13 Saran Buat Para Aktivis Gerakan
Ini adalah kritik atas hal-hal yang menghalangi kita untuk membangun gerakan aktual. Banyak orang yang merasa bersalah dengan hal-hal yang disebutkan dibawah ini, termasuk saya sendiri. Jadi, tolong jangan tersinggung ya! (Yang mana masalah singgung-singgungan ini akan membawa kita pada pokok permasalahan yang pertama.)
Catatan
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyinggung perasaan para aktivis yang telah banyak bekerja keras; mencurahkan waktu dan tenaganya demi permasalahan sosial dan sekitarnya. Ini adalah kritik atas hal-hal yang menghalangi kita untuk membangun gerakan aktual. Banyak orang yang merasa bersalah dengan hal-hal yang disebutkan dibawah ini, termasuk saya sendiri. Jadi, tolong jangan tersinggung ya! (Yang mana masalah singgung-singgungan ini akan membawa kita pada pokok permasalahan yang pertama.)
1. Sisipkan Sedikit Sense of Humor, Jangan Kelewat Serius Lah
Semua orang sudah tahu, dunia tidak akan berubah dalam semalam ?terserah seberapa keras kalian berusaha. Tertawalah sesekali, buat guyonan soal betapa kacaunya situasi yang ada. Jangan lupa untuk menyisihkan sedikit waktu untuk menertawakan diri sendiri dan kemajuan yang telah kalian perjuangkan selama ini. Tentunya kalian juga sudah sering kumpul dalam satu ruangan dan membicarakan tema-tema yang serius dengan menggunakan diplomasi buatan yang ditempa di dalam forum. Kita tidak musti mengerutkan dahi selama 24 jam sehari, bukan? Tertawa barang sejenak tentu tidak ada salahnya, betul tidak? Sedikit menyindir diri sendiri bisa membuat arah perjuangan tetap dalam perspektif yang benar dan mungkin bisa membuat kalian merasa lebih baik atas apa yang telah kalian selesaikan. Membuat guyonan soal diri sendiri dan kawan-kawan yang lain bisa jadi sarana kritik/otokritik dalam suasana yang lebih santai. Bahkan Emma Goldman pun pernah berkata: ?If I can?t dance, I don?t want your revolution.? Ah, kalau itu sih kita semua sudah tahu.
2. Kritik Itu Perlu dan Penting Bagi Perjuangan
Menganalisa apa yang salah dan mana yang benar dalam aksi atau kampanye yang kalian lakukan bisa membantu kalian untuk tidak mengulangi keslahan yang sama. Dengarkan masukan dari luar kelompok kalian, khususnya dari mereka yang berseberangan dengan kalian, yang mana bisa kalian antisipasi terlebih dulu seandainya saja itu dimaksudkan untuk menghalangi perjuangan kalian. Banyak aktivis dan revolusioner besar yang mengkritik keras dirinya sendiri untuk menyadari apakah yang mereka lakukan selama ini benar ataukah salah. Untungnya, tidak seperti Che Guevara atau Buenaventura Durruti, kita tidak usah melakukan itu dibawah hujanan peluru (setidaknya belum lah).
3. Memperlakukan Semuanya Sebagai Perorangan
Saya sering kesal ketika para Marxis dan anarkis itu menyebut? Massa? Atau ketika para aktivis anti-korporasi mengejek teman-teman sebayanya sebagai ?anak nongkrong MTV.? Dengan men-dehumanisasi manusia ke dalam kategori-kategori yang kelewat menggeneralisir itu membuat kita lupa kalau kita sedang berhadapan dengan sosok yang miliki nama ?yang punya alasan atas apa yang mereka lakukan itu; entah itu karena turunan keluarga, pengaruh media atau propaganda negara, atau kebetulan terlahir dalam budaya yang memang sudah seperti itu. Tokh, tidak ada seorang pun yang bisa memilih Ia akan terlahir sebagai apa. Dengan mendekati semua orang sebagai perorangan, kalian akan bisa mengingat kembali bahwa pernah ada suatu masa dimana kalian juga tidak memiliki keyakinan seperti sekarang dan mungkin juga pernah merasa terasing ketika ada aktivis lain yang berusaha menyebarkan pesannya kepada kalian pada waktu itu. Jadi, faktor terpenting dalam mendekati ?massa? itu (dalam terminologi yang kalian pakai itu ya) bisa jadi bukan apa yang HARUS kalian sampaikan tapi apa yang SEBENARNYA. Ingat, mereka juga manusia, mereka punya nama, mereka juga punya alasan… Berhentilah untuk selalu berusaha menjadi penggembala!
4. Dengarkan Apa yang Orang Lain Katakan dan Ketahuilah Siapa yang Kalian Tuju
Terkadang tanggapan orang atas apa yang telah kaian lakukan bisa jadi panduan paling baik untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa mendatang. Ketika kalian tahu dengan siapa kalian berbicara, kalian bisa mengemas pesan kalian sesuai dengan siapa mereka sebenarnya.
Dengan mengetahui siapa yang kalian ajak bicara, kalian bisa mengemas pesan yang kalian angkat sedemikian rupa sehingga tidak hanya sekedar faktor-faktor abstrak yang mereka sendiri tidak bisa mengaitkannya dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Ketika kalian bicara soal penghapusan diskriminasi rasial para pendatang kepada orang-orang ?pribumi? (maaf, saya terpaksa nih pake istilah ini), maka kalian bisa membahas bagaimana studi-studi antropologis membuktikan bahwa suku asli di Indonesia tidaklah ada dan dengan pengandaian seolah mereka berada dalam posisi yang menjadi objek perlakuan sewenang-wenang itu. Atau ketika kalian bicara soal dampak buruk penyeragaman yang dilakukan oleh MTV kepada anak-anak gaul yang sering nongkrong di Parkir Timur Senayan, kalian bisa membuktikan betapa menyenangkannya untuk menjadi unik dan tidak tergeneralisir jargon-jargon marketing semacam ?gue banget? itu.
Tapi, maaf-maaf saja, ketika kalian berusaha meyakinkan para tukang becak bahwa dengan menjatuhkan seorang atau lebih tokoh puncak dalam hirarki politik tertentu dan menggantikannya dengan yang lain akan membuat segalanya menjadi lebih baik… saya tidak melihat adanya relevansi gontok-gontokan antara para elit politik dengan perbaikan kehidupan ekonomi mereka.
Dan, oh iya, jangan memakai bahasa aneh yang mengawang-awang nun jauh di atas sana. Kalau kalian tetap ngotot untuk membuat generalisasi seperti yang selama ini kalian lakukan dan terus berusaha mendeskonstruksikan hegemoni kelas-kelas istimewa yang diuntungkan sistem sosial-ekonomi, ya jangan berharap banyak deh! Kalau kalian mengenal siapa yang kalian ajak bicara maka kalian bisa bicara dalam tingkatan yang sama dan menggunakan bahasa yang mereka pahami pula. Ingat, kalian tidak sedang berbicara dengan Michael Foucault atau Yasraf Amir Piliang! Lagipula, bahasa-bahasa akademis semacam itu hanya bisa dipahami oleh mereka yang cukup beruntung bisa lahir di tengah keluarga yang mampu memberikan fasilitas pendidikan kepada anaknya sampai ke bangku universitas. Bahkan saya pun tidak pernah berharap tulisan ini dan situs saya itu dibaca oleh buruh-buruh pabrik. Apa sih untungnya mempromosikan perubahan sosial kalau kalian menyampaikannya dengan gaya yang elitis?
5. Berisik, Jangan Teriak Melulu Dong!
Oke, kalian memang marah tapi kalau kalian terus-terusan berteriak ke semua orang dan bukannya berbicara, mereka tidak akan dengar. Kamu pikir mereka akan mau mendengarkan dengan seksama kalau kalian hanya berorasi dari atas Metromini sewaan dengan megaphone layaknya seorang rockstar… hahaha, dalam mimpi mungkin bisa. Jadi, sebelum turun buat demo, cobalah untuk jalan-jalan barang sebentaran dan cobalah berbincang-bincang dengan beberapa orang di jalan. Kalian akan lihat bagaimana respon mereka kalau kalian berbicara baik-baik, respon yang akan kalian dapat tidak hanya sekedar sorakan ?setuju,? makian ?uh, bikin macet jalan aja,? atau kepala yang menengok ke arah yang berlawanan dengan posisi kalian sebagai tanda tidak peduli. Ada saatnya untuk marah, dan ada pula saatnya untuk berbicara baik-baik. Jadi, pikir dulu sebelum teriak.
6. Hanya Mengangkat Satu Masalah Malah Bisa Jadi Masalah Itu Sendiri
Sementara kalian punya beberapa masalah yang dianggap paling sreg di hati, tidak seharusnya kalian menutup mata atas kemungkinan adanya hubungan saling keterkaitan antara isu-isu itu atau dengan isu-isu yang lain dan jangan berhenti untuk terus mencari adanya akar-akar historis yang sama diantara isu-isu itu. Kadang memperjuangkan satu masalah saja bisa merusak perjuangan itu sendiri, misalnya perjuangan para feminis garis keras yang malah ingin membuat patriarki versi perempuan (untuk ini saya sering menjuluki mereka Feminazi) atau kiprah para anti-rasis yang malah tidak lebih baik dari pada kaum rasis itu sendiri (misalnya gerakan Black Planet yang malah jadi black people racists).
7. Julukan Keren Sebagai aktivis Tidak Menutup Kenyataan Kalau Kalian Tetap Brengsek
Tidak bisa bohong, kenyataan membuktikan banyak aktivis progresif-revolusioner yang kelakuannya tidak lebih baik dari lumpen atau preman. Banyak kasus seperti ini, misalnya saja di kampus saya dimana seorang aktivis yang lumayan dianggap radikal ketika berada didepan barisan sambil memegang megaphone ternyata dalam kesehariannya tidak lebih dari seorang bangsat yang kerjanya hanya petantang-petenteng disana-sini hanya karena di jaket almamaternya banyak tertempel emblem gerakan dan Che Guevara dan memakai kaos bertuliskan ?revolusi? atau kasus di tahun 98 dimana beberapa orang mahasiwa memaksa para supir angkot untuk membeli koran keluaran mereka yang isinya belum tentu dipahami semua orang dengan mudah. Belum lagi masalah pelecehan seksual terhadap karyawati yang pulang kantor ketika kalian sedang demo di jalan-jalan ibukota. Untuk mengatasinya, setidaknya kalian bisa introspeksi diri dan membicarakan masalah ini secara terbuka dengan pemikiran yang dewasa termasuk dengan pihak-pihak yang bersangkutan.
8. Dunia Tidak Bisa Diselamatkan Melalui E-mail.
Walaupun yang kalian lawan memang sistem bukan produknya, tidak peduli bagaimana efisiennya perjuangan kalian setelah adanya teknologi, tetap saja tidak ada yang bisa menggantikan kekuatan dan keintiman yang dihasilkan oleh hubungan dan komunikasi antar manusia. Walaupun internet telah banyak meningkatkan intensitas komunikasi kalian dan membantu jaringan pergerakan-pergerakan global (seperti update email dari Zapatista dalam aksi-aksinya), kalian tidak bisa melupakan kenyataan bahwa penggunaan internet telah banyak memberi kontribusi bagi korporasi-korporasi besar di Amerika dan adanya fakta kuantitatif yang membuktikan bahwa lebih dari 98% penggunaan internet digunakan untuk mempercepat perputaran arus uang dalam kegiatan investasi spekulatif yang dilakukan oleh segelintir orang-orang kaya di penjuru dunia. Kalian tidak bisa selamanya menggantungkan diri kepada teknologi, berikanlah perjuangan kalian sedikit sentuhan pribadi.
9. Buang Jauh Isme-isme Itu ke Dalam Toilet
Wah, keren. Kamu seorang …-is (isi titik-titik itu dengan tipikal label ideologi aktivisme).? Bagi sebagian besar orang yang tidak menganut ideologi-ideologi tersebut (kalian mungkin akan memberi penanda menghina seperti ?massa yang terilusi?), label-label itu penuh stereotipikal media korporasi dan propaganda negara yang mereduksi aspek-aspek positif yang dibawa label-label ini. Misalnya, ketika kawan saya ?seorang vokalis band hardcore dari Kanada yang juga seorang aktivis ARA (Anti Racist Action)? berkata kepada seorang redneck kulit putih pengelola sebuah peternakan ?Aku seorang multikulturalis!?, Ia menjawab sambil mengayunkan garpu rumputnya ?Oh, jadi kamu benci orang kulit putih ya?!? Supaya tidak mendapat praduga yang malah menyulitkan ruang geraknya akan jadi lebih baik seandainya saja Ia berkata ?Aku percaya ras adalah sebuah konstruksi historis; dimana memandangnya hanya sebatas fisik atau biologis tidaklah masuk akal bagiku, tapi kita telah dimanipulasi untuk mempercayai apa adanya dan memperlakukannya seperti itu (hmm… maaf, saya agak ribet untuk ngasih bahasa yang lebih down-to-earth lagi).? Dan bisa saja itu akan memancing diskusi lebih lanjut.
Jadi, sebelum mulai mengumumkan diri kalian sebagai sayap kiri -isme, -is, atau -ian (contoh: Marxisme, Marxis, Marxian), pertimbangkan dulu apa yang mereka pikirkan soal label yang akan kalian pakai. Jangan terlalu norak untuk kepingin cepat-cepat orgasme hanya karena menyandang gelar anarkis atau komunis sebelum kamu benar-benar bisa menjelaskan: apa yang orang-orang sering dengar soal label-label itu dari media? Kalian tentu masih ingat kan bagaimana wajah media di Indonesia selama 32 tahun dibawah rezim OrBa itu (sampai sekarang juga masih sih)?
Biarkan tindakan yang mendefinisikan siapa kalian, bukan isme-isme itu.
10. Fasisme Gaya Hidup Sucks!
Kenapa sih kalau menjadi seorang aktivis sepertinya harus berpenampilan kucel dan old-school? Dalam sebuah kegiatan rekrutmen, pernah ada seorang aktivis yang seenaknya saja mencoret sebuah nama hanya karena penampilannya yang trendi dianggap kontra-revolusioner dan menyimpang dari garis perjuangan. Mencari keburukan dalam gaya hidup seseorang nampaknya sudah jadi hal yang sangat biasa di kalangan orang-orang progresif ini. Memang sih, menilai kulitnya saja jauh lebih mudah ketimbang harus menelaah lebih dalam pola konsumsi dan akar pemasalahannya. Kalian harus ingat bahwa hanya dengan mengidentifikasi beberapa aspek gaya hidup masyarakat ?barat? (sialan, saya terpaksa lagi pakai istilah ini disaat saya sendiri sudah tidak percaya adanya pemilahan budaya timur-barat hanya sebatas hemisfer saja), kalian telah lupa bahwa kesalahan terletak pada keseluruhan sistemnya bukan hanya pada mereka yang merasa nyaman untuk mengenakannya. Kekuatan kita lebih dari sekedar sejauh mana kacamata dapat memandang dan jumlah halaman dalam scrapbook kita. Sebagai langkah awal menuju perubahan kita harus bisa menganalisa akar atas permasalahan kita semua, bukan mengasingkan mereka yang berbeda hanya karena masalah gaya hidup. Kenapa juga kalian masih saja mengulangi pola yang sama yang selalu dilakukan oleh gerakan-gerakan relijius-fasis dan korporasi-korporasi multinasional itu? Biarkan mereka menentukan sendiri apa yang mereka bisa atau tidak bisa boikot dan kalian keluarlah dari jebakan moralitas kotak sabun itu.
11. Kalau Kalian Tidak Beristirahat, Kalian Akan Menjadi Robot Revolusi, Zombie Perubahan
Dalam diri setiap aktivis pasti ada fase dimana kelelahan datang, rasa bosan menyerang, lalu biasanya dia akan butuh waktu barang sejenak untuk diri sendiri. Hey, itu wajar bukan? Dalam masa-masa ini siapapun akan lebih banyak meluangkan waktu untuk memberi gairahnya sebuah ruang penyegaran temporer, melakukan hal-hal yang benar-benar menarik minatnya ?bukan hanya sekedar demi peran historis kaum revolusioner muda atau apalah. Sialnya, dengan kejamnya beberapa orang biasanya akan menyebutnya sebagai ?demoral? atau ?pengkhianat revolusi.? Hahaha, perjuangan adalah hal yang sangat berat, revolusi bisa jadi baru akan terjadi dalam waktu yang tidak pendek ke depannya. Tuntutan-tuntutan bunuh diri kelas seperti ?mencurahkan jiwa dan raga sepenuhnya demi perubahan? hanya akan melahirkan milisi-milisi tanpa hasrat. Bahkan dalam beberapa kasus, seorang aktivis bisa sampai memutuskan hubungan dengan orang-orang yang dicintainya. Kita tidak menginginkan itu, bukan? Bahkan seorang Assata Shakur pun pernah berkata bahwa yang terpenting adalah tumbuh secara personal, menjaga hubungan baik dan menyisihkan waktu untuk kegiatan-kegiatan yang bisa menorehkan sebilah senyum di pipi. Revolusi tidak butuh robot, perubahan tidak butuh zombie… semua itu butuh MANUSIA untuk melakukannya.
12. Jangan Bersikap Sektarian!
Ada kejadian bodoh yang sering sekali saya lihat dilapangan maupun dalam perdebatan di dalam mailing-list. Bagaikan dua kelompok anak kecil dimana yang satu berperan sebagai Mighty Morphin? Power Ranger dan yang satu lagi sebagai Goggle V bermain perang-perangan, banyak dijumpai para aktivis yang saling gontok-gontokan hanya karena mereka berada dibawah bendera organisasi yang berbeda (oh tidak, kebanggaan buta ini lagi yang jadi masalahnya). Sama seperti kelompok anak-anak kecil tadi yang membuat simulasi atas kehebatan jagoannya di layar kaca padahal tujuan mereka hanya ingin bermain, para aktivis ini saling bermusuhan hanya karena perbedaan buku yang dibaca atau rebut-rebutan ?massa? padahal tujuan mereka sama yaitu membuat perubahan. Kalau perubahan yang mereka inginkan dapat dengan mudah didefinisikan sebagai ?mengganti orang-orang dalam pemerintahan dengan orang lain,? maka jelas sudah motif mereka: mereka sudah ngebet ingin jadi birokrat baru. Heheheh!
Selama ini sudah banyak kita lihat sendiri adanya perpecahan-perpecahan semacam ini. Sebabnya berkisar mulai dari adanya ketidakcocokan pribadi, sampai perdebatan soal ideologi dan strategi. Tidak heran, banyak para aktivis yang keluar dari gerakannya dan berakhir dengan mendirikan sebuah gerakan baru. Kalau kita mengatasnamakan multitude gerakan seperti yang ada di buku Empire-nya Hardt/Negri sih itu malah bagus, tapi kalau sampai gerakan baru itu malah menambah daftar musuh baru sih jadi lucu. Pergerakan malah jadi retak dan terfragmen ke dalam banyak klik-klik kecil yang saling mencibir kalau bertemu dilapangan sampai-sampai kita lupa akan kesamaan yang kita miliki dan hanya mempermasalahkan kebencian kita satu sama lain.
Untuk hal ini di antara kita, bisakah kita menyepakati beberapa hal yang penting? Apakah setidaknya kita punya musuh bersama? Bisakah kita melupakan perbedaan-perbedaan kita dan bekerjasama menuju sebuah konsensus sehingga kita tidak usah lagi main tikam dari belakang? Bagi kalian yang masih baru dalam gerakan, tetaplah berkonsentrasi dalam permasalahan yang ada dan jangan ikut larut dalam masalah-masalah seperti ini. Bagi kalian yang ?orang lama,? perjuangan demi perubahan dimana pun juga tidak butuh warisan kebencian seperti itu (dulu saya pikir hanya anak-anak STM saja yang suka mewariskan kebenciannya terhadap sekolah lain kepada adik kelasnya. ternyata…).
13. Mendefinisikan Ulang Aktivisme.
Menjadi aktivis adalah posisi kultural yang ada dalam masyarakat kita. Sudahlah, kita semua tahu stereotip-nya: tidak bisa bergaya, selalu merasa benar soal isu ini atau itu, kerjaannya teriak-teriak atau nyanyi-nyanyi di jalanan, mengacung-acungkan plakat tuntutan, diseret-seret polisi, mengacungkan tangan sambil pegang megaphone, dan lain sebagainya. Tapi mengambil bagian dalam kultur aktivisme ini kita mengalienasikan banyak orang yang seharusnya berada di posisi yang sama dengan kita berdiri. Tapi berapa banyak orang yang tergerak hatinya ketika melihat pemberitaan kalian di media-media? Seberapa banyak kita mempengaruhi nilai-nilai stereotip ini?
Tapi lihat apa yang terjadi. Banyak, dan lebih banyak lagi orang yang turut berjuang demi perubahan sosial hanyalah orang? Biasa? Ada banyak aksi-aksi tanpa bentuk yang tidak akan pernah kita dengar: mereka yang membentuk kelompok diskusi, mereka yang mendefinisikan dirinya sendiri dan dimana posisi mereka dalam masyarakat, mereka yang memilih untuk memboikot beberapa produk dan tidak mengikuti tren, mereka yang tidak mempercayai uang dan melakukan aksi transaksi tanpa uang alias mencuri, mereka yang menempati bangunan kosong yang disia-siakan pemiliknya sebagai jawaban atas permasalahan tempat tinggal dan gentrifikasi, mereka yang muak dengan perintah bosnya dan memanfaatkan fasilitas di kantornya untuk memenuhi kebutuhan komunitasnya, mereka ada dimana saja dan tetap berjuang kapan pun mereka bisa.
Mereka hanyalah orang-orang biasa yang merespon stimulus dasar dimana hidupnya telah tercuri oleh sistem dan mereka tidak bisa duduk diam dan menerima begitu saja. Mereka juga aktivis, walaupun tidak mendapat privilese atas penanda itu. Revolusi juga akan datang dari tangan mereka. Mereka yang selalu menyebut dirinya ?aktivis? harus keluar dari jebakan pengkotak-kotakan yang mengkungkung dan mendengarkan apa yang benar-benar dikatakan oleh orang-orang, bukan hanya sekedar membaca habis semua buku yang ada di dalam perpustakaan? Radikal? Semua? Isme-isme? Yang sering kalian klaim sebagai identitas itu hanyalah nama yang diberikan oleh para teoris ideologi kalian atas kecenderungan yang sudah biasa ada dalam diri setiap manusia. Semua istilah itu hanya akan tetap menjadi kata-kata sampai tindakan kita memberi arti yang sebenarnya dan kita mendefinisikannya bagi diri kita sendiri seperti apa bentuk perjuangan kita. Sampai saat itu, aktivisme akan tetap mengalienasi manusia yang juga berusaha menggapainya. []
Oleh Wahyu Djatmiko
Dikutip dari Sayap Imaji