu rimbun menebar kesejukan.{nl}Itulah bukti, sesungguhnya Gunungkidul merupakan tambang ‘emas putih’{nl}yang tak pernah habis digali sepanjang masa — sekalipun di sisi lain,{nl}daerah ini acap kekurangan air.
{nl}
{nl}        Bukit karst di Gunungkidul memang{nl}terpanjang di Propinsi DIY. Total mencapai 79.769,34 hektar. Luasnya{nl}kawasan karst di Gunungkidul merupakan lahan bagi masyarakat untuk{nl}mencari penghidupan.
{nl}
{nl}        Dari penelusuran KR terhadap{nl}penambangan rakyat yang tersebar di berbagai wilayah di Gunungkidul,{nl}para penambang rakyat ini sebagian besar menggantungkan dari pengusaha{nl}penambangan atau kuasa pertambangan. Seperti diakui Ratnoko (50),{nl}penambang rakyat penduduk Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong, sudah lebih 3{nl}tahun bekerja sebagai penambang.
{nl}
{nl}        Hampir setiap hari mereka{nl}menggali batu yang terdapat di bukit dengan menggunakan peralatan{nl}sederhana, dan dijual kepada pengusaha dengan harga Rp 6 ribu per meter{nl}kubik. Rata-rata sehari mereka bisa menjual 3 meter kubik, sehingga{nl}penghasilan kotor bagi penambang rakyat hanya Rp 18 ribu.
{nl}
{nl}        Hal senada diungkapkan Wastorejo{nl}(55), juga penambang rakyat asal Bedoyo Ponjong, bahwa profesi sebagai{nl}penambang rakyat merupakan pelarian karena himpitan ekonomi. Semula{nl}sebagai petani dengan kepemilikan lahan sangat terbatas, sehingga untuk{nl}menghidupi keluarganya tidak cukup. Karena itu, sejak tahun 2000,{nl}dirinya menggeluti eksploitasi batu kapur. Penghasilan maksimal Rp 20{nl}ribu dengan menjual hasil galian kepada pengusaha pertambangan.
{nl}
{nl}        Para penambang rakyat ini bekerja{nl}tanpa mendapatkan perlindungan keselamatan kerja, karena mereka ini{nl}tidak langsung di bawah pengawasan perusahaan penambangan, tapi sebagai{nl}pekerja lepas. Sehingga jika terjadi kecelakaan kerja tidak ada yang{nl}bertanggungjawab. Padahal kecelakaan kerja para penambang rakyat sudah{nl}sering terjadi, karena pola penambangan dilakukan asal-asalan tanpa{nl}memperhatikan keselamatan maupun lingkungan hidup.
{nl}
{nl}Jual-Beli Bukit
{nl}
{nl}        Jual-beli pulau, gunung atau{nl}bukit, rasanya memang sulit dimengerti. Tapi itu benar-benar terjadi.{nl}Berbekal surat model E atau letter C penduduk merasa memiliki hak atas{nl}tanah atau bukit. Terlebih warga telah menempati lokasi secara turun{nl}menurun. Mereka merasa berhak untuk menjualnya kepada siapa saja. Asal{nl}memiliki uang, siapa saja bisa membeli bukit atau gunung — istilah{nl}yang sering digunakan warga.
{nl}
{nl}        Seorang pengusaha penambangan{nl}tradisional, Mujono (50), mengakui telah membeli gunung dari warga di{nl}kawasan Gunungkidul. Kini ia memiliki 3 lokasi penambangan, yakni di{nl}wilayah Beduyu, Ngabean dan Ngrombo. Tiga gunung tersebut dibelinya{nl}dari penduduk setempat, dan hingga sekarang belum separuhnya berhasil{nl}ditambang.
{nl}
{nl}        Ia mendirikan usaha penambangan{nl}tradisional sejak 1995 lalu dengan puluhan pekerjanya. Dan, Mujono akan{nl}terus menambang dan menambang. “Ini merupakan pilihan hidup saya. Dari{nl}kegiatan menambang ini saya bisa mengajak penduduk setempat yang semula{nl}perekonomiannya tak menentu, bangkit kembali,” ucap Mujono yang mengaku{nl}sengaja keluar dari PNS di Jakarta untuk terjun di dunia penambangan.
{nl}
{nl}        Warga Ngrombong, Beduyu,{nl}Kecamatan Ponjong ini bukannya tak menyadari bila penambangan terus{nl}dilakukan, lama-kelamaan bukit akan habis. Ia juga paham bahwa bukit{nl}karst kalau sudah ditambang tak mungkin dipulihkan seperti semula.{nl}”Kapan habisnya saya tidak tahu. Sampai sekarang saja, bukit ini belum{nl}habis ditambang, separuhnya saja belum ada,” terangnya seraya menunjuk{nl}bukit kapur seluas 800 meterpersegi yang waktu itu dibelinya dari{nl}seorang penduduk seharga Rp 150 juta pada tahun 1994.
{nl}
{nl}        “Semula saya menggunakan alat{nl}berat, tapi oleh aparat dilarang. Ya gimana lagi, akhirnya saya tetap{nl}menggunakan alat tradisional,” keluhnya seraya mengatakan semua surat{nl}perizinan telah ia kantongi.
{nl}
{nl}        Mujono tidak habis mengerti{nl}mengapa pemerintah setempat melarangnya menggunakan alat berat.{nl}Padahal, menurutnya, bila menggunakan alat berat, keamanannya lebih{nl}terjamin.
{nl}
{nl}        Pendapat Mujono cukup beralasan.{nl}Pasalnya, dengan peralatan tradisional seperti linggis dan sejenisnya,{nl}sering membahayakan keselamatan penambang, bahkan tak jarang jatuh{nl}korban. Sedikitnya telah ada 3 korban tewas saat menambang.
{nl}
{nl}        “Karena dilarang menggunakan alat{nl}berat, kami hanya patuh saja. Tapi kalau ada kecelakaan seperti ini{nl}siapa yang harus bertanggungjawab,” protes Mujono seraya menunjuk{nl}contoh beberapa korban tewas.
{nl}
{nl}Masalah Perut
{nl}
{nl}        Kegiatan menambang memang tidak{nl}hanya terkait urusan lingkungan, tapi juga masalah perut. Yakni{nl}bagaimana kegiatan tersebut bisa produktif, menghidupi keluarga dan{nl}masyarakat luas. Meski tergolong penambang tradisional, tak kurang 22{nl}penambang menggantungkan hidup dari penambangan milik Mujono.
{nl}
{nl}        “Kalau kami dilarang menambang,{nl}saya tantang mereka. Siapa yang lebih berjasa untuk masyarakat. Semua{nl}yang bekerja di lokasi penambangan adalah penduduk asli dan mereka bisa{nl}hidup lebih layak,” ujar Mujono lantang.
{nl}
{nl}        Repotnya, kalau turun hujan.{nl}Sebab, batu yang digiling menjadi lengket, sehingga mesin penggiling{nl}ekstra keras mengeluarkan tenaga. Konsekuensinya, bahan bakar yang{nl}dibutuhkan semakin banyak. Ongkos produksi pun menjadi tidak sebanding{nl}dengan hasil yang didapat.
{nl}
{nl}        Bila cuaca cerah, rata-rata para{nl}penambang di tempat Mujono bisa menghasilkan total 7 ton perhari atau 1{nl}rit ukuran colt diesel. Sedang batu yang ditambang kebanyakan berjenis{nl}fasfat, mil dan guano yang biasanya digunakan untuk bahan pupuk. Bahan{nl}galian tersebut kemudian dikirim ke berbagai wilayah di Jateng,{nl}terutama Solo, Wonosobo, Magelang. Mujono menjual batu jenis fasfat{nl}yang sudah digiling Rp 350 ribu/ton, sedang batu mil Rp 100 ribu/ton.
{nl}
{nl}500-600 Ton Sebulan
{nl}
{nl}        Dari sekian banyak penambang, ada{nl}yang berskala kecil, ada pula yang berskala besar. Tentu, hasil{nl}perolehannya pun berbeda. Baik dari jumlah hasil tambang maupun jika{nl}dihitung secara rupiah.
{nl}
{nl}        Dalam sebulan, PT Sugih Alam{nl}Anugroho bisa memproduksi 500-600 ton per bulan. Perusahaan ini{nl}melibatkan 98 karyawan. Belum termasuk tenaga musiman. Karena{nl}masyarakat sekitar, jika tidak sedang bertani, mereka ikut pula{nl}menambang karst. Hasilnya lumayan. Satu rit bisa mencapai Rp 45 ribu.
{nl}
{nl}        Menurut Oemar Sanoesi (72),{nl}Pimpinan Perusahaan PT Sugih Alam Anugroho, selama ini produknya{nl}dikirim ke Jakarta untuk keperluan sendiri, karena kepemilikan usaha{nl}tersebut atas nama dua perusahaan yang memproduksi cat dan plastik.{nl}Dibanding karst di kota lain, karst dari Gunungkidul tingkat{nl}keputihannya tertinggi. Ini merupakan bahan baku yang bagus untuk{nl}pembuatan cat dan keperluan rumahtangga yang terbuat dari plastik.
{nl}
{nl}        Perusahaan tersebut memiliki satu{nl}bukit karst seluas 3 hektar di Desa Bedoyo, Kecamatan Ponjong,{nl}Gunungkidul. Tahun 1990-1991 bukit itu dibeli dengan harga Rp 5-Rp 10{nl}ribu per meterpersegi. “Dengan harga seperti itu, total Rp 500 juta{nl}saja masih kurang,” kata Oemar. Paling banyak bukit itu dimiliki{nl}penduduk dengan bukti kepemilikan surat model E atau letter C. Tapi{nl}kondisi sekarang, lanjut Oemar, bukit karst yang dekat dengan pabrik,{nl}per meternya sudah mencapai harga Rp 20 ribu.
{nl}
{nl}        Perusahaan ini giling pertama{nl}kali 4 September 1992. Sedangkan pendirian perusahaan sudah dimulai{nl}tahun 1990. Meski sudah ditambang selama 12 tahun dengan menggunakan{nl}alat berat yang bisa menghasilkan 40-50 ton per hari, bukit karst itu{nl}masih bisa ditambang 4-5 tahun mendatang.
{nl}
{nl}        Menurut Oemar, untuk perluasan{nl}pabrik pihaknya juga ditawari 7 bukit karst (1 bukit seluas 2000{nl}meterpersegi) yang terdapat di sekitar perusahaan tersebut. Padahal{nl}untuk menangani 1 bukit saja belum habis. Tapi karena pajak pertahunnya{nl}terlalu tinggi, perluasan itu belum dilakukan. Untuk bukit karst seluas{nl}3 hektar, menurut Oemar, pajaknya per tahun Rp 6 juta. Sedangkan untuk{nl}perluasan hingga 7 bukit itu pajaknya per tahun mencapai Rp 300 juta.
{nl}
{nl}Produksi Menurun
{nl}
{nl}        Menurut Oemar, ada 5 hal yang{nl}dilakukan PT Sugih Alam Anugroho yaitu eksplorasi, eksploitasi,{nl}pengolahan, penjualan dan angkutan. Perusahaan ini sudah memiliki{nl}segala macam persyaratan yang harus dimiliki perusahaan penambangan.{nl}Termasuk di dalamnya surat izin industri dan penelitian Amdal. Juga{nl}izin khusus penggunaan 2 backhoe untuk penambangan.
{nl}
{nl}        Sedangkan jenis batu yang{nl}ditambang berupa keprus yang diolah menjadi bubuk. “Batu keprus ini{nl}kalau kena air jadi kraket (lengket),” katanya. Tapi sejak Oktober{nl}lalu, ketika BBM naik, pengiriman keprus ke Jakarta berkurang. Karena{nl}produksi perusahaan di Jakarta juga menurun. Sekarang untuk satu minggu{nl}hanya mengirim 25 ton atau satu rit. Padahal dulu mencapai 5 rit.
{nl}
{nl}        Setelah ditambang sekian tahun,{nl}tentu saja bukit karst itu pada akhirnya akan habis. Karena itu, di{nl}kedalaman 5 meter, kemudian dilakukan reklamasi di tanah bekas{nl}penambangan karst itu. Reklamasi itu dilakukan dengan terlebih dulu{nl}menimbun bekas galian itu dengan tanah untuk kemudian ditanami tanaman{nl}pelindung. “Reklamasi ini sesuai arahan pemerintah,” katanya.
{nl}
{nl}Rusak Berat
{nl}
{nl}        Semenjak dieksploitasi sejak{nl}tahun 1990, kondisi karst di kawasan Gunungkidul memang mengalami{nl}kerusakan. Diperkirakan terdapat 50 bukit karst yang mengalami{nl}kerusakan. Sebagian di antaranya rusak berat. Selama ini di Gunungkidul{nl}tercatat ada 12 usaha pertambangan swasta, 124 usaha pertambangan milik{nl}perorangan dan sebagian lainnya merupakan pertambangan ilegal.
{nl}
{nl}        Memang, kawasan karst di{nl}Gunungkidul mengundang perhatian berbagai pihak. Sebagian ada yang{nl}menambang dengan menggunakan peralatan sederhana. Di sisi lain, kawasan{nl}itu juga menggoda investor buat ikutan ‘menambang emas putih’ dengan{nl}hasil penambangan puluhan ton yang ditopang perangkat serba canggih.{nl}Yang memprihatinkan adalah munculnya penambang gelap. Mereka{nl}berpindah-pindah dari satu bukit karst ke bukit yang lain dengan{nl}meninggalkan bekas lubang cukup dalam.
{nl}
{nl}        Sulit dibayangkan, apa jadinya{nl}jika kawasan karst yang semula menggunung itu kemudian rata dengan{nl}tanah lantaran ‘dihajar’ backhoe tiap hari. Dihujani linggis dan godam{nl}setiap pagi, siang dan sore.
{nl}
{nl}        Tapi itulah pemandangan{nl}sehari-hari di sejumlah wilayah di kawasan karst Gunungkidul. Jika{nl}penambangan dengan berbagai skala dan klasifikasi di wilayah perbukitan{nl}Gunungkidul itu tak terkendali, maka sangat boleh jadi itu bakal{nl}merusak ekosistem. Padahal, perbukitan karst selama ini berfungsi{nl}sebagai penyangga persediaan air. Padahal pula — bila habis — karst{nl}tak mungkin dipulihkan. Kawasan karst yang selama ini juga dikenal{nl}sebagai objek wisata, lama-lama tak lagi indah dipandang karena{nl}berlubang-lubang habis digempur para penambang. q -e.
{nl}
{nl}Sumber : http://www.kedaulatan-rakyat.com/article.php?sid=51874

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Sampah Lagi, Sampah Lagi

Pada tanggal 20 sampai 21 bulan Desember 2012 kemarin, di kampus sedang ada inspeksi kebersihan untuk penilaian akreditasi kampus dari DIKTI. Pihak kampus akhirnya...

Pembukaan Pendidikan Dasar Astacala XXV

Bandung (10/11/2016) – Pada Selasa, 8 November 2016 telah dilaksanakan upacara pembukaan Pendidikan Dasar Astacala (PDA) XXV di Indoor Student Center (SC) Telkom University. Pendidikan...

The Long And Winding Road

Bontang (AM – 003 – GB), Seorang insan yang terlahir dari keluarga sederhana yang menjalani hidup dengan tekad untuk selalu bermanfaat bagi semua orang...