Astacala Gelar Sarasehan Pencinta Alam : Menyelamatkan dan Memulihkan Ekosistem
astacala.org – Pulau Jawa sebagai pulau dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia tanpa kita sadari kini sebenarnya sedang mengalami krisis ekosistem. Daya dukung yang timpang dengan kebutuhan, alih fungsi hutan menjadi pertambangan, krisis ekologi, dan terancamnya spesies merupakan permasalahan-permasalahan yang kini sedang mengancam ekosistem pulau Jawa.
Dalam memberikan pemahaman dan meningkatkan kepedulian pencinta alam dan masyarakat mengenai kondisi kritis pulau Jawa, Astacala menggelar Sarasehan Nasional Pencinta Alam di Telkom University pada Sabtu, 22 April 2017 lalu, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi Internasional.
Sarasehan Pencinta Alam merupakan acara bertema seminar/diskusi yang pertama kali digelar Astacala mendekati umurnya yang ke-25 tahun. Walaupun demikian, kami mampu mendatangkan banyak peserta dari berbagai latar belakakang organisasi dan keilmuan, baik pencinta alam maupun penggiat konservasi.
Melalui tema “Pencinta Alam Menyelamatkan dan Memulihkan Ekosistem Pulau Jawa”, diharapkan muncul kesadaran pencinta alam untuk segera beraksi merumuskan gagasan-gagasan konkret yang dapat direalisasikan dalam menyelamatkan dan memulihkan ekosistem.
Kegiatan sarasehan pencinta alam terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu diskusi panel, workshop dan pemutaran film dokumenter, yang berlangsung sejak pukul 09.00 hingga 20.00 WIB.
Dalam sesi diskusi panel Astacala menghadirkan narasumber dari Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Kebijakan Wilayah dan Sektor (PDLKWS), Wahyu Giri Prasetyo selaku salah satu peneliti dalam Ekspedisi Harimau Jawa, Rosdi Bahtiar Martadi dari Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL), dan Eko Teguh Paripurno selaku Presidium Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), serta moderator oleh Siti Maimunah yang merupakan mantan Koordinator Nasional JATAM dan peneliti dari Sajogyo Institute.
Dalam pemaparan pertama oleh Sasmita Nugroho dari PDLKWS, Ia memamparkan keadaan ekosistem Jawa saat ini yang sebenarnya sudah tak layak lagi dihuni berdasarkan daya dukung lingkungan hidup (DDLH) penyediaan pangan dan air.
“Konsumsi menjadi salah satu permasalahan ekosistem. Ketersediaan air di Jawa sudah sangat timpang antara kebutuhan dan ketersediannya,” jelas Sasmita Nugroho.
Selanjutnya, Wahyu Giri Prasetyo atau yang akrab disapa Cak Giri, menjelaskan peran penting karnivor sebagai puncak rantai makanan dalam menjaga keberlangsungan ekosistem.
Ia menceritakan pengalamannya berjuang bersama tim Ekspedisi Harimau Jawa untuk membuktikan keberadaan Harimau Jawa (panthera tigris sondaica) yang telah dinyatakan punah oleh WWF pada tahun 1996.
Selain itu, Ia juga menambahkan bahwa ada indikasi kekeliruan dalam menyatakan punah Harimau Jawa.” Sebuah spesies dinyatakan punah jika dia tidak ditemukan selama 2 kali jumlah masa hidupnya dengan penelitian intensif,” kata Cak Giri menambahkan.
Menurutnya Harimau Jawa yang memiliki masa hidup hingga 25 tahun, membutuhkan waktu 50 tahun untuk dinyatakan punah. Tercatat Harimau Jawa terakhir yang terlihat, berdasarkan penelitian Steidensticker & Soejono, adalah pada tahun 1976. Itu berarti pada tahun 2026 Harimau Jawa baru layak dinyatakan punah.
“Pernyataan punah harimau jawa berimplikasi pada ancaman alih fungsi dan status lahan,” pungkasnya.
Sementara itu, Rosdi Bahtiar Martadi juga ikut menambahkan bagaimana ketika suatu spesies langka dinyatakan punah di suatu kawasan konservasi, pemerintah dapat dengan mudah menurunkan status kawasan tersebut menjadi kawasan produksi. Seperti yang terjadi di Tumpang Pitu saat ini, kawasan yang berjarak 4 km dari Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sedang mengalami kisruh mengenai rencana pembukaan lahan penambangan emas.
“Padahal dalam kajian AMDAL tertuang bahwa kawasan Tumpang Pitu di dalamnya terdapat habitat bagi Macan Tutul Jawa yang statusnya kini terancam,” kata Rosdi Bahtiar Martadi.
Di sisi lain, Eko Teguh Paripurno memaparkan belakangan keterdesakan manusia untuk memenuhi kebutuhan menjadikan manusia makin gencar melakukan ekspolitasi alam. Asas keserasian dan kesetimbangan ditinggalkan.
“Dan, kita, pencinta alam, disadarai atau tidak, sebenarnya telah jauh hari memahami kebutuhan akan perlunya kseselarasan alam dan keselarasan lingkungan,” ucapnya.
Di Indonesia pada akhir tahun 1980, WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) lahir dimotori oleh para aktivis pencinta alam dengan semangat etika pengelolaan lingkungan dan sumberdaya bumi.
“Namun bagaimana perkembangan peran pencinta alam selanjutnya?” tanya Eko Teguh yang juga merupakan pendiri Komunitas Pencinta Alam Pemerhati Lingkungan (KAPPALA) Indonesia.
Kemudian, tokoh yang juga menerima Sasakawa Award dari badan PBB ini mengajak pencinta alam untuk melihat kembali peran pencinta alam dalam menyelematkan dan memulihkan kembali keselarasan lingkungan.
“Jujur saja, nampaknya pencinta alam cenderung telah mengalam degradasi peran. Atau barangkali, telah mengalami reorientasi peran,” tuding Eko Teguh Paripurno.
Menurutnya pencinta alam saat ini bersikap hedonis. Pencinta alam saat ini lebih suka melakukan ekspedisi-ekspedisi yang banyak manfaatnya untuk pencinta alam sendiri, tetapi rendah manfaat bagi alam dan lingkungan.
Setelah para panelis memberikan pemaparan kemudian diskusi dilanjutkan sesi tanya jawab. Peserta tampak antusias mengajukan pertanyaan ke setiap panelis. Terlihat mereka ingin mengetahui lebih jauh pemaparan yang telah disampaikan oleh panelis.
Di akhir diskusi, Siti Maimunah selaku moderator menyimpulkan bahwa kondisi Ekosistem di pulau Jawa, khususnya, pada saat ini sudah sangat kritis. Berbagai permasalahan lingkungan banyak bermunculan, dan hingga saat ini masih belum menemukan penyelesaian.
“Lalu ditengah banyaknya pencinta alam saat ini, peran apa yang dapat kita lakukan sebagai pencinta alam ?” tutupnya.
Masuk ke sesi selanjutnya setelah makan siang adalah diskusi tematik dimana para peserta dibagi kedalam 7 kelompok berjumlahkan 10 – 15 orang dengan 7 tema yang berbeda. Diskusi ini bertujuan untuk membuat aksi lanjutan dari tema yang di berikan.
Workshop tematik dipandu oleh fasilitator yang berpengalaman di bidangnya. Selain para panelis sebelumnya, astacala juga mendatangkan fasilitator yang berasal dari tokoh-tokoh ahli di bidangnya, antarai lain Yayat Hidayat selaku pendiri Forum Komunikasi Keluarga Besar Pecinta Alam Bandung Raya (FK-KBPA- BR), Dadang Sudardja mantan Dewan Nasional WALHI, Dedi Kurniawan Ketua Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) dan Adang Kusnadi selaku ketua Dewan Daerah WALHI JABAR.
Setelah dua jam berdiskusi salah satu peserta dari tiap-tiap kelompok memaparkan hasil diskusi mereka kepada peserta lainnya.
Selesai pemaparan hasil workshop tematik, sambil menunggu pemutaran film dokumentar, peserta disuguhkan dengan penampilan musikalisasi puisi yang dipadukan dengan penampilan teaterikal oleh kelompok mahasiswa teater Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. Penampilan yang terkesan dramatis dan mistis tersebut sukses membuat penonton terpukau mengikuti pertunjukan hingga akhir.
Sarasehan Pencinta Alam juga menghadirkan booth-booth pameran yang diisi oleh beberapa organisasi yang bergerak di bidang konservasi dan penyelematan satwa, antara lain Centre for Orangutan Protections (COP), Greenpeace Indonesia, Yayasan Astacala, FK-KBPA-BR. Dan yang booth utama diisi oleh pameran penemuan jejak-jejak Harimau Jawa dari 1997-2014.
Kemudian di penghujung acara panitia menyuguhkan pemutara film “Tambak Sari Last Land” yang merupakan film dokumenter pemenang South to South Film Festival (StoS). Film tersebut menceritakan tentang keseharian enam keluarga yang tinggal di sebuah desa yang terdampak bencana ekologis akibat perubahan iklim.
Hasil akhir dari Sarasehan Pencinta Alam adalah terbentuknya tujuh rumusan penyelamatan dan pemulihan ekosistem Jawa yang ditandatangani seluruh peserta sebagai bukti kesepakatan. Peserta yang menyepakati rumusan tersebut akan menindaklanjuti gagasannya sebagi aksi nyata kepedulian pencinta alam dan penggiat konservasi terhadap kondisi ekosistem yang saat ini sedang kritis dan butuh untuk segera mengambil tindakan.