Kepulauan Seribu Tak Bertuan

Related Articles

Bencana itu datang lagi di Kepulauan Seribu pada pertengahan Februari 2006 lalu, ketika tumpahan minyak yang kemudian menggumpal mencemari 20-50 pulau di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Seperti biasa, ribut di awal, kemudian sepi.

Tahun 2005, pada bulan dan kawasan yang sama, terjadi pencemaran serupa. Hingga kini buntu. Sepanjang tahun 2004, setidaknya terjadi tujuh kali pencemaran minyak.

Ditarik mundur, Desember 2003, cakupan pencemaran lebih besar lagi. Saat itu seluruh pulau di kawasan taman nasional 78 pulau tercemari, belum termasuk di pulau lain di luar taman nasional.

Tak terbantahkan, pencemaran minyak di gugusan pulau seribu merupakan ritual tahunan bahkan lebih singkat. Pendek kata, tiada tahun tanpa pencemaran minyak di gugusan kepulauan di utara Jakarta, yang mengandalkan obyek wisata bahari tersebut.

Yang mengherankan sekaligus tak masuk akal, sekalipun tumpahan minyak setia berkunjung ke sana, hingga kini tak pernah ada pihak yang dinyatakan harus bertanggung jawab. Apalagi menjatuhkan sanksi hukuman.

Penjagaan dan pemeliharaan Kepulauan Seribu sebenarnya merupakan konsekuensi logis atas pilihan menjadikannya obyek wisata bahari. Tentu saja, selain tempat sebagian besar warganya bergantung secara ekonomi.

Saya betul-betul heran. Tak habis pikir kenapa kasus-kasus itu tak pernah terungkap kata Kepala Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Ir Sumarto, yang menjabat sejak tahun 2003. Saat pencemaran terdeteksi pertengahan Februari 2006, ia tengah menunggu jawaban surat yang ia kirim ke Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengenai laporan perkembangan penyidikan kasus serupa tahun 2003.

Belum lagi ada jawaban, justru datang lagi pencemaran serupa. Berdasarkan pengalamannya, pencemaran tahun 2003 adalah yang terbesar dalam rangkaian pencemaran terdahulu.

Berdasarkan keyakinan selama ini, hanya ada dua kemungkinan sumber pencemar, yakni akibat aktivitas kilang minyak China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dan British Petroleum (BP) West Java yang memiliki wilayah konsesi terdekat dengan Kepulauan Seribu. Kemungkinan lain adalah akibat pencucian lambung kapal tanker yang melintas di alur lalu lintas kapal internasional.

Setiap muncul pencemaran, polemiklah yang muncul. Kalau bukan aktivitas tambang, ya pencucian lambung tanker. Lalu, penyidikan menguap begitu saja. Misterius.

Sebenarnya, sempat muncul kepastian mengenai siapa sumber pencemaran, seiring penyidikan kasus tahun 2003. Awal tahun 2004, penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup (PPNS LH) telah menetapkan tersangka.

Akan tetapi, hingga kini berkas kasus tersebut tak pernah sampai ke pengadilan dan diproses secara hukum. Sebagai sebuah kasus, penyidikan masih terus berjalan, kata Deputi V Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penataan Lingkungan Hoetomo.

Tak Pernah Tuntas

Tentu wajar bila kemudian muncul pertanyaan, mengapa untuk kasus yang jelas kemungkinan sumber pencemarnya hingga kini tidak tuntas. Apalagi, kasus kejahatan lingkungan itu terjadi rutin di ibu kota negara Republik Indonesia. Benar-benar aneh bin ajaib.

Pada perjalanan penyidikannya, keanehan demi keanehan muncul. Tahun 2004, penyidik kepolisian mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan klise; tidak cukup bukti. Keputusan itu menuai protes, termasuk dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Kami benar-benar kaget, kata Sumarto.

Keputusan itu menodai komitmen bersama dalam kasus penyidikan pencemaran tahun 2003. Sebelum polisi menyidik, tim gabungan PPNS lebih dahulu turun ke lapangan dan mengumpulkan bukti-bukti, hingga penyidik kepolisian menyusul turun ke lapangan.

Satu obyek kasus dua penyidik itu, dituturkan Sumarto, sebenarnya telah selesai dibahas di Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Pertemuan awal tahun 2004 kala itu dihadiri utusan Mabes Polri, Polda Metro Jaya, dan pihak PPNS gabungan. Keputusannya, pihak PPNS LH-lah yang akan melanjutkan penyidikan.

Belakangan, ketika PPNS LH masih bekerja, justru muncul SP3 polisi. Apalagi, keputusan itu tanpa didahului koordinasi dengan pihak PPNS. Kami tidak pernah diundang ketika gelar perkara dan tahapan lanjutannya. Lha kok tiba-tiba SP3. Benar-benar melukai hati PPNS, tulis Sumarto dalam surat protesnya ketika itu.

Hancurnya Ekosistem

Di luar persoalan hukum, salah satu permasalahan penting yang sepertinya dilupakan adalah kerusakan ekosistem Kepulauan Seribu. Dari tahun ke tahun gumpalan minyak menghancurkan keindahan terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun, dan membunuh biota-biota laut.

Kompas yang mengunjungi beberapa pulau pada Februari 2006 ”di antaranya Pulau Bira Besar, Pulau Belanda (zona inti taman nasional), dan Pulau Perak (zona wisata)”melihat gumpalan minyak berceceran di pantai pasir putih dan lengket di telapak kaki. Beberapa biota laut, seperti kerang, bintang laut, dan tumbuh-tumbuhan, berselimut gumpalan minyak. Kalau sudah begitu, apa yang menarik bagi wisatawan lokal maupun mancanegara? Faktanya, kasus-kasus serupa datang silih berganti dalam hitungan bulan maupun tahun.

Pencemaran juga telah mematikan harapan penduduk Kepulauan Seribu yang mengandalkan hidupnya dari perikanan budidaya. Tak pernah ada jaminan berusaha, sementara kekayaan sumber daya alam terus disedot dan mendatangkan keuntungan besar bagi pihak lain.

Menurut data Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, pencemaran minyak secara langsung berpengaruh buruk terhadap perkembangbiakan penyu sisik yang mempunyai lokasi bertelur di Pulau Peteloran Timur. Tahun 2004, produksi telur penyu sisik menurun drastis hingga 50 persen.

Selain itu, tidak sedikit anak-anak penyu (tukik) tumbuh cacat. Bahkan, butir-butir telur satwa dilindungi itu juga ditemukan tidak berembrio. Entah sampai kapan.

Penegakan Hukum

Fakta ekologis dan intensitas pencemaran semestinya tak pantas lagi berbuah polemik tak berujung. Saatnya pemerintah bertindak tegas, menunjukkan integritas dan komitmennya pada perlindungan lingkungan.

Hoetomo menegaskan, khusus kasus pencemaran Kepulauan Seribu, pihaknya melihat secara menyeluruh. Tidak sebatas menyelesaikan lewat jalur hukum.

Karena itu, Kementerian Negara Lingkungan Hidup membentuk tim independen untuk meneliti kasus pencemaran dari beberapa sudut. Salah satu wacana adalah memindahkan alur lalu lintas kapal internasional untuk mengurangi tumpahan minyak. Sungguh, pilihan yang tidak sederhana. Memang harus dibicarakan dengan beberapa pihak, termasuk Departemen Perhubungan, kata dia.

Berbeda dengan pernyataan itu, Sumarto melihat penuntasan kasus sebenarnya sederhana, karena kemungkinan sumbernya sangat jelas. Dalam terminologi perminyakan dikenal sebutan finger print, yang menunjuk pada karakteristik produk setiap sumur minyak.

Pembuktian cukup mencocokkan sampel tumpahan minyak dengan produk dari berbagai sumur minyak yang memiliki karakter biologis berbeda-beda. Tentu melalui proses di laboratorium.

Pada kasus pencemaran tahun 2004, bantahan CNOOC dan BP West Java diperkuat penelitian Lemigas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Kesimpulannya, tidak ada kesamaan karakter.

Tahun 2006, tuntutan penyelesaian melalui jalur hukum yang tegas dan konsisten kembali menguat. Salah satunya datang dari Departemen Kehutanan. Tujuannya, supremasi hukum dijunjung tinggi.

Secara terpisah, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai pemerintah sebenarnya tidak serius ingin menuntaskan kasus-kasus pencemaran lingkungan. Pemerintah tidak mampu mencegah dan mengatasi daya rusak akibat ekstraksi industri minyak dan gas. Apalagi memotori penegakan hukum atas kejahatan lingkungan.

Pemerintah lebih peduli terhadap penerimaan negara ketimbang menjaga kualitas lingkungan yang merosot dari waktu ke waktu. Penanganan kejahatan lingkungan jalan di tempat, kata Koordinator Jatam Siti Maemunah dalam siaran persnya.

Pernyataan senada diungkapkan Sumarto. Sepengetahuannya, semua upaya mengurai masalah terkait aktivitas pertambangan selalu menemui jalan buntu. Hal itu pula yang mengemuka dalam kasus pencemaran di Kepulauan Seribu. Lebih mengherankan lagi, lokasi kejadian berada di kawasan ibu kota negara.

Ibaratnya, Kepulauan Seribu adalah wajah negara. Ini bukan semata soal taman nasional, tapi ibu kota negara. Kalau di sini saja tak tertangani, lalu bagaimana di tempat yang jauh dari Jakarta? kata dia.

Sayangnya, pertanyaan dan kegundahan itu tak dimiliki semua orang, termasuk mereka yang seharusnya dapat menuntaskan permasalahan. []

Sumber : Kompas Online, Edisi 11 Maret 2006

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Artikel Menarik

Astacala.Org Telah Aktif Kembali

Kepada pengunjung Astacala.org Website sudah dapat digunakan kembali. Mohon maaf atas keterlambatan dan waktu yang cukup lama dalam proses pengembaliannya. Terima kasih atas partisipasi dan kunjungan dari...

Binaiya (Bagian 8: Menuju Aimoto)

Pagi merekah di Negeri Piliana. Udara terasa sejuk dan segar. Walaupun desa ini berketinggian empat ratusan meter dari permukaan laut, suasananya seperti ada di...

Astacala Fun Outdoor

Frequently Ask Questions tentang Astacala Fun Outdoor ataupun tentang Rekruitment Astacala !! Jika tertarik dan ingin mendapatkan informasi lebih banyak lagi, mari berdiskusi dengan kami...