Merapi

Di Kaki Merapiku

Hari Kamis (11 Mei 2006) lalu, aku berencana ke Jogja mengambil alat yang rencananya akan kami beli dari dua orang suplier . Nilai transaksinya sendiri tidak terlalu banyak, namun karena sekalian menemani Kak Lisa yang baru balik dari Bandung plus memeriksa alat itu sendiri (maklum salah satunya black market) maka kuyakinkan hari itu juga ke Jogja.

Pagi Jumat itu (12 Mei 2006), aku segera bergerilya mengambil alat ke suplier pertama. Dari semua list, yang cocok hanya satu helm climbing ecrin rock, sedangkan carabiner keburu kosong diambil orang lain. Siangnya aku menghubungi suplier kedua, namun orang yang dicari tak juga bisa kutemui, akhirnya aku pasrah dan mencoba bergerilya ke toko outdoor di Jogja (namun juga tidak ada harga yang cocok/meyakinkan).

Malamnya, aku berencana balik ke Bandung dengan kereta jam sembilan malam. Aku menyempatkan singgah sebentar ke satu mapala (sebut saja GGM).  Namun, karena terjadi penyanderaan anggota mereka oleh oknum-oknum sekre, akhirnya aku pun disandera dan tidak boleh pulang malam itu ke Bandung..

Sebenarnya saat itu aku diajak untuk ke Merapi di Pos Pengamatan Bebeng (malam itu cuaca sungguh cerah). Inilah yang membuatku dengan rela  tidak menolak untuk disandera Huehehehe….. (momen langka nih coy…). Bagaimana tidak, belum tentu sepuluh tahun atau ratusan tahun sekalipun ada saat-saat seperti ini. Aku dengan yakin menolak tawaran-tawaran menggiurkan siang itu :
1. caving ke Luweng Jomlang (sembilan puluh meter vertikal multi pitch) plus Gua Seropan (horizontal dengan dua air terjun di dalamnya) bareng kawan – kawan ASC,
2. fun rafting ke Elo dengan teman-teman dari Unisi,
3. hunting foto upacara Waisak di Borobudur.

Semua dengan yakin kujawab  ”Tidak! Makasih banget tapi ini bisa lain waktu. Hari minggu aku harus di Bandung menemani Diklan Rock Climbing!”

“Namun, untuk motret Merapi…, aduh…, sepertiya rencana ke Bandung bisa ditunda deh. So, rencana naik kereta Jumat malam diundur saja jadi Sabtu pagi. Kan bisa  sampai di  Bandung Sabtu malam”, pikirku.

Singkat kata, jam dua belas malam itu kami berangkat ke Bebeng… Gila, angin malamnya dingin sekaleeee. Di pos ini (sebelah Kali Adem) sudah banyak orang dari berbagai kepentingan : wartawan stasiun tv, wartawan majalah, freelancer fotografer, pasangan muda-mudi lagi mojok, keluarga bahagia yang membawa anak-anak terus ngampar tikar kayak lagi piknik, dan terakhir orang-orang seperti aku dan kawan-kawan  (kategori kami apa yah?).

Waktu itu aku membawa master piece Canon AE-1 punya sekre tanpa tripod/monopod (ga tau kenapa, waktu packing kemarin aku sangat ingin kamera itu menemani perjalananku. Walaupun tak ada rencana untuk hunting foto). Sedangkan temanku membawa Nikon F 60 nya yang katanya baru di beli di Jepang sana (weeekss).

Malu juga mengeluarkan kamera malam itu. Selain karena kemampuan memotretku yang seadanya, juga karena kamera negeri tetangga yang gila abies… dengan lensa sepanjang kaki… Huehehehe.

Tak lama, Merapi memberikan pemandangan sungguh menggiurkan. Lava pijar keluar dari puncaknya, terlihat tenang disertai gepulan asap Wedhus Gembel yang terkenal itu. Segera saja terdengar teriakan “Wuuuuu” disusul dengan bunyi “jepret… jepret… jepret…”. Saat itu aku masih terpana dengan apa yang kulihat (maklum baru pertama dalam hidup nih coy…). Tak ingat bahwa seharusnya aku juga ikut mengabadikan moment langka itu walau tanpa tripod dan hanya bermodal lensa standar 35 mm. Namun, bagaimana mungkin, memotret saja aku sulit… dan sepertinya… Huehehehe… Kacian deh lu.

Ah, sebodo wae… Ketika datang moment itu lagi, aku dengan cueknya segera memotret walau 99% tak yakin dengan hasilnya. Saat itu aku pakai kecepatan 30 dan diagfragma paling besar di lensa itu : 1.4… Tak puas, aku coba meletakan kamera ke pagar pembatas Kali Adem dan mengambil settingan bulb… semuanya dengan insting coba-coba aja… Bodo’ lah!!! Mungkin 20 frame lebih sudah habis, sebelum akhirnya sang master piece mulai ngambek dengan menolak untuk bersedia ditekan tombol releasenya (mungkin karena tempat batwerainya goyang), hal ini terjadi sampai pagi. Ga ada ampun!!!

Lain lagi ceritanya dengan Nikon F 60 kawanku ini. Dari awal sudah macet duluan gara-gara karakter semi otomatiknya yang membuat ia ngambek saat udara begitu dingin. Huehehehe… terbukti mahal blom tentu handal. Tapi seperti membuat shift jaga dengan kameraku, saat Canon macet gantian si Nikon yang unjuk gigi. “Jepret… Jepret… Jepret…”, temanku ini lalu asik memotret Merapi. Ah, siaaaalll… Aku pengen juga….!!!

Lebih pagi sedikit sekitar pukul tiga lewat, lava Merapi mulai menunjukan hal yang baru. Sejak ditetapkan status menjadi siaga, baru malam ini lava pijarnya mengarah ke arah selatan. Sebelumnya lava ini hanya mengalir ke arah utara (Babatan dan sekitarnya), namun saat ini lava itu seakan terbagi dua di pelataran Gendol, ada yang mengarah ke Babatan dan ada ke arah selatan (Jogja).

“Sungguh beruntungnya aku”  pikirku, karena datang pada moment yang sungguh menakjubkan. Ketika Merapi dengan caranya menunjukan kekuasaan Ilahi. Hingga pagi, kami hanya bisa  terpana melihat gejala alam ini, tanpa bisa memotret dan menggigil kedinginan. Angin gunung langsung menerpa pelataran di pos pengamatan itu tanpa ampun, hingga salah seorang kawan Jogjaku berkata “baru kali ini Bebeng sedingin ini sejak aku main kesini selama empat tahun!!!”

Jam enam pagi, kami beranjak dari tempat kami duduk semalam dan berbenah kembali ke Jogja. Saat itu, cuaca sungguh cerah, Merapi disirami sinar mentari dengan terangnya. Dapat kulihat  perubahan bentukan yang disebabkan muntahan lava pijar semalam. Kubah Merapi sendiri menurut keterangan seorang kawan paling tidak bertambah tujuh meter sehari.

Siang itu, setelah  tepar karena begadang semalaman, aku dijemput Kak Lisa untuk berangkat ke Stasiun Lempuyangan mencoba naik kereta jam sebelas ke Bandung. Beruntung kereta terlambat beberapa menit, maka aku bisa tiba juga di Bandung malam ini (Sabtu, 13 Mei 2006).

Hari ini juga aku mendengar kabar, bahwa status Merapi berubah menjadi awas, sehingga  semua pos pengamatan ditutup. Dalam hati aku bersyukur, diberi kesempatan untuk dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dihadapkan ke depanku. Bagaimana alam dengan rendah hati menunjukan kekuasaan Ilahi pada dirinya.

Semoga tidak terjadi apa-apa di waktu mendatang, dan rakyat sekitar Merapi dapat kembali beraktifitas dengan tenang lagi. Ah, Tuhan, terima kasih Engkau sudah memberiku hidup yang begitu berharga, maka berikan jugalah manfaat atas semua yang ada dalam hidupku. Amien. []

Laili Aidi – Al-Kahfi – Astacala, 14 Mei 2006

2 thoughts on “Di Kaki Merapiku

  1. adek lo gila banget kapan lo mikirin masa depan janggan gunung terus ntar mampus lo ngeder maga tetap eksis lestari dari padang bengkok <br /> 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *